Rabu, 01 Agustus 2012

Kemandirian dan Kedaulatan Pangan


Kemandirian dan Kedaulatan Pangan
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
KOMPAS, 01 Agustus 2012


Kekhawatiran akan terjadi krisis pangan sudah lama ada. Thomas Malthus menyebutkan bahwa penduduk akan bertambah menurut deret ukur dan produksi makanan bertambah sesuai deret hitung (1798). Dunia akan mengalami kekurangan pangan.

Teori Malthus tidak menjadi kenyataan karena jutaan hektar lahan pertanian dibuka dan teknologi produksi berkembang pesat. Program keluarga berencana juga berhasil, bahkan ada negara yang pertumbuhan penduduknya negatif.

Untuk menjaga dunia dari krisis pangan parah, Deklarasi Roma hasil Konferensi Pangan 1996, yang kemudian jadi Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) di bidang pangan, menargetkan jumlah penduduk dunia yang kelaparan berkurang dari 800 juta jiwa tahun 2002 menjadi 400 juta tahun 2015. Namun, tahun 2010 jumlah orang yang kelaparan justru menjadi 1 miliar.

Tampak jelas, masalah peningkatan kebutuhan pangan karena penduduk dunia dan konsumsi per kapita meningkat belum teratasi. Penduduk dunia tahun 2012 sekitar 7 miliar jiwa, bertambah 1 miliar dari tahun 1999. Ke depan, penduduk dunia akan bertambah 1 miliar setiap 10 tahun dan pangan akan menjadi masalah dunia.

Kondisi pangan Indonesia ke depan menjadi rawan karena pertambahan penduduk 1,3 persen/tahun. Dengan meningkatnya kesejahteraan, rakyat Indonesia menuntut pangan yang lebih banyak dan berkualitas. Tahun 1999, sebanyak 25 persen penduduk Indonesia adalah kelas menengah dengan pengeluaran 2-20 dollar AS/hari. Tahun 2012, kelas menengah ini menjadi 56,5 persen dari 237 juta penduduk.

Ancaman krisis pangan nasional semakin bertambah karena adanya pemanasan global. Musim panas tahun ini, Amerika Serikat, produsen pangan terbesar dunia, mengalami kekeringan di 60 persen wilayah pertaniannya. Dampaknya memengaruhi persediaan pangan dunia sehingga harga melonjak.

AS menghasilkan jagung 400 juta ton/tahun (Indonesia 18 juta ton), kedelai 16 juta ton/tahun (Indonesia 600.000 ton), dan gandum 56 juta/ton. China yang merupakan produsen sekaligus konsumen besar pangan juga menurun produksinya akibat banjir besar. Maka, Indonesia harus bersaing di pasar dunia yang pasokannya menipis.

Bangun Kemandirian

Dalam suasana yang demikian, Indonesia yang di wilayah tropis dengan 1,9 juta kilometer persegi daratan, 5,8 juta kilometer persegi lautan, artinya bisa melakukan budidaya sepanjang tahun, harus membangun kemandirian pangan. Artinya mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan rakyatnya.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan potensi sumber daya alam melimpah, kita perlu menyadari bahwa negara lain ingin memanfaatkan Indonesia sebagai sumber bahan mentah sekaligus pasar bagi produksi negaranya. Oleh karena itu, menjadi penting membangun kedaulatan ekonomi, termasuk pangan, dalam arti mengatur sendiri apa yang terbaik bagi negara dan bangsa. Tidak didikte kepentingan luar.

Perlu kita akui, kebijakan pangan Indonesia untuk waktu yang lama hingga sekarang telah salah arah. Kecenderungan yang ada adalah berorientasi jangka pendek, instan, dan terkesan demi popularitas, yang dalam jangka panjang merugikan.

Dari negara eksportir sapi sampai tahun 1970-an, hari ini kita mengimpor sapi setara 900.000 ekor/tahun, termasuk daging. Dari eksportir gula terbesar sebelum merdeka, kini importir 40 persen kebutuhan nasional. Dari swasembada garam sampai tahun 1990, kini impor 50 persen dari kebutuhan nasional.

Dari swasembada kedelai sampai 1995, sekarang mengimpor 70 persen dari kebutuhan nasional. Impor susu terus meningkat, sekarang mengimpor 90 persen kebutuhan susu nasional.

Lebih jauh lagi, buah-buahan dan sayur-sayuran pun angka impornya terus bertambah. Defisit neraca perdagangan pangan dan hortikultura terus naik.

Sebenarnya, harga tinggi adalah instrumen paling efektif untuk mendorong peningkatan produksi. Namun, di Indonesia, bila harga pangan tinggi, pemerintah justru melakukan operasi pasar untuk menekan harga. Harga pangan tidak boleh naik, sementara BBM dan biaya hidup meroket.

Saya yakin rakyat Indonesia siap menerima konsekuensi yang berat dari satu kebijakan sepanjang menjanjikan masa depan yang baik. Rakyat bisa menerima ukuran tempe yang mengecil karena harga kedelai naik asal pada saat yang sama pemerintah mendorong perluasan areal tanam kedelai.

Saat Indonesia swasembada kedelai tahun 1985, luas areal tanamnya 1,6 juta hektar dengan bea masuk di atas 30 persen. Hari ini, areal tanam kedelai tinggal 600.000 hektar. Dengan bea masuk kedelai 0 persen, areal tanam akan menyusut lagi.

Petani seolah dihibur ketika pemberlakuan bea masuk kedelai 0 persen diiringi dengan pernyataan pemerintah untuk segera memperluas areal tanam kedelai. Yang paling diuntungkan dengan bea masuk 0 persen adalah importir kedelai. Bukan tak mungkin, hiruk pikuk ini sengaja diciptakan untuk menekan pemerintah.

Pola seperti ini bisa terjadi pada komoditas lain, seperti gula, daging, gandum, dan susu. Kalau harga kedelai naik Rp 1.000/kg dan konsumsi/kapita/tahun sekitar 8 kilogram, dampaknya per hari Rp 22. Berbeda dengan rokok. Naik Rp 1.000/bungkus, habis sehari.

Inti membangun kedaulatan pangan adalah keberanian kita melakukan pilihan-pilihan yang mungkin pada jangka pendek terasa pahit, tetapi membuahkan kondisi yang baik pada jangka panjang. India yang sekarang menjadi eksportir gula, puluhan tahun menjaga harga gula yang tinggi di dalam negeri. Ini untuk merangsang penanaman tebu dan berkembangnya pabrik gula.

Thailand, walaupun produksi berasnya surplus 11 juta ton/tahun, tidak membiarkan harga beras dalam negeri jatuh. Negara membeli beras petani untuk menjaga harga tetap tinggi dan petani terangsang meningkatkan produksi.

Merosotnya produksi pangan tak dapat sepenuhnya disalahkan kepada Kementerian Pertanian, karena terlalu banyak kebijakan di lembaga pemerintah lain.

Kementerian Perdagangan yang merasa bertanggung jawab pada tersedianya pangan yang murah mengambil kebijakan praktis sektoral: membanjiri pasar dengan barang impor.

Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan di negara yang angkatan kerjanya 44 persen di sektor pertanian hanya mengalokasikan kredit untuk pertanian kurang dari 6 persen.
Pemerintah daerah dibiarkan menjual sawah beririgasi teknis yang dibiayai dengan utang luar negeri menjadi real estat.

Kementerian Kehutanan juga harus mempermudah pelepasan areal penggunaan lain untuk petani tanaman pangan dan hortikultura. Yang kita lihat sekarang, jutaan hektar dilepas untuk perkebunan besar yang mayoritas milik asing.

Tentu Kementerian Pertanian punya andil, terutama dalam penyaluran anggaran. Tahun 2012 sekitar Rp 20 triliun. Harusnya jumlah itu dapat digunakan untuk memberdayakan petani dan meningkatkan produktivitas aneka produk pertanian.

Melihat luasnya masalah, maka semua pihak yang terlibat perlu bergerak bersama membangun kemandirian dan kedaulatan pangan. Presiden RI sebagai dirigennya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar