Ketika Para
Pejabat Menghitung Remitansi
|
Wahyu Susilo ; Analis
Kebijakan Migrant Care;
Sedang
Meneliti soal Tata Kelola Migrasi TKI
|
KOMPAS,
15 Agustus 2012
Biasanya saat Ramadhan dan
menjelang Lebaran, media massa memberi perhatian khusus pada kondisi harga
bahan pangan yang cenderung naik. Juga karut-marut tata kelola transportasi
menghadapi arus mudik.
Selain itu—setidaknya dalam
lima tahun terakhir—ada ”tradisi” baru yang dilakukan menjelang Lebaran, yaitu
menghitung remitansi (hasil jerih payah buruh migran) yang mengalir deras ke
Tanah Air. Simak saja liputan media-media lokal mewartakan peningkatan
transaksi aliran masuk remitansi di daerah kantong buruh migran, baik lewat
jasa perbankan maupun lembaga keuangan nonperbankan.
Seperti tak mau ketinggalan,
para pejabat Indonesia juga merasa perlu untuk berbicara mengenai arus masuk
remitansi, lengkap dengan angka yang mencapai triliunan rupiah. Tentu saja pembicaraan
tentang remitansi sangat lancar dan lengkap dengan datanya. Sangat jauh berbeda
ketika para pejabat ini diminta bicara tentang kasus-kasus yang menimpa buruh
migran Indonesia. Biasanya mereka menjawab tak lancar bahkan sering tak
memiliki data.
Data Tak Akurat
Tentu menjadi soal ketika
dua pejabat Indonesia bicara tentang remitansi buruh migran dengan data yang
berbeda. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) M Jumhur Hidayat dalam kegiatan safari Ramadhan di Medan
menyatakan, remitansi yang dikirim buruh migran berjumlah Rp 100 triliun per
tahun.
Data yang berbeda
disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Dalam
acara buka puasa bersama di Bursa Kerja Luar Negeri (BLKN) milik swasta di
Condet, Jakarta Timur, tanggal 29 Juli 2012, Muhaimin menyatakan bahwa
remitansi yang dikirim buruh migran dalam setahun bisa mencapai Rp 65 triliun.
Sangatlah mengherankan dan
menyedihkan, dalam waktu yang hampir sama, dua institusi pemerintah menyampaikan
data remitansi yang berbeda. Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah
Indonesia belum memiliki data akurat mengenai aliran jerih payah keringat buruh
migran Indonesia.
Hal ini terjadi karena
memang dalam kebijakan tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia belum
menyentuh fase reintegrasi (post-migration)
di mana di dalamnya menyangkut pengelolaan remitansi. Selama ini penghitungan
remitansi lebih banyak mengacu pada data transaksi keuangan Bank Indonesia dan
data tahunan yang dikeluarkan Bank Dunia, yang secara reguler menerbitkan data
remitansi global.
Migrasi Berbiaya Tinggi
Sesat pikir lain yang
terkandung dalam pernyataan-pernyataan pejabat Indonesia tersebut adalah
ketidakmampuan dalam membedakan remitansi dan devisa. Kehampaan pengetahuan
tentang seluk-beluk remitansi dan devisa bersumber dari pemujaan simplistis
mengenai ”peran” buruh migran Indonesia sebagai ”pahlawan devisa”. Menyebut
buruh migran sebagai ”pahlawan devisa” mungkin memang jadi pembenar bahwa
mereka memang harus ”berkorban” untuk mengalirkan jerih payah hasil kerja
mereka ke Tanah Air.
Hipokrisi pernyataan
pejabat- pejabat tersebut tentang aliran remitansi juga terlihat ketika mereka
”menyesalkan” bahwa sebagian besar penggunaan remitansi ini masih untuk
keperluan konsumtif dan belum menstimulasi usaha-usaha produktif. Seharusnya
mereka ”berkaca diri” mengapa tidak mampu merumuskan kebijakan mengenai
pengelolaan remitansi.
Selama ini hanya pihak
perbankan dan lembaga keuangan nonperbankan yang memiliki perhatian terhadap remitansi.
Namun, keduanya hanya melihat potensi bisnisnya. Pihak perbankan mengambil
keuntungan melalui penyediaan layanan transaksi remitansi. Demikian juga
lembaga keuangan nonperbankan yang mampu menjangkau wilayah basis buruh migran
melalui jasa pengiriman keuangan.
Migrasi berbiaya tinggi juga
menjadi salah satu sumber penyebab utama mengapa remitansi belum menjadi
stimulus usaha-usaha produktif. Dari pemantauan Migrant Care di sejumlah daerah kantong buruh migran, remitansi
kiriman buruh migran lebih banyak teralokasikan untuk pembayaran utang
pembiayaan keberangkatan. Dominasi peran agen perekrut tenaga kerja swasta
menyebabkan migrasi berbiaya tinggi.
Praktik ini menyebabkan
banyak keluarga (calon) buruh migran terjebak dalam jeratan utang (debt bondage). Dalam draf Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) yang
diharapkan menjadi pengganti UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri, pola migrasi berbiaya tinggi masih
dikedepankan.
Skema Perlindungan Sosial
Inisiatif pemerintah untuk
meringankan beban calon buruh migran dengan skema kredit usaha rakyat (KUR) TKI
bukan jalan keluar yang tepat. Sebab, skema ini tidak menghilangkan sumber
jebakan utang. Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah menghapus pola
migrasi berbiaya tinggi.
Upaya ini bisa dilakukan
dengan menghapus pembiayaan administrasi terkait dengan birokrasi dan mendorong
kebijakan migrasi tenaga kerja dalam skema pelayanan publik. Peningkatan
kualitas perlindungan buruh migran melalui skema perlindungan sosial dan
diplomasi perlindungan tentu harus juga dikedepankan.
Inisiatif-inisiatif ini
menjadi bentuk konkret penghargaan terhadap mereka yang mengalirkan jerih
payahnya ke Tanah Air ketimbang terus-menerus melakukan pemujaan eksploitatif
(atau tepatnya commodity fethisism,
mengutip Karl Marx) terhadap buruh migran Indonesia sebagai ”pahlawan devisa”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar