Rabu, 22 Agustus 2012

Fragmen Religiusitas dan Kebinekaan


Fragmen Religiusitas dan Kebinekaan
Hendro Suwito ; Pekerja Sosial dan Penulis
JAWA POS, 22 Agustus 2012


DI kota kecil Kunduran di Kabupaten Blora, pada paruh pertama dekade 1960-an, saya bersahabat karib dengan Jumari, anak bontot Pak Sentot, tetangga terpaut satu rumah. Usia kami hampir sama, sekitar sembilan tahun pada 1965.

Pak Sentot dan keluarganya orang Jawa dan beragama Islam. Mereka berjualan sate dan gule kambing yang nikmat di bagian depan rumahnya. Orang tua saya Tionghoa peranakan dan beragama Kristen. Papa dan Mama saya dikenal sebagai (Ba)Bah dan (Nyo)Nyah Roti karena mereka adalah satu-satunya pembuat roti di kota itu. Nama rotinya ada roti santan, moho, dan ganjel rel karena bentuknya seperti kayu pengganjal rel kereta api.

Bagi saya dan Jumari yang masih demikian muda, agama belum punya arti khusus. Yang ada di antara kami hanyalah kehangatan dan keakraban persahabatan. Kami sering bermain kelereng bersama atau asyik menyusuri pematang sawah di seberang rumah kami. Kadang kami duduk santai di gubuk sambil main dramenan. Mainan itu dibuat dari sepotong batang padi dan dipecah sedikit di dekat ruasnya. Batang padi itu akan mengeluarkan bunyi tueet-tueet ketika ditiup dari lubang di ujungnya yang lain. 

Sekali-sekali kami juga senang mendatangi masjid dekat rumah kami. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil berbaring-baring di lantainya yang sejuk. Kadang kamiliyer-liyer terkantuk-kantuk dan bahkan mendengkur halus dalam belaian angin sore yang lembut.

Pergolakan politik pasca September 1965 membuat keluarga kami terpaksa meninggalkan Kunduran. Saya pun tak pernah lagi bertemu dengan Jumari hingga sekarang; bahkan kenangan akan wajahnya pun nyaris tak tersisa lagi. Tetapi, kehangatan persahabatan kami terus mengisi hari-hari saya hingga usia merayap melewati 55 tahun. Tak terasa 45 tahun lebih telah berlalu.

Orang tua saya -dan sejumlah ''malaikat kehidupan'' yang lain- ikut membentuk saya menjadi seorang Kristen yang terus mencoba menjalani hidup dengan baik dan bertanggung jawab. Tentunya, sebagai manusia biasa, saya juga tersandung-sandung dan gagal di sana-sini. 

Pada saat yang sama, sepanjang perjalanan kehidupan saya, baik di Surabaya hingga akhir 1970-an maupun di Jabotabek hingga sekarang, memungkinkan saya untuk berpapasan dengan saudara-saudara seperjalanan dengan berbagai latar belakang berbeda, baik agama, ras, suku, maupun perbedaan mendasar lainnya. 

Saat tinggal di Ciledug awal 1990-an, saat saya memutuskan kuliah lagi, keluarga kami sedang sulit sekali secara finansial. Ketika putri kedua saya yang balita berulang tahun, kami nyaris tidak bisa merayakan hari istimewa itu karena tak ada dana. Seorang nenek yang tinggal di seberang rumah kami secara khusus membuat kue ulang tahun mungil berbalut keju dan cokelat bagi putri kami. Nenek lembut hati itu muslimah.

Di Ciledug yang sering kebanjiran itu pula saya menemukan nikmatnya bertetangga dalam keragaman. Di RT kami ada orang Jawa, Ambon, Padang, Sunda, Betawi, dan Tionghoa. Agama kami juga berbeda-beda, paling tidak ada Islam, Kristen, Katolik, dan bahkan Konghucu. Tetapi, kami demikian guyub dalam kebersamaan. 

Tiap bulan kami berkumpul menikmati makan malam sederhana dalam suasana yang demikian akrab dan hangat. Nyaris tak ada sekat di antara kami semua. Tiap Idul Fitri kami yang bukan beragama Islam ikut muter memberikan selamat dan meminta maaf kalau ada kesalahan kepada tetangga muslim. Sebaliknya, saat Natal mereka juga mampir menyalami kami yang Kristen. 

Dalam kebersamaan itulah kami -paling tidak saya- menemukan makna sejati menjadi Indonesia; menghidupi sema­ngat kesatuan dalam keragaman; Bhinneka Tunggal Ika senyata-nyatanya. 

Selama tinggal di Serpong sejak 1999, setiap Idul Fitri saya dan istri juga meneruskan silaturahmi kepada tetangga-tetangga yang merayakan hari istimewa ini. Itu termasuk berkunjung ke keluarga Pak Haji Suhana yang hanya belasan meter dari rumah kami. Sambil menikmati penganan ringan, kami berdua berakrab-akrab dengan pensiunan camat itu dan istri terkasihnya.

Saya hanyalah seorang awam di bidang spiritual. Yang mampu saya upayakan selama ini adalah mencoba menghidupi dan menjalani nilai-nilai agama saya semampu saya dalam kebersamaan dengan orang-orang lain yang berbeda-beda.

Pernyataan George Appleton dalam bukunya, Journey for a Soul, yang saya beli di toko buku di Semarang pada 1980, dengan jernih menggambarkan apa yang saya rasakan selama ini. Terjemahannya kira-kira: Orang-orang yang memiliki keyakinan iman berbeda adalah tetangga-tetangga spiritual kita dalam perjalanan kehidupan dan dalam pencarian akan dimensi-dimensi dan nilai-nilai spiritual.

Saat bangsa kita menyambut perayaan Hari Kemerdekaan dan Idul Fitri kali ini, tak ada yang lebih indah dan nikmat daripada mensyukuri kebersamaan di tengah berbagai perbedaan dan keragaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar