Demokrasi
Oligopolistik
Fithra Faisal Hastiadi ; Direktur Eksekutif, Indonesian Progressive Institute,
Peneliti dan Pengajar, Fakultas Ekonomi UI
REPUBLIKA,
31 Juli 2012
Pemilu
2014 semakin terlihat di depan mata. Sejumlah figur potensial pun bermunculan.
Sebagian telah bersahutan dengan lantang sebagai calon presiden (capres)
sementara yang lain masih malu-malu meski tetap memberi sinyal mau.
Tetap
sungguh disayangkan, mayoritas dari mereka yang digadang-gadang sebagai capres
merupakan figur-figur lawas. Ke mana figur-figur baru? Dari beratus juta
masyarakat Indonesia, ketiadaan figur baru sangat musykil kiranya. Atau, mereka
sengaja diberangus oleh sistem demokrasi yang oligopolistik?
Demokratisasi merupakan formula yang tepat dan legitimatif bagi kemerdekaan.
Tetapi, jika tidak berhati-hati, demokrasi hanya akan berujung pada hegemoni dan dominasi.
Tetapi, jika tidak berhati-hati, demokrasi hanya akan berujung pada hegemoni dan dominasi.
Oligopoli
Ada
dua hal yang membuat demokrasi di Indonesia menjadi oligopolistik.
Yang pertama adalah dari sisi sulitnya pemain baru untuk masuk dan yang kedua adalah interaksi pemain-pemain lama dalam sistem. Sulitnya figur baru untuk bertempat tak lepas dari hambatan sistematis yang termaktub dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Yang pertama adalah dari sisi sulitnya pemain baru untuk masuk dan yang kedua adalah interaksi pemain-pemain lama dalam sistem. Sulitnya figur baru untuk bertempat tak lepas dari hambatan sistematis yang termaktub dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Ketentuan
mengenai presidential threshold,
misalnya, dalam UU disebutkan, syarat pengajuan calon presiden oleh partai atau
gabungan partai harus memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara
secara nasional. Hal ini tentunya merupakan barriers to entry yang dibuat untuk
mematikan peluang para kandidat baru yang potensial.
Dengan
tidak adanya partai yang dominan dalam sistem demokrasi Indonesia juga
memungkinkan terjadinya koalisi antarparpol. Keputusan untuk tunduk atau
hengkang dari koalisi adalah suatu keputusan strategis yang sangat tipikal
kompetisi oligopoli. Dalam model ini, keseimbangan (equilibrium) yang mungkin dicapai ada pada dua titik, yaitu collusive equilibrium di mana semua
parpol semakin memperkuat koalisi. Keseimbangan yang kedua adalah nash
equilibrium di mana tidak ada kerja sama antarparpol dalam sistem.
Pada
kenyataannya di Indonesia, collusive
equilibrium mendapat porsi yang cukup dominan dalam jangka pendek sehingga
parpol enggan untuk beranjak dari koalisi. Meskipun deviasi dari strategi ini
--hengkang dari koalisi--dimungkinkan, tetapi dalam jangka pendek parpol akan
selalu kembali pada titik ini.
Rigiditas
ini dimungkinkan mengingat dalam jangka pendek, imbalan (payoff) dari keputusan untuk bertahan dalam koalisi lebih besar
ketimbang hengkang. Ada dua alternatif payoff,
yang pertama adalah mendapatkan porsi kekuasaan dalam pemerintahan dan yang
kedua adalah mendulang simpati rakyat.
Dengan
demikian, parpol akan bertindak lagi sesuai keadaan alaminya, merebut simpati
rakyat. Di tengah pergerakan keseimbangan yang cukup dinamis ini, demokrasi
oligopolistik menghasilkan kerugian bagi para aktornya, baik dari parpol
sebagai produsen politik maupun rakyat sebagai konsumen politik. Kerugian
tersebut adalah dari terpenjaranya para parpol untuk melakukan manuver politik
sementara rakyat kesulitan untuk mendapatkan capres alternatif untuk memuaskan
kehausan mereka akan figur pemimpin yang kuat dan bertanggung jawab.
Dalam
studi yang penulis lakukan pada awal 2010, ditemukan bahwa demokrasi
oligopolistik di Indonesia justru menghambat laju distribusi pendapatan
masyarakat atau dengan kata lain, telah tercipta sebuah kesenjangan besar dalam
masyarakat karena demokrasi. Pola ini terjadi karena demokrasi di Indonesia
telah mengkreasikan sebuah budaya korupsi.
Menjamurnya
korupsi tentu tidak lepas dari sistem pemilihan umum yang terdesentralisasi ke
setiap pelosok daerah. Akibatnya, setiap aktor yang terlibat dalam sistem
seperti ini `dipaksa' untuk menghibur para stakeholders-nya.
Tentu saja setiap pemenang pemilu model demikian akan terlibat koalisi kepentingan yang sarat akan muatan korupsi dan nepotisme.
Tentu saja setiap pemenang pemilu model demikian akan terlibat koalisi kepentingan yang sarat akan muatan korupsi dan nepotisme.
Memfungsikan Demokrasi
Demokrasi
menjadi sebuah transaksi yang harus dituntaskan. Pada kebijakan publik,
prasyarat keterbukaan merupakan elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak
ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Karena itu, syarat adanya
transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas.
Dengan
tingginya tingkat transparansi, maka gejolak yang terjadi akan dengan mudah
ditanggulangi. Tanpa adanya transparansi, target kebijakan menjadi tidak
berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dan realisasi,
sehingga dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan. Pada praktiknya,
transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan memublikasikan
analisis mengenai prospek masa depan dan juga analisis kebijakan yang telah
dibuat pada periode sebelumnya.
Lebih
lanjut, dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya
memunculkan legitimasi politik yang kuat. Legitimasi politik menjadi penting
karena kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional.
Kondisi balance of power juga
tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari
kurang berfungsinya demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar