Jumat, 24 Agustus 2012

Keganjilan Pemberian Fasilitas FPJP


Keganjilan Pemberian Fasilitas FPJP
Bambang Soesatyo ;  Anggota Timwas Century
MEDIA INDONESIA, 24 Agustus 2012


MASALAH yang terkait Bank Century merupakan kasus seksi, tapi orang terengah-engah mengikuti detailnya. Terlalu rumit, teknis, dan menyangkut rimba belantara perbankan yang tak dikenal orang ramai, termasuk wartawan.

Belum lagi akses data yang serbaterbatas karena industri keuangan memang dilindungi aneka aturan yang tak memungkinkan lalu lintas informasi diakses banyak pihak. Namun, sejauh berkaitan dengan dana publik, kita berhak memperbincangkannya, termasuk membuka-buka datanya.

Salah satu bagian yang perlu diperjelas dari kasus Bank Century itu ialah tak banyak orang menyadari pengucuran dana terhadap bank milik Robert Tantular itu sejatinya terjadi dua kali. Pertama sebesar Rp689 miliar dan kedua sebesar Rp6,7 triliun. Tentu saja yang lebih tersohor ialah pengucuran dalam skema total Rp6,7 triliun yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam bentuk penyertaan modal sementara (PMS), antara 24 November 2008 dan 24 Juli 2009. Sementara yang Rp689 miliar dikucurkan pada 14-18 November 2008 melalui skema fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).
Kucuran melalui skema FPJP dan skema LPS memiliki perbedaan dari sisi sumber dananya. FPJP ialah dana talangan dari (kantong) Bank Indonesia, sedangkan dana LPS merupakan gabungan antara dana publik (modal awal Rp4 triliun dari APBN) dan dana masyarakat melalui iuran perbankan.

Mungkin karena fasilitas pengucuran melalui skema FPJP itu sudah dilunasi 11 Februari 2009, urusannya dianggap selesai dan kurang diributkan. Padahal, tidak semudah itu urusannya.

Sebagaimana tersurat dalam catatan sebelumnya, karena kesulitan likuiditas, manajemen Bank Century pada 30 Oktober 2008 mengajukan permohonan FPJP kepada Bank Indonesia (BI) sebesar Rp1 triliun. Permohonan itu diulangi empat hari kemudian, 3 November 2008. Karena permohonan itulah pada 6 November 2008, Bank Century resmi berada dalam pengawasan khusus oleh BI.

Pada 14 November 2008, setelah mengubah peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang ketentuan rasio kecukupan modal (CAR) minimum dari 8% menjadi minimal 0%, Bank Century pun mendapat kucuran dana Rp356,8 miliar. Tiga hari kemudian (17/11) dikucuri lagi Rp145,2 miliar dan sehari kemudian ditambah lagi Rp187,3 miliar. Jumlah total FPJP yang diterima ialah Rp689 miliar (dari permohonan awal Rp1 triliun).

Jadi, ribut-ribut soal mengubah aturan yang dianggap last minute dan demi kepentingan Bank Century itu sesungguhnya ialah keributan di tahap fase pengucuran pertama (melalui skema FPJP), dan bukan bagian dari keributan Rp6,7 triliun.

Terjadi Keganjilan

Nah, menurut PBI No 10/30/ PBI/2008 ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebuah bank yang mengajukan FPJP, di antaranya ialah menyerahkan jaminan aset. Jadi, dalam hal ini BI bertindak sebagai layaknya bank, yang memberi pinjaman dan meminta jaminan aset dari debiturnya. Jaminan aset (kolateral) yang diserahkan manajemen Bank Century kepada BI ialah aset kredit atau kurang lebih sama dengan hak tagih. Dengan demikian, Bank Century punya tagihan kredit kepada para nasabah mereka dan tagihan kredit itulah yang dialihkan ke BI sebagai jaminan.

Di sinilah persoalan mulai muncul. Dalam dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April 2009 (sebelum kasus Bank Century meledak ke permukaan pada Juli 2009), ditemukan bahwa dokumen aset kredit senilai Rp232,5 miliar baru diserahkan ke BI tiga hari setelah pengucuran termin pertama, alias 17 November 2008.
Itu berarti, BI dengan sadar mengucurkan duit talangan terlebih dahulu tanpa meneliti kelengkapan dokumen aset kredit yang dijadikan jaminannya. Kesalahan (secara sengaja?) kembali terulang pada pengucuran selanjutnya, ketika BI sudah memberikan dana Rp187,2 miliar pada 18 November 2008, tetapi dokumen jaminannya baru diterima dua hari kemudian.

Menurut BPK, dua kesalahan beruntun itu melanggar aturan Pasal 8 PBI 10/30/2008 yang menyebut permohonan FPJP wajib dilengkapi dokumen antara lain daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung. Jadi, daftar agunan dan dokumennya harus diserahkan dulu lalu BI membuat penilaian dan fasilitas pun dikucurkan.
Pasal 9 menyatakan persetujuan B I atas permohonan FPJP dilakukan apabila antara lain bank memenuhi persyaratan kelengkapan permohonan FPJP. Jadi, bagaimana ceritanya Bank Century yang kelengkapannya menyusul justru bisa mendapat kucuran Rp689 miliar dalam empat hari berturut-turut?

Keganjilan-keganjilan lain yang sangat mengganggu ialah kuantitas agunan berupa aset kredit yang diserahkan Bank Century kepada BI. Lagi-lagi menurut aturan yang dibuat BI sendiri (PBI 10/26/2008) tentang FPJP, jumlah bank yang menyerahkan aset kredit sebagai jaminan harus berjumlah paling kurang 150% (Pasal 5) dari nilai FPJP. Nah, menurut temuan BPK, jumlah aset kredit yang dijaminkan ke Bank Indonesia hanya 148% dari FPJP yang dikucurkan, alias hanya Rp1,02 triliun. Keganjilan berikutnya, di dalam agunan yang kurang itupun (kuantitas) masih terdapat persoalan dari sisi kualitas agunannya. Di dalam aset kredit yang dijaminkan Bank Century kepada BI, terdapat hak tagih terhadap tiga debitur besar, yaitu PT Artha Persada (Rp222,99 miliar), Boedi Sampoerna (Rp195 miliar), dan PT Tranka Kabel (Rp50 miliar).

Jadi, pengusaha Boedi Sampoerna yang namanya banyak disebut-sebut sesungguhnya tak hanya sebagai deposan di Bank Century, tetapi juga sebagai debitur alias orang yang berutang. Ketiga debitur itu menyerahkan deposito mereka sebagai jaminan di bank yang sama. Jadi ketika Bank Century menyerahkan aset kredit dari ketiganya ke BI, agunan mereka berupa deposito pun ikut terbawa (carry over) sebagai jaminan FPJP.

BI Tersandera

Di mata BPK, itulah blunder yang dilakukan BI. Dengan jaminan deposito, bila ketiga debitur tersebut gagal bayar (kreditnya macet), agunan yang dapat dicairkan dari setiap mereka hanya Rp2 miliar sesuai batas dana pihak ketiga (DPK) yang dijamin LPS. Jadi, dari agunan sebesar Rp467 miliar itu (milik ketiga debitur), bisa-bisa hanya tinggal Rp6 miliar.

Itulah yang disebut dalam hasil audit BPK September 2009 (setelah kasus Bank Century ramai) sebagai jaminan yang tidak secured. Dengan adanya unsur jaminan deposito sebesar Rp467 miliar di dalam agunan Bank Century kepada BI itu pula, saya menganggap bila Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal dan kemudian ditutup, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp461 miliar. Bila memutuskan menutup Bank Century, BI pun hanya akan menerima pembayaran dari LPS maksimal Rp6 miliar dari ketiga deposito itu.

Jadi, dalam hal ini, BI sudah tersandera oleh keteledoran mereka (?) sendiri dalam episode pengucuran FPJP. Dampaknya mau tak mau mereka memang harus ngotot menyelamatkan Bank Century (dengan episode Rp6,7 triliun LPS).

Bank Century diputuskan sebagai bank gagal yang direkomendasikan berdampak sistemis pada 20 November 2008 pukul 20.00 WIB oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia (DGBI). Keputusan itu diteruskan ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan Menteri Keuangan sebagai ketuanya, yang langsung menggelar rapat pada hari yang sama pukul 23.00 sampai pukul 05.00. Rapat itulah yang lalu mengesahkan rekomendasi Bank Indonesia agar Bank Century di-bailout.

Seperti disampaikan pemerintah, pertimbangan memilih penyelamatan (bailout) alih-alih menutup--selain dampak sistemis--ialah biayanya yang jauh lebih murah: Rp632 miliar berbanding Rp5,6 triliun. Hanya, BI tidak mendasarkan datanya pada perhitungan CAR paling aktual (November) yang perhitungannya katanya baru keluar 20-25 hari setelah akhir bulan. Itu mirip pengucuran FPJP yang menggunakan asumsi CAR per 30 September, untuk pengucuran 14 November 2008.

Tentang CAR Bank Century saat diambil alih memang ada beberapa versi informasi. Menurut BI seperti dikutip laporan BPK, saat keputusan diambil, 20-21 November 2008, CAR Bank Century masih menggunakan perhitungan CAR 31 Oktober, yakni negatif 3,53%. Angka CAR November menurut BI baru keluar 23 November 2008.
Aneh rasanya perhitungan CAR oleh bank sentral dibuat di hari libur, mengingat 23 November 2008 ialah Minggu. Itu di luar kelaziman yang ada.

Singkatnya, BPK menarik kesimpulan sementara bahwa BI tidak memberikan informasi mengenai berapa risiko penurunan CAR. Informasi yang tidak diberikan tersebut ialah penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui BI.

Kita akan sama-sama lihat bahwa BI patut diduga dengan sengaja menerima jaminan aset yang berpotensi merugikan negara saat memberi FPJP kepada Bank Century.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar