Kamis, 23 Agustus 2012

Idul Fitri dan Kohesivitas Sosial


Idul Fitri dan Kohesivitas Sosial
M Hilaly Basya ;  Kandidat Ph D Bidang Religious Studies
di The University of Leeds Inggris, Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA, 22 Agustus 2012


Tradisi Idul Fitri dalam masyarakat Islam Indonesia yang ditandai dengan silaturahim dapat meningkatkan kohesivitas sosial. Umat Islam saling mengunjungi dan menjabat erat tangan seraya memohon maaf. Benci, kesal, dendam, dan permusuhan seakan larut dalam suasana kegembiraan dan kesucian. Masing-masing ingin membuka pintu hati bagi `saudaranya'.

Aktivitas ini dapat mereduksi kesenjangan akibat minimnya interaksi dan komunikasi di antara mereka. Idul Fitri bahkan mendorong mereka yang bekerja di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman (mudik) meskipun harus menguras biaya besar dan menempuh perjalanan yang melelahkan. Seakan-akan mereka ingin `menghancurkan' ruang yang memisahkan dengan keluarga besar dan kawankawannya di desa. Tradisi semacam ini sudah dianggap sebagai ritual agama yang harus dijalankan pada hari raya tersebut.

Ritual Idul Fitri semacam ini menawarkan `imajinasi' mengenai bagaimana seseorang memaknai relasi sosialnya. Idul Fitri diyakini oleh umat Islam sebagai hari suci di mana seluruh dosa akan dihapuskan oleh Tuhan (Allah) sepanjang mereka mau meminta maaf dan memberi maaf kepada sesamanya.

Jika sikap tersebut dapat mereka tunjukkan maka mereka akan kembali seperti bayi yang baru terlahir ke dunia yang sama sekali tidak memiliki dosa.

Dalam kepercayaan Muslim memiliki dosa adalah penderitaan sebab mereka akan mendapat siksa di akhirat (hidup sesudah kematian).

Keyakinan seperti ini memengaruhi secara dalam kesadaran umat Islam. Sehingga, Idul Fitri mampu mendorong seseorang untuk menjalin kembali hubungan sosial dengan orang yang dibencinya. Kecenderungan ini mengindikasikan bahwa `imajinasi' yang ditawarkan agama memiliki kekuatan besar dalam membangun kohesivitas sosial (Durkheim, 1976).

Penting untuk menjadi catatan bahwa pemeluk agama juga berperan dalam memperluas atau memberi makna baru pada `imajinasi' agama. Latar belakang pendidikan, etnisitas, kelas sosial, jenis kelamin, dan budaya dapat mewarnai tafsir dan tradisi agama. Itu sebabnya tradisi Idul Fitri dipraktikkan secara bervariasi di setiap negara (bahkan di dalam masyarakat Indonesia) meskipun ada nilai-nilai prinsip yang sama.

Dan, Islam membolehkan kecenderungan ini sepanjang tidak melanggar nilai prinsip. Karena itu, sangat penting untuk menekankan perlunya memberi makna yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sejauh ini, sebagian besar umat Islam Indonesia masih terjebak dalam pemberian makna yang normatif. Idul Fitri hanya diartikan sebagai hari suci di mana seorang Muslim dianjurkan untuk mengunjungi dan berjabat tangan dengan sesama Muslim. Seakan-akan membangun relasi sosial dengan non-Muslim tidak menjadi penting.

Modal Sosial

Pada dasarnya, silaturahim yang dibangun saat Idul Fitri merupakan bagian dari modal sosial. Modal sosial diartikan sebagai sikap saling percaya antarsesama warga (interpersonal trust) dan jaringan keterlibatan dalam kehidupan kewargaan (civic engagement) (Robert Putnam, 2002). Lebih jauh, modal sosial dapat dijabarkan sebagai kehendak baik, persahabatan, simpati, dan hubungan sosial di antara individu dan keluarga yang menciptakan unit sosial.

Doktrin silaturahim dalam Idul Fitri merupakan simulasi tentang interpersonal trust. Masyarakat dianjurkan untuk senantiasa memelihara rasa percaya, simpati, dan persahabatan terhadap sesama warga. Kondisi semacam ini dapat dikategorikan sebagai sehatnya tingkat interpersonal trust dalam masyarakat. Suasana Idul Fitri di mana umat Islam terlihat bersahabat dengan siapa pun, tanpa mempersoalkan status sosial, etnisitas, dan perbedaan agama harus menjadi tujuan ideal dalam beragama (ber-Idul Fitri).

Tingkat interpersonal trust yang baik akan memberi kontribusi terhadap kohesivitas sosial dalam sebuah bangsa. Sebaliknya, sikap saling curiga dan memusuhi akan membahayakan relasi sosial (Putnam, 1995). Intoleransi dalam beragama, kekerasan terhadap minoritas, pertikaian antaretnis dan kelompok mengindikasikan buruknya tingkat interpersonal trust dalam masyarakat. Biasanya, hal ini didasari oleh persepsi bahwa kelompok ‘lain’ hendak merusak ‘kita’.

Atas dasar itu, memaknai tradisi silaturahim dalam Idul Fitri secara lebih progresif dan pluralis bernilai sangat penting bagi masa depan kebangsaan Indonesia. Akan sangat baik jika sikap simpati, bersahabat, saling mengunjungi, dan bermaafan tidak hanya dilakukan sebatas ritual Idul Fitri, dan tidak sebatas pada sesama Muslim. Betapa pun, agama itu menyediakan ‘imajinasi’ sosial yang dapat membantu manusia dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar