Senin, 06 Agustus 2012

Cicak dan Kota Buaya

Cicak dan Kota Buaya
Rohman Budijanto ; Senior Editor Jawa Pos
JAWA POS, 06 Agustus 2012


LOGO Kota Surabaya sangat unik, simpel, dan tidak klise. Sura (hiu) dan baya (buaya) bertarung dengan median tugu pahlawan. Perisainya pun unik, tidak berbentuk klasik rata di atas lancip di bawah, tapi perisai segi enam, mirip perisai Dayak yang distilir. Logo yang ditetapkan DPRD Sementara Kota Besar Surabaya pada 1955 itu tak ada tulisan macam-macam. 

Logo daerah yang juga mengandung boyo (ejaan lama bojo) adalah logo Kota Kediri. Bedanya, lambang ini gambarnya lebih banyak. Selain gambar perisai, ada macan putih lambang Sri Aji Jayabaya, raja masa silam yang paling top di sana (di Surabaya menjadi nama terminal angkot). Juga ada gambar Buto Locoyo (patih Jayabaya) yang meringis garang, bunga melati, dan Dewi Kilisuci. Ada juga sayap berbulu 17 dan 8, serta ekor berbulu 4 dan 5 (adaptasi dari Garuda Pancasila). Di bawahnya ada pita bertuliskan Djojo Ing Bojo (sukses dari marabahaya). Ternyata bojo di Kediri bukan buaya. 

Bedanya lagi, di logo Kota Kediri ada padi kapas melingkar. Ini obsesi umum masyarakat kita tentang sandang pangan. Tapi, logo Kota Surabaya tak memberati logonya dengan mencantumkan itu. Logo Kabupaten Sidoarjo, yang "mempertarungkan" bandeng dan udang, tetap memerlukan bingkai padi kapas. Sebenarnya bandeng dan udang bentuk aslinya tak setara, tak seperti hiu dan buaya. Berarti ada dua kemungkinan di logo Sidoarjo itu: bandengnya sangat kecil, atau udangnya sangat besar. 

Suka-sukalah orang bikin logo. Untuk Surabaya, logo ini mengabadikan sebuah pertarungan dua makhluk air berahang (jaw) kuat dan bergigi banyak. Konon, pertarungan sampai mati itu berlangsung di Kali Mas. Kalau hiu kalah sebenarnya wajar, karena habitatnya di air asin dengan salinitas (kadar garam) tinggi. Sampai sekarang kadang-kadang masih ada hiu terdampar di Kenjeran. Sedangkan buaya liar sudah lama punah dari tanah Surabaya. Kini tinggal jadi lucu-lucuan di kebun binatang. Kalau ada buaya mati, bukan karena bertarung dengan sura (hiu), tetapi sudah tua atau salah urus. 

Aneh juga, meski hiu mungkin lebih banyak daripada buaya di perairan Surabaya, kota ini telanjur dijuluki Kota Buaya, bukan Kota Sura. Mungkin saja ada yang pernah terkecoh dengan julukan itu, karena tak menemukan buaya di Surabaya. Ini memang berbeda dengan julukan Kota Tahu, Kota Bandeng, Kota Kerupuk, Kota Udang, Kota Bordir, atau lainnya yang menunjukkan produk khas daerah itu. 

Mungkin saja Kota Buaya juga "memproduksi" buaya, tapi tidak harfiah. Yakni, para buaya darat yang berkeliaran di lokalisasi infamous yang hingga sekarang tak kunjung ditutup itu. Merujuk Sitok Srengenge dalam tulisan di Jawa Pos edisi Minggu, kemarin, istilah buaya darat muncul karena kasus buaya jantan lepas dari penangkaran di Sorongayit, Jember, pada 1971 dan ditemukan ternyata berada di daratan bersama seorang... eh seekor buaya betina. Apakah lambannya penutupan lokalisasi perzinaan di Surabaya ini karena ingin mempertahankan pijakan makna "Kota Buaya"? Tentu tidak. Salut untuk Pakde Karwo yang terus membersihkan Jatim, termasuk Surabaya, dari memfasilitasi buaya darat jantan dan betina. 

Karena makna "Kota Buaya" itu tinggal bermakna historis atau mitologis, tak ada yang mengaitkan Kota Surabaya dengan pertarungan "cicak versus buaya" yang kini menghangat lagi. Saya yakin, meski bangga jadi arek Kota Buaya, warga kota ini pasti lebih banyak mendukung "cicak" dalam pemberantasan buaya korupsi. Bagaimanapun, keberadaan sang cicak KPK adalah wujud pemberantasan korupsi paling serius sepanjang sejarah republik ini. Kemerdekaan republik ini turut ditegakkan oleh heroisme arek-arek Kota Buaya. 

Arek-arek Kota Buaya ini juga pasti tak mau diidentikkan dengan buaya kantoran yang rakus makan uang rakyat, tampak garang dengan aneka gigi kewenangan dan kekuasaan, tapi pintar mencitrakan diri dengan tetesan "air mata"-nya yang palsu. Orang Kota Buaya yang berakal sehat pasti lebih kagum dengan cicak yang memakan nyamuk-nyamuk pengisap darah rakyat. Cicak dan buaya memang sama-sama reptil, tapi yang prorakyat jelas cicak. Tak heran, suaranya pun jadi ekspresi kekaguman ck... ck... ck....

Makna buayanya Kota Buaya adalah seperti empat puluh buaya yang mengantarkan rakit Joko Tingkir ke seberang. Orang-orang Kota Buaya termasuk yang semangat menggotong akal sehat demi pemerintahan yang lebih bersih. Banyak inovasi good governance dari Surabaya, termasuk pengadaan via elektronik (e-procurement) dan pemberantasan buaya mini (calo) di kantor-kantor pemerintah, yang menjadi model nasional. Memang, berbagai inovasi belum sepenuhnya melenyapkan buaya kantor. Ketika kini cicak berani menyerbu sarang buaya, tentu harus didukung. 

Apa boleh buat, istilah buaya hampir selalu identik dengan kenegatifan. Tapi, arek Kota Buaya tentu tak keberatan dengan istilah buaya keroncong. Ini mungkin mirip karakter arek Surabaya yang memainkan "musik" dengan improvisasi sendiri-sendiri, tapi tetap berirama. Sayangnya, musik orisinal Indonesia ini sudah makin terpinggirkan. Istilah ini dikaitkan pula dengan ketidaknyamanan di perut lapar. Bukankah tak ada istilah "perut ndangdutan" atau "perut ngejazz" atau "perut ngerock", tapi "perut keroncongan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar