Selasa, 07 Agustus 2012

“Cicak” Memangsa “Buaya”


“Cicak” Memangsa “Buaya”
Gunarto ; Guru Besar Fakultas Hukum, Wakil Rektor II Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Agustus 2012

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini secara mengejutkan menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus pengadaan simulator kemudi untuk mendapatkan SIM.

Komisi antikorupsi itu juga menggeledah ruang Korlantas Mabes Polri meski awalnya mendapat ''perlawanan'' dengan dalih Bareskrim Mabes Polri juga menangani kasus itu.
Fenomena ini menjadi luar biasa karena dua hal. Pertama; kejadian itu menimpa institusi penegak hukum yang selama ini terkesan sangar, dan melibatkan perwira tinggi yang saat ini menjadi   Gubernur Akpol. Kedua; kita seperti kembali diingatkan pertarungan KPK versus Polri beberapa waktu lalu yang dikenal dengan ''Cicak Vs Buaya'', sebagaimana diistilahkan Kabareskrim (waktu itu) Komjen Susno Duadji.

Kedua; penegakan hukum dalam konteks korupsi menjadi sesuatu yang niscaya. Saat ini, sebagaimana disinyalir ilmuan Robert Klitgaard, korupsi di Indonesia memasuki fase sebagai budaya. Bukan berarti korupsi sudah menjadi budaya melainkan karena telah menjelma menjadi  perilaku laten sehingga bangsa ini bersikap apatis dan permisif terhadap perbuatan itu. Akibatnya, semua dimensi kehidupan terasuki oleh budaya korupsi, sogok, kongkalikong, permainan anggaran, dan sebagainya.

Sayang, agenda pemberantasan korupsi selalu saja menimbulkan perlawanan. Dalam kasus korupsi alat simulator SIM ini, institusi kepolisian sempat melakukan perlawanan dengan alasan mereka juga sedang menangani kasus tersebut.

Nyatanya, sebagaimana disampaikan Ketua KPK Abraham Samad dan Jaksa Agung Basrief Arief, KPK lebih dahulu menangani kasus ini sehingga tidak ada alasan bagi Polri untuk bertahan dengan  bersikukuh bahwa mereka lebih berhak dalam penanganan kasus itu. Justru sikap seperti ini makin menimbulkan kecurigaan publik akan adanya kepentingan terselubung.

Perlu Sinergi

Jika kita setuju bahwa korupsi, sebagaimana disinyalir oleh Klitgaard sebagai sesuatu yang telah ''membudaya'' di Indonesia, sejatinya tidak boleh meninggikan ego sektoral dengan mengasumsikan bahwa institusinya lebih superior ketimbang lembaga lain. Sikap semacam itu tak lain merupakan antagonisme pemberantasan korupsi.

Yang kita butuhkan adalah kebesaran jiwa dan ketulusan sikap yang ditunjang komitmen tinggi untuk bersungguh-sungguh memerangi korupsi. Mengutip Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy, justru akan sangat baik jika dilakukan kerja sama secara sistemik dan integral di antara semua lembaga penegak hukum, bahkan masyarakat, untuk bersama-sama memerangi korupsi.

Langkah sinergis ini dibangun di atas beberapa prinsip. Pertama' pemberantasan korupsi merupakan agenda bersama dalam rangka mengemankan kepentingan bangsa dan negara.

Prinsip ini akan melampaui perdebatan soal kewenangan dan otoritas. Kesadaran semacam ini juga akan mampu menghindari terjadinya ego sektoral. Sebaliknya, akan terjadi kerja sama secara positif dan progresif dalam penanganan dan pencegahan korupsi.

Kedua; adanya kesadaran bersama bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang mendesak di mana tingkat urgensitasnya harus lebih didahulukan daripada perdebatan-perdebatan prosedural atau superioritas kelembagaan. Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Tujuan inilah yang bisa menjadi titik temu sehingga antara satu lembaga dan lembaga yang lain akan saling mendukung dan menguatkan.

Ketiga; perlunya pengawasan bersama baik internal maupun eksternal, fungsional dan struktural untuk mengawal seluruh proses pemberantasan dan pencegahan korupsi sehingga makin memperkecil peluang terjadinya penyimpangan hukum dan tidak memberi peluang bagi terjadinya korupsi. Jika langkah sinergis ini bisa dilakukan maka angka risiko terjadinya korupsi makin bisa ditekan seminimal mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar