Sabtu, 25 Agustus 2012

Kembali ke Jakarta


Kembali ke Jakarta
Toto Subandriyo ;  Peminat Masalah Sosial-Ekonomi;
Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera)
KOMPAS, 25 Agustus 2012

Ke Jakarta aku ’kan kembali. Walaupun apa yang ’kan terjadi...
Koes Plus

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual mudik Lebaran selalu menyisakan permasalahan sosial kependudukan yang memusingkan kota-kota besar, seperti Jakarta. Dalam hitungan hari, ritual mudik Lebaran segera berganti dengan ritual balik yang lebih seru.
Kaum urban kembali menyerbu kota tempat mengais rezeki setelah merayakan Lebaran di kampung halaman. Jumlah arus balik ini angkanya lebih banyak dibanding arus mudik karena fenomena migrasi berantai (chain migration).

Migrasi berantai merupakan migrasi yang mengandalkan hubungan kekerabatan. Mereka yang telah berhasil melakukan migrasi lebih dulu ke kota besar akan menanggung kehidupan pengikutnya. Bersama arus balik akan dijumpai wajah-wajah baru yang membanjiri kota. Momentum Lebaran dipilih karena saudara yang mudik akan membiayai keberangkatan para urban baru ke kota impian.

Meskipun angkanya cenderung menurun setiap tahun, jumlah pendatang baru di Jakarta seusai Lebaran masih cukup besar. Data lima tahun terakhir menyebutkan pendatang baru di Jakarta seusai Lebaran tahun 2007 adalah 109.617 orang, tahun 2008 sebanyak 88.473 orang, tahun 2009 sebanyak 69.554 orang, tahun 2010 sebanyak 60.000 orang, dan tahun 2011 mencapai 50.000 orang.

Selagi masih menjadi pusat peredaran uang dan tempat bertumpunya kue pembangunan, selama itu pula Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia akan selalu menjadi magnet bagi kaum urban. Penduduk desa usia produktif tetap menyerbu kota-kota besar untuk menyemaikan mimpi mereka.

Maraknya fenomena migrasi berantai menunjukkan makin tidak kompetitifnya sektor perdesaan dan sekaligus memberikan sinyal kepada kita bahwa negara ini tidak mampu mempertahankan konsistensinya sebagai negara agraris. Dampak salah urus pembangunan selama beberapa dekade telah menjadikan sektor pertanian dan sektor perdesaan sebagai sektor yang identik dengan kantong kemiskinan. Para pemuda tak tertarik lagi tinggal di desa karena tingkat pendapatannya sangat rendah.

Akhirnya, fenomena gerontokrasi di daerah perdesaan tak terhindarkan lagi. Gerontokrasi adalah istilah yang merujuk pada kondisi timpang antara penduduk usia produktif dan para lanjut usia. Gerontokrasi perdesaan dan pertanian ditandai oleh dominasi kaum tua tidak produktif, anak-anak, serta kaum wanita lanjut usia, dalam struktur ketenagakerjaan di sektor tersebut. Menurut penelitian, lima atau sepuluh tahun ke depan sektor pertanian/perdesaan akan mengalami krisis tenaga kerja.

Responsif

Tingginya tingkat urbanisasi merupakan tantangan berat bagi kota-kota besar. Angka kemiskinan, kriminalitas, dan pengangguran akan menjadi persoalan yang tiada berujung. Hal itu mengingat urbanisasi di negeri ini lebih bersifat urban involution. Merujuk pada Clifford Geertz yang memopulerkan istilah Involusi Pertanian (Agriculture Involution), istilah urban involution ini menggambarkan pada kondisi stagnan, dan bahkan mundurnya kota akibat sektor informal mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding sektor lainnya (industri).

Pertumbuhan pesat sektor informal di kota-kota besar telah menjadi magnet bagi tenaga kerja produktif perdesaan untuk beramai-ramai menyerbu kota dengan bekal pendidikan dan keterampilan seadanya. Kota-kota besar kemudian menjadi imagined community yang dipenuhi dengan simbol-simbol maya. Permasalahan sosial baru kemudian beranak-pinak, misalnya munculnya daerah rural-urban dan kawasan kumuh.

Ketimpangan pembangunan perkotaan dan pedesaan di negeri ini makin memperlebar jurang pemisah di antara keduanya. Langkah paling tepat untuk membendung urbanisasi ini adalah dengan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya di daerah. Namun, langkah tersebut bukanlah langkah yang bisa segera dilakukan dalam jangka pendek dan biayanya sangat mahal. Lapangan kerja akan banyak tercipta jika pertumbuhan ekonomi di daerah membaik, pertumbuhan ekonomi membaik jika pembangunan daerah berjalan dengan lancar.

Investasi Padat Karya

Sesuai dengan potensi terbesar bangsa ini, sudah sepantasnya negara lebih mengarahkan kegiatan investasi ke sumber daya utama, yaitu pertanian padat karya. Sektor perdesaan dan pertanian merupakan pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dibanding perkotaan (Lipton dan Vyas, 1981).

Oleh karena itu ”Gerakan Kembali ke Sawah” atau gerakan sejenisnya seperti yang sekarang ini dilakukan pemerintah provinsi Jawa Tengah dalam bentuk gerakan ”Bali Ndesa Mbangun Desa” perlu dilakukan dengan serius dan diadopsi sebagai model pembangunan nasional.

Gerakan ”Bali Ndesa Mbangun Desa” yang ditawarkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah jika dilakukan sesuai skenario akan memiliki daya ungkit (leverage) sangat besar bagi pembangunan perdesaan.

Untuk membangun perdesaan yang memiliki daya ungkit lebih besar perlu pendekatan aset. Kurangnya aset produktif yang dimiliki warga miskin merupakan penyebab utama sulitnya mereka keluar dari kubangan kemiskinan. Pendekatan aset ini ditawarkan untuk menstimulasi secara maksimal warga miskin dari utilisasi aset produktif (Sherraden, 1991; de Soto, 2001).

Kerja keras saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan sinergi kebijakan yang dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
Jika pamor perdesaan dan pertanian telah terangkat, kue pembangunan terbagi secara merata di semua wilayah hingga perdesaan, intensitas urbanisasi akan semakin berkurang. Lirik lagu ”Ke Jakarta” ciptaan Koes Plus mungkin tak lagi nyaring terdengar dari mulut kaum urban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar