Jumat, 03 Agustus 2012

Dalang Lain Tragedi Rohingya


Dalang Lain Tragedi Rohingya
Jusman Dalle ; Analis Ekonomi
Society Research and Humanity Development [SERUM] Institute
JAWA POS, 03 Agustus 2012

KEKERASAN sekterian terhadap muslim minoritas Rohingya menjadi bola salju dan terus menjadi perhatian dunia. Ratusan orang dikabarkan tewas, ratusan ribu mengungsi, termasuk ke Indonesia. Setelah Amnesti Internasional, Human Rights Watch, PBB, dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), kini Amerika Serikat mulai bersuara. Di dalam laporan terbaru Departemen Luar Negeri Abang Sam yang dirilis Selasa (31/7), kekerasan terhadap penduduk Arakan turut menjadi sorotan. Namun, porsinya kecil dan terkesan hati-hati. Laporan itu menempatkan Myamnar pada rekor buruk dalam kebebasan beragama.

Tragedi berdarah dan pengusiran muslim Rohingya ternyata tidak lepas dari polarisasi global seiring dengan munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru ekonomi dunia. Tiongkok diketahui berada di balik kekerasan terhadap muslim Rohingya yang menempati wilayah Arakan. Sejak tahun 1950, jauh sebelum ASEAN Tiongkok Free Trade Agreement (ACFTA), Beijing telah berupaya melakukan langkah-langkah diplomasi terhadap junta militer Myanmar untuk membuka akses Provinsi Yunnan dan Sichuan ke Asia Tenggara dan Samudera Hindia (A. Dhana, 2009)

Gayung tersambut, proposal Tiongkok diterima. Tiongkok sukses menancapkan pengaruh di Myanmar yang ditandai dengan perjanjian dagang dua negara dan diikuti bantuan militer serta dukungan politik kepada junta militer. Selama dekade 1990, Tiongkok mengucurkan bantuan USD 1,2 miliar dalam bentuk senjata ringan dan berat, tank dan kendaraan pengangkut personel, pesawat tempur, kapal perang, penyapu ranjau, dan kapal peronda pantai bersenjata peluru kendali.

Intimnya Beijing dan Yangoon karena dukungan penuh kepada pemerintah junta militer belakangan berbuah manis bagi Tiongkok. Pada sekitar tahun 2008, perusahaan minyak asal Tiongkok,  China National Petroleum Corporation (CNPC) dan Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE), menandatangani MoU pembangunan jaringan pipa minyak dan gas di wilayah Arakan Myanmar yang subur dan kaya migas, untuk menyuplai kebutuhan energi Negeri Tirai Bambu. 

Jaringan pipa migas CNPC sepanjang 620 mil dialirkan dari Kyaukpyu Port, Arakan, ke Provinsi Yunan dengan investasi USD 2,5 miliar. Aliansi dua negara dengan tipologi pemerintah yang sama-sama represif dan tidak memberi ruang bagi demokratisasi semakin sempurna (Shivananda, 2012). 

Junta militer Myanmar pun berharap banyak kepada Tiongkok untuk mempertahankan kekuasaan mengingat kerasnya sanksi internasional (sanksi ekonomi dari Eropa dan AS) atas kooptasi hak-hak sipil yang dilakukan oleh junta selama ini. Atmosfer politik Myanmar semakin meruncing pasca kemenangan Aung San Suu Kyi yang menjadi tokoh demokrasi di negeri itu.

Suu Kyi yang bakal maju dalam pemilu presiden 2015 mendatang memiliki kans besar menggeser dominasi junta militer. Ini terbukti dari kemenangan partai yang dipimpinnya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam pemilu sela awal 2012 ini. Dukungan Barat kepada peraih Nobel Perdamaian 1991 itu menjadi ancaman atas eksistensi kepentingan Tiongkok di Myanmar. 

Jika Suu Kyi melenggang mulus ke tampuk kepemimpinan Myanmar, AS yang selama ini mendukung kegiatan politik Suu Kyi bakal menggantikan posisi Tiongkok. Maka, wajar jika berbagai upaya dilakukan untuk mempercepat eksplorasi minyak di wilayah Arakan sebelum mimpi buruk Beijing menjadi nyata.

Jelas, tindakan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya hanya memanfaatkan isu agama untuk kepentingan ekonomi dan politik. Tanpa sadar, rakyat Myanmar justru menjadi korban kepentingan Beijing (dan junta). Junta menganggap pengusiran etnis Rohingya sebagai investasi untuk Beijing. Keterlibatan umat agama mayoritas di Myanmar menjadi tabir yang menutupi kenyataan. (Dukungan Beijing ini tentu tidak bermotif agama, tapi demi pengaruh politik ekonomi; seperti halnya dukungan pada rezim Bashar Al Asaad di Syria). 

Kita tentu khawatir bahwa isu etnis dan agama terus membesar dan menjadi bola salju sehingga menimbulkan bias sentimen antaragama. Apa lagi kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya menjadi agenda pembahasan Organisasi Konferensi Islam (OKI) Agustus ini di Arab Saudi. 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa ASEAN dan Abang Sam  justru diam menyaksikan pelanggaran kemanusiaan ini? Bukankah selama ini AS mendeklarasikan diri sebagai panglima HAM? 

Pertama, AS telah mulai "bergantung" kepada negara komunis itu. Tiongkok merupakan negara pemberi utang terbesar bagi AS melalui mekanisme pembelian obligasi pemerintah AS (treasury securities) dengan nilai USD 1,132 triliun. Meningkatnya ketegangan di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan banyak negara -Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Kamboja, serta Filipina- turut menjadi variabel pertimbangan bagi AS untuk bungkam soal Rohingya. Laut Tiongkok Selatan yang sebagian besar dikendalikan Tiongkok bisa jadi malapetaka ekonomi AS di ASEAN.

Pemilihan presiden AS pada November mendatang juga menjadi variabel melengosnya Gedung Putih dari persoalan Rohingya. Obama tentu saja tidak mau gegabah mempertaruhkan popularitas membela etnis muslim Rohingya. Islamofibia masih menjadi momok di AS sekaligus menjadi alat politik. Kebijakan politik luar negeri selalu menjadi isu seksi dalam setiap pilpres di AS. Terutama menyangkut hubungan dengan dunia Islam.

Kedua, selain perjanjian yang mengikat anggota ASEAN untuk tidak saling mengintervensi persoalan internal masing-masing, pasifnya negara-negara ASEAN juga karena ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Sesudah penandatanganan ACFTA yang berlaku efektif Januari 2010, pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN banyak ditopang perdagangan luar negeri dengan Tiongkok. Dari tahun ke tahun, neraca perdagangan anggota ASEAN ke Tiongkok menunjukkan peningkatan. Indonesia sendiri memiliki ketergantungan tinggi dalam hubungan dagang dengan Tiongkok. Sebanyak 38 persen PDB Indonesia dari sektor perdagangan luar negeri berasal dari bermitra dagang dengan Tiongkok. 

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia memang mendapat sorotan tajam. Pemanfaatan organisasi dunia seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) oleh pemerintah Indonesia untuk menyuarakan perjuangan pembelaan terhadap Rohingya, menurut saya, tidak lebih dari upaya politik bumper SBY karena terus-menerus menjadi sorotan di dalam negeri. Pemerintahan SBY berupaya menenangkan emosi publik yang mulai menjadi bola salju melalui pencitraan peduli, namun sama sekali tidak tegas dan hanya menunjukkan tidak mandirinya diplomasi luar negeri Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar