Idul Fitri dan
Kohesivitas Sosial
M Hilaly Basya ; Kandidat Ph D Bidang Religious
Studies
di The University of Leeds
Inggris, Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
REPUBLIKA,
22 Agustus 2012
Tradisi Idul Fitri dalam masyarakat Islam Indonesia yang ditandai
dengan silaturahim dapat meningkatkan kohesivitas sosial. Umat Islam saling
mengunjungi dan menjabat erat tangan seraya memohon maaf. Benci, kesal, dendam,
dan permusuhan seakan larut dalam suasana kegembiraan dan kesucian.
Masing-masing ingin membuka pintu hati bagi `saudaranya'.
Aktivitas ini dapat mereduksi kesenjangan akibat minimnya
interaksi dan komunikasi di antara mereka. Idul Fitri bahkan mendorong mereka
yang bekerja di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman (mudik)
meskipun harus menguras biaya besar dan menempuh perjalanan yang melelahkan.
Seakan-akan mereka ingin `menghancurkan' ruang yang memisahkan dengan keluarga
besar dan kawankawannya di desa. Tradisi semacam ini sudah dianggap sebagai
ritual agama yang harus dijalankan pada hari raya tersebut.
Ritual Idul Fitri semacam ini menawarkan `imajinasi' mengenai
bagaimana seseorang memaknai relasi sosialnya. Idul Fitri diyakini oleh umat
Islam sebagai hari suci di mana seluruh dosa akan dihapuskan oleh Tuhan (Allah)
sepanjang mereka mau meminta maaf dan memberi maaf kepada sesamanya.
Jika sikap tersebut dapat mereka tunjukkan maka mereka akan
kembali seperti bayi yang baru terlahir ke dunia yang sama sekali tidak
memiliki dosa.
Dalam kepercayaan Muslim memiliki dosa adalah penderitaan sebab mereka akan
mendapat siksa di akhirat (hidup sesudah kematian).
Keyakinan seperti ini memengaruhi secara dalam kesadaran umat
Islam. Sehingga, Idul Fitri mampu mendorong seseorang untuk menjalin kembali
hubungan sosial dengan orang yang dibencinya. Kecenderungan ini mengindikasikan
bahwa `imajinasi' yang ditawarkan agama memiliki kekuatan besar dalam membangun
kohesivitas sosial (Durkheim, 1976).
Penting untuk menjadi catatan bahwa pemeluk agama juga berperan
dalam memperluas atau memberi makna baru pada `imajinasi' agama. Latar belakang
pendidikan, etnisitas, kelas sosial, jenis kelamin, dan budaya dapat mewarnai
tafsir dan tradisi agama. Itu sebabnya tradisi Idul Fitri dipraktikkan secara
bervariasi di setiap negara (bahkan di dalam masyarakat Indonesia) meskipun ada
nilai-nilai prinsip yang sama.
Dan, Islam membolehkan kecenderungan ini sepanjang tidak melanggar
nilai prinsip. Karena itu, sangat penting untuk menekankan perlunya memberi
makna yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sejauh ini,
sebagian besar umat Islam Indonesia masih terjebak dalam pemberian makna yang
normatif. Idul Fitri hanya diartikan sebagai hari suci di mana seorang Muslim
dianjurkan untuk mengunjungi dan berjabat tangan dengan sesama Muslim.
Seakan-akan membangun relasi sosial dengan non-Muslim tidak menjadi penting.
Modal Sosial
Pada dasarnya, silaturahim yang dibangun saat Idul Fitri merupakan
bagian dari modal sosial. Modal sosial diartikan sebagai sikap saling percaya
antarsesama warga (interpersonal trust)
dan jaringan keterlibatan dalam kehidupan kewargaan (civic engagement) (Robert Putnam, 2002). Lebih jauh, modal sosial
dapat dijabarkan sebagai kehendak baik, persahabatan, simpati, dan hubungan
sosial di antara individu dan keluarga yang menciptakan unit sosial.
Doktrin silaturahim dalam Idul Fitri merupakan simulasi tentang interpersonal trust. Masyarakat dianjurkan
untuk senantiasa memelihara rasa percaya, simpati, dan persahabatan terhadap
sesama warga. Kondisi semacam ini dapat dikategorikan sebagai sehatnya tingkat interpersonal trust dalam masyarakat.
Suasana Idul Fitri di mana umat Islam terlihat bersahabat dengan siapa pun,
tanpa mempersoalkan status sosial, etnisitas, dan perbedaan agama harus menjadi
tujuan ideal dalam beragama (ber-Idul Fitri).
Tingkat interpersonal trust
yang baik akan memberi kontribusi terhadap kohesivitas sosial dalam sebuah bangsa.
Sebaliknya, sikap saling curiga dan memusuhi akan membahayakan relasi sosial
(Putnam, 1995). Intoleransi dalam beragama, kekerasan terhadap minoritas,
pertikaian antaretnis dan kelompok mengindikasikan buruknya tingkat interpersonal trust dalam masyarakat.
Biasanya, hal ini didasari oleh persepsi bahwa kelompok ‘lain’ hendak merusak ‘kita’.
Atas dasar itu, memaknai tradisi silaturahim dalam Idul Fitri
secara lebih progresif dan pluralis bernilai sangat penting bagi masa depan
kebangsaan Indonesia. Akan sangat baik jika sikap simpati, bersahabat, saling
mengunjungi, dan bermaafan tidak hanya dilakukan sebatas ritual Idul Fitri, dan
tidak sebatas pada sesama Muslim. Betapa pun, agama itu menyediakan ‘imajinasi’ sosial yang dapat membantu
manusia dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar