Bersatu untuk
Indonesia Raya
Prabowo Subianto ; Sekolah
Teknik Elektro dan Informatika, ITB
|
KOMPAS,
23 Agustus 2012
Baru saja kita merayakan
Hari Kemerdekaan yang ke-67. Kemerdekaan yang direbut melalui suatu proses
perjuangan, yang berpuncak pada perang kemerdekaan, dari 17 Agustus 1945 hingga
tahun 1950. Adalah fakta sejarah bahwa semua unsur rakyat Indonesia terlibat
dalam perjuangan tersebut.
Setelah proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945, atas inisiatif sendiri, I Gusti Ngurah Rai datang ke Jakarta
untuk menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat untuk
membentuk pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sunda Kecil (Bali dan
Nusa Tenggara). Ia kemudian memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda
di Bali.
Pada tanggal 19 November
1946, Belanda berhasil mengepung pasukan Ngurah Rai di Desa Margarana. Belanda
sempat mengirim utusan untuk meminta Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta
pasukannya agar menyerah. Apabila menyerah, ia dan pasukannya akan dibiarkan
hidup. Namun, ultimatum Belanda dijawab oleh I Gusti Ngurah Rai dengan teriakan
”puputan”, yang berarti ”bertempur sampai titik darah penghabisan”.
Pada 17 Juli 1946, Robert
Wolter Monginsidi yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, membentuk suatu pasukan
gerilya yang dinamakan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris).
Pasukan Monginsidi terus-menerus melakukan perang gerilya terhadap Belanda di
Sulawesi Selatan.
Dalam suatu operasi besar-besaran
pada 28 Februari 1947, Belanda berhasil menangkap Monginsidi. Pada 27 Oktober
1947, Monginsidi berhasil meloloskan diri dan mulai menyerang kembali pos-pos
Belanda. Namun, tidak lama kemudian Monginsidi tertangkap kembali untuk kedua
kalinya.
Monginsidi diadili oleh
Belanda. Dalam proses pengadilan ditawarkan: kalau ia menyatakan berhenti
mendukung Republik Indonesia, ia akan mendapatkan hukuman yang ringan. Namun,
apabila ia terus setia kepada Republik Indonesia, ia akan dijatuhkan hukuman mati.
Ia jawab kepada hakim, ”Hukum matilah
saya, jika tidak kamu nanti yang saya bunuh pertama kali.”
Kita juga mengetahui kisah
perjuangan Daan Mogot, seorang perwira TRI yang tergolong sangat cemerlang
kariernya. Ia menjadi mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan
Pembela Tanah Air (Peta) pada usia 14 tahun.
Pada 25 Januari 1946, Mayor
Daan Mogot dengan beberapa perwira dan pasukan tarunanya terlibat dalam
pertempuran Lengkong di Tangerang dalam usaha merebut senjata untuk TRI. Dalam
pertempuran tersebut, ia gugur bersama 36 perwira dan taruna. Di antara taruna
yang gugur adalah dua orang paman saya, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Suyono
Djojohadikusumo. Sujono pada saat itu usianya baru 16 tahun.
Demi ”Merah Putih”
I Gusti Ngurah Rai, Robert
Wolter Monginsidi, dan Daan Mogot adalah contoh beberapa pejuang kemerdekaan
Indonesia yang kebetulan berasal dari golongan minoritas di negeri ini. Ada
yang beragama Hindu, Katolik, dan ada yang Protestan.
Mereka berjuang demi
kemerdekaan Indonesia bersama-sama dengan anak-anak bangsa dari golongan
mayoritas, yang beragama Islam. Siapa di antara kita yang tidak kenal Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Ki Bagus Hadi Kusumo, Wahid Hasyim, dan
lainnya?
Saya juga teringat, dalam
perjalanan masa tugas saya sebagai perwira TNI, ada dua sukarelawan Timor Timur
yang berjuang dan bertempur bersama saya di tahun 1978. Keduanya adalah
keturunan etnis Tionghoa. Sukarelawan yang satu dikenal dengan nama Domingus
”China” dari Ossue, yang satu lagi Roberto Lie Lin Kai, adik dari seorang tokoh
Tionghoa dari Vikeke bernama Fransisko Ciko Lie.
Domingus dan Roberto
bertempur bersama pasukan TNI—tanpa pangkat, tanpa jabatan, dan tanpa ikatan
dinas—di hutan dan di gunung Timor Timur untuk Merah Putih.
Selain kisah-kisah mereka
yang angkat senjata untuk Republik Indonesia, ada juga pahlawan-pahlawan yang
mengharumkan nama bangsa Indonesia di bidang lain. Misalkan, di bidang bulu
tangkis kita mengenal Tan Joe Hok, orang Indonesia pertama yang menjuarai All
England dan meraih medali emas Asian Games. Kita juga kenal Rudy Hartono,
Christian Hadinata, Liem Swie King, Verawati Fajrin, Ivana Lie, Alan
Budikusuma, dan Wang Lian Xiang alias Lucia Francisca Susy Susanti.
Pelajaran dan hikmah yang
dapat kita petik dari mengenal dan mengenang mereka adalah bangsa kita adalah
bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, banyak ras. Mereka telah
membayar saham yang sangat mahal untuk mendirikan, memperjuangkan, dan
membanggakan republik ini dengan darah, keringat, dan air mata mereka.
Saya ingat kata-kata salah
seorang senior saya, mantan Menteri Agama Dr Tarmizi Taher. Ia pernah
mengatakan, ”orang Nasrani, orang Hindu,
orang Buddha, orang Konghucu, bukan indekos di negeri ini. Mereka ikut
mendirikan negeri ini.”
Dengan suasana inilah
hendaknya kita memandang masa depan kita dengan jiwa yang besar. Bahwa semua
anak bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengabdi, untuk membela
negara, bangsa, dan rakyat Indonesia.
Bersatu
kita teguh. Bercerai kita runtuh! ●
izin share ya pak
BalasHapus