Selasa, 07 Agustus 2012

Investasi dan Perdagangan

Investasi dan Perdagangan
A Prasetyantoko ; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Unika Atma Jaya
KOMPAS, 07 Agustus 2012


Saya teringat kuliah seorang profesor terkemuka. Dia mengatakan, krisis itu seperti olimpiade, sama-sama punya semboyan: citius, altius, fortius (lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat).

Artinya, setiap kali krisis datang selalu lebih rumit dari sebelumnya. Perumpamaan lain, krisis bagaikan virus penyakit: ketika menyerang lagi sudah lebih kebal sehingga perlu dosis obat lebih tinggi.

Masalahnya, seperti kata Nouriel Roubini (Crisis Economics, 2010), kita hidup dalam dunia di mana krisis adalah normalitas. Pada masa depan, situasi normal adalah kondisi di mana terjadi krisis. Untuk itu, mau tak mau kita harus lebih membiasakan diri terhadap krisis, dengan berbagai cara. Salah satu yang perlu diantisipasi, dalam krisis biasanya terjadi banyak paradoks. Hari-hari ini kita tengah mengalami bagian paradoks tersebut.

Dari sisi investasi, aliran modal masuk begitu deras, portofolio ataupun investasi asing langsung (FDI). Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat total realisasi investasi kuartal II-2012 Rp 76,9 triliun, naik sekitar 24 persen dari kuartal II-2011. Realisasi investasi asing (PMA) jauh lebih tinggi dibandingkan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Itulah kinerja terbaik investasi sejak krisis 1998.

Kondisi berbanding terbalik terjadi pada perdagangan. Untuk ketiga kali berturut-turut, neraca perdagangan defisit. Pada Juni sebesar 1,3 miliar dollar AS, terbesar dalam 5 tahun terakhir. Defisit Mei 485 juta dollar AS dan April 641 juta dollar AS. Bagaimana mengelola situasi paradoksal ini? Implikasi makro apa yang perlu diwaspadai?

Anomali Ekonomi

Paradoks yang dialami negara berkembang tak terlepas dari situasi global. Negara-negara maju juga mengalami berbagai dilema dan anomali. Salah satu yang tengah mereka hadapi, yakni melonjaknya beban utang di tengah menurunnya peringkat utang. Namun, benarkah penurunan peringkat utang berbanding terbalik dengan beban utang? Ternyata tidak selalu.

Peringkat utang negara-negara Eropa terancam diturunkan lembaga pemeringkat seperti Moody’s dan S&P. Inggris juga mendapat penilaian (outlook) negatif, yang berarti berpotensi diturunkan. Demikian pula Jerman dengan peringkat tertinggi (AAA), berpotensi kehilangan posisi premiumnya. Apalagi negara Eropa lain, seperti Siprus, Portugal, Irlandia, Italia, dan Spanyol, mengalami penurunan tajam peringkat utang.

Umumnya, penurunan peringkat membuat biaya penerbitan obligasi (yield) jadi lebih mahal. Misalnya, surat utang Spanyol berjangka 10 tahun imbal hasilnya hampir 7 persen. Bandingkan dengan obligasi 10 tahun Pemerintah RI yang hanya sekitar 5 persen. Meski begitu, situasi bisa berubah drastis begitu terjadi gejolak. Krisis memorakporandakan normalitas.

Bloomberg pernah melakukan survei terhadap 314 kasus perubahan kenaikan, penurunan, dan penilaian oleh lembaga pemeringkat selama 38 tahun. Hasilnya, separuh dari kasus itu justru menimbulkan efek sebaliknya: imbal hasil pemerintah justru turun pada saat lembaga pemeringkat memberikan sinyal supaya naik dengan penurunan peringkat utang. Itu alasan Gubernur Bank Sentral Inggris Mervyn King pernah berkata, janganlah kita jadi budak lembaga pemeringkat.

Apa pelajaran bagi kita sebagai negara berkembang? Pertama, jangan menggantungkan harapan pada aliran modal asing jangka pendek. Kedua, respons investor global mengandung anomali, terutama ketika terjadi gejolak. Ketika situasi tenang, persepsi risiko investor terhadap investasi di negara berkembang sangat positif, tetapi ketika terjadi krisis persepsi bisa berubah drastis. Mereka mengenal istilah save havens atau strategi menempatkan portofolio investasi pada instrumen paling aman pada saat krisis. Apa pun alasannya, instrumen investasi yang dikeluarkan negara maju, seperti AS, dianggap lebih aman daripada instrumen yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, misalnya. Jadi, jangan heran jika terjadi gejolak rupiah terdepresiasi tajam seiring lonjakan aliran modal asing keluar.

Antisipasi Kebijakan

Apa yang harus kita lakukan menghadapi paradoks di dalam negeri serta berbagai anomali di dunia global? Pertama, defisit neraca perdagangan harus dilihat sebagai peringatan dini. Jika neraca pembayaran Indonesia (NPI) defisit, tak tertutup kemungkinan lembaga pemeringkat menurunkan peringkat investasi kita. Dengan begitu, pelarian modal akan terjadi lebih cepat, rupiah melemah tajam, dan target pencapaian makro, seperti pertumbuhan dan inflasi, terganggu.

Kedua, kenaikan target investasi asing harus disikapi dengan moderat. Upaya mendorong peningkatan partisipasi investor domestik masih perlu ditingkatkan secara progresif. Kenaikan investasi langsung pada kuartal II-2012 masih didominasi asing: PMDN sebesar Rp 20,8 triliun, sementara PMA Rp 56,1 triliun.

Selain itu, FDI harus didorong agar memproduksi barang ekspor bukan sekadar menghasilkan produk kebutuhan domestik. Ada indikasi, kenaikan FDI akan disertai peningkatan impor karena sekitar 70 persen komponen impor berupa bahan baku atau bahan penolong. Jika hasil industri tak meningkatkan ekspor kita, kenaikan impor kian meninggalkan ekspor kita. Dengan begitu, akan ada paradoks berikutnya: kenaikan FDI akan menekan neraca pembayaran kita. Apalagi, keuntungan usaha FDI biasanya dikembalikan ke negara asal perusahaan (repatriasi) sehingga turut menekan neraca jasa.

Ketiga, melihat situasi ini, konsekuensi jangka pendek yang harus kita terima adalah penurunan target pertumbuhan pada kuartal II-2012, yang diprediksi menurun dibandingkan kuartal I, meski tetap di atas 6 persen. Dengan begitu, kita harus siap dengan stimulus fiskal dan sedikit pelonggaran moneter agar target pertumbuhan bisa dicapai akhir 2012. Ruang penurunan suku bunga meski tekanan inflasi cukup rendah tetap saja harus memperhitungkan aliran modal asing jangka pendek. Karena itu, sangat realistis jika BI Rate dipertahankan 5,75 persen.

Keempat, nilai tukar kemungkinan akan dibiarkan melemah pada kisaran Rp 9.200-Rp 9.400 per dollar AS agar arus impor bisa ditahan dan nilai ekspor sedikit meningkat. Dalam situasi yang diwarnai paradoksal memang tak pernah ada satu atau dua kebijakan bisa menyelesaikan masalah. Di luar segara kesulitan jangka pendek dan kondisi-kondisi yang sulit diantisipasi diperlukan penyusunan strategi besar, mulai dari fiskal (Kementerian Keuangan), moneter (BI), hingga dunia industri, termasuk strategi pangan dan energi. Maka, respons terhadap situasi ini tak lagi bisa dilakukan secara parsial, di setiap kementerian dan lembaga, tetapi harus dalam komando yang lebih luas, lintas departemen. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar