Janji
Susilo Bambang Yudhoyono
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma dan
Dosen Luar Biasa
Universitas Ma-Chung,
Malang
MEDIA
INDONESIA, 02 Agustus 2012
GUS Mus (Mustofa Bisri), penyair asal Rembang, dengan mengutip
perkataan Syekh Nawawi Banten (18141897 M), menyebut, “Semua perintah Allah
bisa dikembalikan kepada dua hal: mengagungkan-Nya dan menyayangi makhluk-Nya.”
Pernyataan itu mengingatkan kita bahwa manusia di muka bumi ini
menjalani dua peran besar yang berelasi dengan Tuhan dan sesama makhlukNya. Peran besar yang dijalani manusia ialah mengagungkanNya. Kalau peran besar itu
bisa dijalankan, berbagai bentuk perubahan besar di muka bumi bisa
diperolehnya. Masalahnya, sudah kapabelkah manusia mengagungkan-Nya?
Faktanya, manusia tidak mudah menjadi sang pengagung. Banyak di
antara mereka yang memahami doktrin untuk mengagungkan-Nya seolah-olah gampang
mewujudkannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kegagalan itu
tampak terbaca pada diri pemimpin negara, yang sering merelasikan pola
kepemimpinannya dengan doktrin keagamaan.
Salah satu doktrin keagamaan yang sering disampaikan atau
dideklarasikan pemimpin adalah soal janji. Baik ketika memimpin maupun sedang
bernafsu merebut jabatan tertinggi, seseorang sering kali mengobral janji, yang
dengan janji tersebut rakyat diharapkan memercayai dan mendukungnya. Janji itu
bahkan diaktanotariskan atau dibuat dalam rumusan perikat an moral yang dikenal
dengan pakta integritas.
Logis seorang pemimpin mengucapkan dan menabur janji. Janji
merupakan parameter bersungguh-sungguh/tidaknya seseorang memimpin dalam
mengimplementasikan pola kepemimpinannya. Dari janji itu ia terikat pada apa
yang diucapkan atau diprogramkan. Janji bisa membuat seseorang yang
menyampaikannya memasuki jagat kesakralan kerakyatan dan kebangsaan yang
menuntutnya untuk berusaha maksimal dalam mewujudkannya.
Sayangnya, janji itu tidak selalu bisa terbukti. Tak sedikit di
antara elite yang berjanji gagal mewujudkannya atau tidak ada keinginan
menyejarahkannya. Ia hanya berjanji supaya konstituen atau rakyat
memercayainya. Ia sebatas memengaruhi dan menguasai wacana, opini, dan hak opsi
masyarakat, bukan bermaksud memberi bukti empirisnya.
Kata Khoiron Al-Fatah (2010), janji itu piagam moral teristimewa,
yang dalam wilayah suksesi atau pergantian pimpinan negara dapat meyakinkan
publik atau membelokkannya. Janji tersebut semakin berisiko tinggi di lisan
pemimpin negara. Ketika yang mengucapkan elite fundamental kekuasaan,
pengaruhnya bisa sangat besar dan dahsyat.
Rakyat yang mendapatkan janji palsu atau sekadar diberi mimpi dari
sang pemimpin, tapi tak diberi bukti atau tak ada kepastian kapan janji
pemimpin bisa dinikmatinya, maka logis kalau merasa menjadi objek yang
dikhianati, dipermainkan, atau diperlakukan sekadar sebagai kuda tunggangan
kepentingan eksklusif pemimpin.
Salah satu pemimpin bangsa yang sedang ditagih janjinya sekarang
ini ialah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya, pada kampanye Pemilu
Presiden 2009, Yudhoyono berjanji membagikan 9,3 juta lahan telantar kepada
rakyat jika terpilih lagi. Kemudian pada 2010, di Istana Bogor, Yudhoyono kembali
menegaskan komitmennya pada pembaruan agraria.
Janji SBY itu tidak bisa dikategorikan sebagai janji sepele. Selain
yang meng ucapkan adalah pucuk pimpinan pemerintahan, itu juga menyangkut objek
vital bangsa ini. Lahan yang digunakan sebagai objek vital yang diperjanjikan
secara politik merupakan kebutuhan mendasar, yang menentukan keberlanjutan dan
kesejahteraan hidup warga. Ketika objek yang diperjanjikan itu ternyata tidak
mampu dijadikan instrumen yang menyejahterakan, membahagiakan, dan memberikan
keadilan kepada publik, tidak salah manakala di tengah masyarakat terjadi
konflik hingga radikalisme sosial.
Gagal Mencegah
Konflik lahan seperti tak surut melanda negeri ini . Negara
seperti tak berdaya bahkan gagal mencegah dan menyelesaikannya. Konflik lahan
paling mutakhir terjadi antara warga Danau Lancang, Tapung Hulu, Kampar, Riau,
dan PT Riau Agung Karya Abadi. Pada peristiwa Minggu (29/7), warga membakar 70
rumah karyawan dan kantor perusahaan.
Sebelumnya, konflik lahan terjadi antara warga Limbang Jaya,
Tanjung Laut, Ogan Ilir, Sumatra Selatan, dan PT Perke bunan Nusantara VII
Cinta Manis. Pada peristiwa Jumat (27/7) itu, bocah berusia 12 tahun Angga bin
Darmawan tewas dan bin Darmawan tewas dan lima orang lainnya men derita
luka-luka. Ironisnya, kedua peristiwa itu berlangsung kurang dari lima hari
setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta aparat negara menyelesaikan
konflik agraria secara adil, damai, dan tertib. (Editorial Media Indonesia, 30 Juli 2012).
Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, “Akar dari semua
gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan.“ Semakin
sering memberikan impian atau menabur janji tanpa bukti empiris, negara ini
layak dikategorikan sebagai pembentuk akar radikalisme sosial. Pada elemen
warga yang sering disuguhi tontonan perilaku dan kebijakan elitis yang `menyiksa
kejiwaan', gampang terbentuk sikap ketidakpuasan.
Hernando de Soto juga menegaskan atau menguatkan bahwa ‘rasa tidak
puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal
yang sulit dikendalikan’. Penyakit kecewa seperti merasa dikhianati pemimpin
merupakan penyakit psikologis yang tidak ringan. Akibat kekecewaannya itu, ia
bisa tergiring melakukan tindak an ilegal dan radikalisme.
Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) mengemukakan keberingasan atau
pertikaian yang bercorak menumpahkan darah tersebut terjadi karena perasaan
tertekan yang berlangsung secara intens dan meluas dalam masyarakat. Ketika
perasaan tertekan mengakumulasi, berbagai jenis konfl ik dan perlawanan akan
mudah tersulut dan terbentuk di mana-mana.
Keberingasan atau kejahatan kekerasan tidak akan begitu saja bisa
terjadi di tengah masyarakat kecuali ada atmosfer frustrasi akut yang diderita
seseorang atau sejumlah orang. Tekanan kejiwaan yang berlangsung lama karena
tiadanya sarana (seperti lahan) untuk membangun kesejahteraan atau membebaskan
kemiskin an, serta masih kentalnya penyakit ketidakadilan yang diciptakan
negara, mendorongnya untuk menjadikan kekerasan atau konflik sebagai opsi.
Atas nama hak, mereka tidak takut pada gesekan atau konflik
berdarah. Mereka sudah tidak kuat menghadapi kondisi yang sekian lama merampas
atau menjauhkan dari atmosfer yang berpeluang menyejahterakan dan memperlakukan mereka sebagai bangsa beradab. Mereka
menuntut pengakuan bahwa diri mereka masihlah bagian dari rakyat negeri ini
yang secara egaliter wajib mendapatkan tempat terhormat dalam menikmati segala
jenis sumber daya bangsa.
Itu menunjukkan kekerasan individual dan massal berpotensi terjadi
dan bisa marak di mana-mana akibat perasaan ketidakpuasan terhadap kinerja
pemerintah (negara), atau adanya ketertekanan, perlakuan tidak adil, disparitas
distribusi sumber pendapatan, praktik dehumanisasi atau ketidakberadaban yang
berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara.
Sosok pemimpin seperti SBY merupakan representasi negara atau
potret kinerja rezim, yang seharusnya selalu ingat dengan janji yang belum
disejarahkannya. Janji yang belum dilaksanakan, antara lain dalam bentuk
penyediaan lahan bagi para petani atau rakyat kecil, merupakan janji
fundamental dan sakral yang bisa mengakibatkan timbulnya reaksi radikal.
Reaksi radikal dan
‘berdarah’ dalam kasus perebutan lahan merupakan cermin gugatan terhadap janji
yang belum terealisasi. Opsi politik bernama janji kepada rakyat wajib
diwujudkan sebagai bukti kesungguhan dalam mencegah dan meminimalisasi reaksi
itu, kecuali pemerintah atau SBY memang tidak seberapa menganggap ada eskalasi
bahaya yang mengancam keberlanjutan hidup dan harmoni negeri ini, di samping
memenuhi janji merupakan wujud penahbisan spiritualitas dalam mengagungkan-Nya.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar