Injeksi
Kekerasan
Hery Firmansyah ; Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
REPUBLIKA,
04 Agustus 2012
Bulan
yang penuh dengan kasih sayang dan keberkahan ini entah mengapa kemudian
dihiasi dengan berita-berita kekerasan, baik yang berasal dari dalam maupun
luar negeri. Dari luar negeri tepatnya di Myanmar teman-teman Muslim etnis
Rohingya mendapatkan perlakuan yang sungguh tidak manusiawi oleh junta militer
yang berkuasa. Hal yang sangat membuat miris adalah tragedi pembantaian
kemanusiaan ini mendapat respons yang lambat dan tidak sebombastis semisal
kasus penembakan James Eagan Holmes pada saat pemutaran film perdana Batman.
Apakah
puluhan nyawa yang dicabut oleh Holmes tidak sama nilainya dengan ratusan nyawa
etnis Rohingya? Pembelajaran dari ini semua adalah terkadang kita harus
melihat sebuah kenyataan dari sebuah penafsiran yang dangkal dan berstandar
ganda (double standard).
Mengutuk
aksi kekerasan bukan karena berlandaskan sisi subjektif semata, dengan hanya
melihat sisi korban yang mewakili suatu agama tertentu, karena tentu hal ini
akhirnya hanya akan kembali menghidupkan perang kosmik. Dalam konteks ini
pelaku beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan dengan mencabut nyawa orang
lain adalah ekses lain yang ditimbulkan dari sebuah skenario Tuhan semata.
Kita
mungkin terlalu naif jika hanya melihat fakta yang jauh dari pelupuk mata kita,
karena di negara ini kekerasan masih ada. Setidaknya kasus bentrok para petani
dengan aparat keamanan di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, menghasilkan fakta yang
tak terbantahkan seorang anak berusia 13 tahun tewas. Fakta baru mungkin belum
dapat diungkap lebih jauh, karena aparat keamanan membantah keras bahwa ada
tembakan yang menewaskan korban tersebut.
Untuk
meredam gejolak amarah yang akan mengakibatkan kekerasan yang lebih meluas,
maka pihak Polri merasa perlu menerjunkan tim pencari fakta (TPF) untuk
mengusut tuntas kejadian tersebut. Namun, kekecewaan yang timbul adalah TPF
tadi hampir selalu gagal memutus rantai kekerasan, bahkan untuk suatu daerah yang
sama terulang kembali kejadian yang sama.
Pola
usang ini sebenarnya tak terlalu dipersoalkan karena dengan metoda apa pun yang
ditempuh, setidaknya dapat menemukan sebuah kebenaran dari setiap goresan
kekerasan yang terjadi di negara ini, namun hasilnya berakhir dengan begitu
kontraproduktif. Kekerasan seakan tidak pernah terpisahkan dalam penyelesaian
perselisihan yang erat kait annya dengan hajat hidup orang banyak, baik di
tanah pertambangan, sektor kelapa sawit, bahkan penghapusan terminal bayangan
sekalipun, pelakunya? Bukan hanya aparat keamanan, tapi juga masyarakat yang
mengatasnamakan kelompok yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Dilema
mungkin saja hadir di tengah kerinduan masyarakat akan hukum yang tegas dan ini
dapat menjadi senjata pamungkas aparat keamanan untuk mewujudkan bentuk
perlindungan hukum dengan muntahan peluru senjata otomatis. Dilema lain muncul
ketika tindakan tegas aparat disitir oleh provokator untuk leluasa bergerak
memuluskan aksinya. Pertanyaan yang kemudian mengerucut adalah bagaimana
kemudian memutus rantai kekerasan semacam ini?
Sangat
sulit tentunya untuk dapat memberikan jawaban yang layak karena perbedaan sudut
pandang dan mungkin saja kepentingan yang tercipta dalam memberikan tanggapan
tentunya akan sangat memengaruhi, apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja?
Tentunya kita akan menjawab dengan tegas tidak.
Menyikapi
dari titik awal keberpihak an kepada kebenaran dan kepentingan negara di atas
segalanya tentu akan menjadikan siapa pun, baik aparat keamanan maupun
masyarakat berada pada bingkai penyikapan yang bijak yang tidak akan melakukan
suatu hal yang merugikan bagi kehidupan orang lain. Kondisi ideal ini mungkin
sulit untuk ditemukan bahkan dibentuk dengan mudah, karena sikap semacam itu
akan terbentuk jika kehadiran hormat (respect)
antarsesama sudah tumbuh di antara kita.
Di
luar itu, untuk dapat meminimalisasi kuatnya dorongan nafsu melakukan kekerasan
adalah perlunya menghadirkan kualitas aparat keamanan yang diterjunkan dengan
kemampuan diplomasi baik, menghindarkan kuantitas personel yang masih berusia
belia. Budaya jemput bola untuk mendatangi kerumunan massa yang sedang terbakar
amarah dengan penuh rasa kekeluargaan yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi
dalam wilayah hukum yang dikuasakan kepadanya, tentunya akan memberikan ruang
komunikasi yang baik.
Sebaliknya,
masyarakat juga harus lebih dewasa dalam menyikapi informasi yang belum tentu
benar adanya. Tidak jarang mereka yang ikut terlibat aksi yang akhirnya
mengarah pada kekerasan itu sekadar ikut-ikutan. Padahal, sejumlah sanksi
pidana menunggu mereka. Hal ini harus dipahami karena fenomena yang tertangkap
di lapangan masih banyak orang yang berpikir --dikarenakan pengetahuan hukum
yang belum cukup-bahwa jika aksi massa dilakukan maka seolah aksi tersebut
menjadi legal atau sah saja di mata hukum.
Stigmatisasi
hukum semacam ini harus dijawab oleh aparat dengan penanganan hukum yang
profesional. Siapa pun yang terbukti bersalah harus dihukum setimpal. Jika kita
cermat membaca, maraknya aksi kekerasan dimunculkan oleh sikap apatis dan
permisif aparat keamanan, yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk
memancing gangguan ketertiban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar