Kamis, 23 Agustus 2012

Jokowi dalam Kepungan Parpol


Jokowi dalam Kepungan Parpol
Didik G Suharto ;  Doktor Ilmu Administrasi, Dosen FISIP UNS Surakarta
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2012


MESKIPUN dengan cekatan cagub DKI Jakarta Jokowi mengambil langkah taktis menemui Hidayat Nur Wahid dan para petinggi PKS yang lain begitu selesai pemungutan suara pada 11 Juli lalu, faktanya secara resmi PKS menjatuhkan pilihan koalisi dengan pasangan Foke-Nara. Partai itu memilih meninggalkan Joko Widodo pada putaran II (SM, 12/07/12).

Bergabungnya PKS ke Foke-Nara seolah-olah melengkapi nasib Jokowi-Ahok yang ditinggalkan oleh sejumlah partai, setelah sebelumnya Golkar bersikap serupa. Dengan tambahan dukungan parpol kepada Foke-Nara, secara logika makin mengangkat suara pasangan tersebut pada putaran II. Bila diasumsikan dukungan partai merefleksikan suara pemilih, berarti ancaman bagi Jokowi-Ahok dan Foke-Nara bisa unggul dalam pemilihan 20 September nanti? 

Pertanyaannya, apakah peta dukungan parpol akan linier dengan perolehan suara masing-masing calon? Berkaca pada hasil putaran I, dukungan parpol ternyata tidak merepresentasikan suara yang diperoleh calon. Perolehan suara masing-masing calon (kecuali Jokowi-Ahok) jeblok dibanding suara parpol dalam pemilihan anggota legislatif. Pada putaran II hal yang sama sangat mungkin terjadi, minimal mendasarkan pada tiga argumentasi.

Pertama; pilkada (terutama di DKI sekarang) lebih pada pertarungan popularitas individu ketimbang pertarungan antarparpol. Figur dan rekam jejak personal menjadi faktor penting dalam pemilihan secara langsung. Pilgub DKI mencerminkan kurang adanya signifikansi partai pendukung dengan kemenangan calon. Parpol terbukti kurang memberikan kontribusi signifikan bagi kemenangan calon, terutama bila mesin parpol tidak bekerja.

Lihat saja, hasil putaran I menunjukkan pemilih Jakarta menginginkan pemimpin yang mampu membawa perubahan. Isu-isu SARA yang dilontarkan sebagian pihak kurang berhasil untuk menjatuhkan popularitas pihak lain. Popularitas calon lebih ditentukan oleh potensi dan kemampuannya menyelesaikan persoalan Ibu Kota menurut perspektif pemilih.
Dalam konteks peningkatan popularitas, Jokowi justru makin menanjak. Selain karena makin banyak warga Jakarta mengenalnya, prestasi kepemimpinannya terus bertambah. Terakhir, Kota Solo mendapat penghargaan internasional dari Kemitraan Pemerintahan Lokal Demokratis Asia Tenggara (Delgosea) atas keberhasilan merelokasi secara manusiawi dan pemberdayaan PKL.

Kedua; aliansi partai politik pascaputaran II diragukan kesungguhannya. Pasalnya, peserta ‘’koalisi’’ adalah parpol-parpol yang pada putaran I menjadi lawan, sekaligus penyerang kebijakan incumbent (petahana). Bagaimana mungkin publik bisa dengan mudah dibelokkan arah pilihannya jika sebelumnya mereka dijejali kampanye yang cenderung ‘’menyerang’’ incumbent? Bahwa Foke-Nara bersedia mengakomodasi visi-misi calon yang kalah dijadikan alasan pembenar parpol peserta koalisi, bisa dikatakan alasan klise dalam dunia politik.

Momentum Jokowi

Ketiga; dalam hampir tiap pilkada, parpol (dan juga calonnya) yang kalah biasanya sudah kehabisan semangat dan ‘’energi’’. Soliditas parpol seringkali juga sudah tak bisa diandalkan. Artinya, kemampuan dan kemauan mereka untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan dukungan ke calon lain sangat diragukan, kecuali PKS yang loyalitas konstituennya relatif mantap. Ajakan partai ke konstituen untuk mencoblos calon lain bisa berubah menjadi bumerang seandainya konstituen menganggap ada yang tak beres dalam proses dukung-mendukung itu.

Jokowi-Ahok tidak perlu terlalu khawatir dengan kebijakan parpol-parpol yang merapat ke Foke-Nara. Memang, bisa jadi ada dukungan suara mengalir ke Foke-Nara. Namun potensi Jokowi-Ahok untuk menang tetap besar, dengan catatan dalam sisa waktu ini mereka mampu menjaga momentum yang saat ini kelihatannya masih berpihak. Hanya momentum itu bisa cepat hilang jika Jokowi-Ahok tidak mampu mengelolanya secara tepat.

Strategi Jokowi-Ahok menjalin koalisi dengan rakyat mau tidak mau harus lebih ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Aksi nyata, pembuatan opini, hingga penyusunan jargon yang menunjukkan mereka lebih dekat ke masyarakat ketimbang ke parpol, menjadi strategi jitu di balik ‘’kekalahannya’’ memperebutkan dukungan parpol. Posisinya yang seolah-olah teraniaya akibat ditinggalkan parpol bisa menjadi kartu truf dalam memperebutkan simpati publik di tengah kejenuhan publik terhadap perilaku negatif yang sering dipertontonkan sebagian elite-elite partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar