Kamis, 23 Agustus 2012

Konflik Tanah dan Studi Etnologi


Konflik Tanah dan Studi Etnologi
Endang Suryadinata ;  Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda;
Tinggal di Surabaya
SINAR HARAPAN, 22 Agustus 2012


Indonesia masih menjadi negeri yang rentan beragam konflik, yang salah satunya memicu terjadinya pelanggaran HAM, contohnya terlihat nyata pada konflik tanah.
Menurut laporan Walhi, sepanjang 2011 terjadi 163 konflik tanah, dengan perincian 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus kehutanan, 21 kasus infrastruktur, delapan kasus tambang, dan satu kasus di sektor tambak. Total konflik tanah tersebut melibatkan lebih dari 69.975 keluarga dengan luas areal konflik mencapai 472.048,44 hektare (ha).

Menjelang peringatan 67 tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2012, dari berbagai penjuru Tanah Air, merebak berbagai berita mengenai konflik tanah, yang membenturkan rakyat dengan aparat keamanan (di pihak investor).

Atau ada pula perebutan tanah antara militer yang merasa memiliki hak atas suatu lahan dengan rakyat yang juga merasa memiliki hak serupa, seperti baru terjadi di Sumber Manjing Malang Selatan. Kita juga masih inggat Tragedi Mesuji di Lampung yang menewaskan 32 petani, lalu disusul penembakan tiga warga sipil di Pelabuhan Sape, Bima pada penghujung tahun lalu.

Di tengah sorotan atas kasus dugaan suap untuk lahan kelapa sawit yang melibatkan pengusaha Hartati Murdaya, kita jangan lupa ada ribuan kasus tanah petani yang kini berusaha dicaplok demi perluasan perkebunan sawit.

Bayangkan, sekitar 59 persen dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah di Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Total ada sekitar 591 konflik.

Konflik-konflik itu memang berakar dari masalah tanah. Warga Mesuji, misalnya, tidak rela tanah mereka yang sudah dimiliki turun-temurun, harus direlakan demi kepentingan pengusaha sawit atau karet.

Warga Bima juga tak rela jika akibat pertambangan emas, tanah mereka menjadi rusak, 
sumber air menjadi tercemar, sehingga mereka memaksa SK Bupati Bima tentang pertambangan itu dicabut.

Pengadilan HAM

Anehnya dalam konflik tanah, kepala daerah atau polisi pada umumnya tidak melindungi kepentingan warga, melainkan lebih suka memihak kepentingan pengusaha.
Akibatnya, polisi yang mengklaim sebagai abdi masyarakat justru akhirnya menjadi seperti musuh masyarakat. Sangat menonjol sekali, dari Aceh hingga Papua, polisi bertindak tidak proporsional hingga akhirnya terjadi pelanggaran HAM karena ada korban jiwa.

Memang berdasar Undang-Undang No 2 Tahun 2002, polisi sudah mendapat tanggung jawab untuk tugas Kamtibmas dan penegakan hukum, termasuk dalam konflik tanah ini. Namun, ironis, dalam melaksanakan tugasnya, polisi justru melanggar hukum dan HAM.
Menyedihkan, di tengah penderitaan para korban, justru polisi atau pemerintah hanya sibuk membela diri dan masih berkelit dengan mengesankan seolah meninggalnya warga sipil bukan tanggung jawab polisi atau pemerintah.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin juga mengungkapkan, pemerintah SBY tidak pernah melanggar HAM. Memang tidak ada pelanggaran HAM ketika aparat yang menembak warga hanya diadili di pengadilan militer/internal kepolisian.
Coba kalau diadili di pengadilan HAM, pasti akan banyak pelanggaran HAM yang bisa memelekkan mata hati penguasa yang kini sudah tertutup kabut arogansi dan hanya ingin menjaga citra baik.

Padahal, Presiden atau pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hak asasi. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional pemerintah.

Instrumen hukum untuk penegakan HAM juga sudah disediakan, seperti Undang-Undang No 39/1999 tentang HAM, UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun, konyolnya, pemerintah belum berani mendirikan pengadilan HAM, meski sudah ada Komnas HAM. Inilah yang membuat Komnas HAM mandul, karena kewenangannya dibatasi. Komnas HAM juga tak punya wibawa ketika harus berurusan dengan aparat yang melanggar HAM.

Jadi, akan sia-sia jika dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta atau dibentuk tim ini tim itu, selama Presiden SBY tidak berani mendirikan pengadilan HAM yang independen untuk mengurai sebagian konflik tanah yang berbuntut pelanggaran HAM.

Persoalan juga menjadi rumit ketika ada kekacauan hukum atau perundangan yang saling bertentangan. Undang-Undang Agraria Nomor 5/1960 misalnya, membolehkan warga yang direbut tanahnya untuk menjejakkan kaki di perkebunan.

Namun, Undang-Undang Perkebunan No 18 Tahun 2004 justru mengizinkan aparat mengusir mereka, termasuk mengizinkan cara-cara kekerasan. Jadi, DPR jangan diam saja atas kekacauan undang-undang ini.

Inilah negeri yang kacau ketika rakyat harus merelakan tanah dan kehidupannya bagi investor atau pengusaha.

Tulisan ini tidak antiinvestasi, tetapi jelas ke depan harus dicari cara-cara yang bermartabat dalam berinvestasi tanpa menimbulkan konflik, apalagi mengorbankan warga sipil beserta tanah mereka. Jangan lupa, tanah bagi warga juga punya makna penting sebagai sebuah anamnesis atau kenangan akan leluhur mereka. Ini bukan hanya tanah yang dikategorikan sebagai tanah adat.

Belajar dari Belanda

Menjadi keharusan untuk mencari solusi holistik dari pemerintah dan DPR agar kasus tanah ini tidak memicu terjadinya pelanggaran HAM lagi ke depan. Yang penting lagi, mungkin kita perlu belajar dari sejarah untuk bisa mengenal lagi beragam budaya dan cara berpikir masyarakat lokal beserta adat istiadat, termasuk hukum adatnya terkait tanah adat.

Mari belajar dari pemerintah kolonial Belanda ketika menjajah Nusantara. Pemerintah Belanda amat tahu bahwa Aceh itu Aceh, Sunda adalah Sunda, dan Jawa bukanlah Ambon. Belanda tahu bagaimana membiarkan masyarakat setempat melanjutkan cara berpikir dan cara mereka (adat istiadat dan budaya), sedangkan tujuan kolonialisme Belanda tetap bisa dijalankan.

Nyaris jarang ada konflik tanah yang berbuntut pelanggaran HAM semasa kolonialisme Belanda. Belanda malah bisa mengumpukan 1 miliar gulden selama abad ke-18 sampai ke-19. Mengapa demikian?

Karena Belanda sungguh mengintensifkan studi etnologi termasuk hukum adat, dengan salah satu tokohnya Cornelis van Vollehoven. Kita mungkin juga masih ingat bagaimana Belanda mengirimkan Snouck Hurgronje untuk memahami Aceh. Hukum adat dan kebudayaan setempat sungguh dihargai pemerintahan kolonial Belanda.

Sayang, kini studi-studi etnologi atau kebudayaan setempat ini sudah dipinggirkan dari perguruan tinggi kita, sejak era Orba. Akibat anti-total terhadap Belanda, kita menjadi alergi untuk menimba sesuatu yang sebenarnya positif dan efektif dalam meredam dan meminimalkan konflik.

Andai kepala daerah, polisi, dan para pengambil kebijakan kita tahu menghargai budaya dan adat istiadat warga lokal, konflik jelas tidak perlu terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar