Kamis, 09 Agustus 2012

Aturan Kepemilikan Saham Bank Masih Tumpul


Aturan Kepemilikan Saham Bank Masih Tumpul
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan
SINDO, 09 Agustus 2012

Akhirnya, pada 13 Juli 2012 Bank Indonesia (BI) meluncurkan aturan kepemilikan saham bank nasional melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/PBI/2012. Namun, aturan itu ternyata tidak seseram apa yang kita bayangkan sebelumnya.

Industri perbankan nasional sungguh liberal. Kisahnya ber awal ketika pemerintah menerbitkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 yang terkenal disebut Pakto 1988. Kebijakan itu terutama bertujuan untuk meningkatkan pengerahan dana masyarakat. Bagaimana kiat nya? Pembukaan kantor bank dipermudah. Intinya, hanya dengan modal sendiri minimum Rp10 miliar, investor dapat mengajukan izin mendirikan sebuah bank. 
Buahnya, jumlah bank nasional terbang tinggi 87,39% dari 111 bank pada 1988 menjadi 208 pada 1992. Ketika Indonesia terlanda krisis moneter pada 1997/1998 yang meluluhlantakkan permodalan bank nasional. Untuk menyehatkan bank nasional, pemerintah mengundang investor asing dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Pasal 3 PP menyatakan Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau Badan Hukum Asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99%.

Tentu investor asing menyambut baik undangan manis itu antara lain dari Singapura, Malaysia, Inggris, Australia, India, China, Korea Selatan dan Qatar. Ketika pertama kali BI menyampaikan rencana aturan ke pemilikan saham bank, sebagian besar kalangan perbankan mengira BI akan menghentikan laju kepemilikan mayoritas saham bank na sional oleh investor asing. Inilah langkah tegap BI. Namun, ternyata ekspektasi itu terlalu berlebihan. Apa yang diatur?

BI menetapkan batas maksimum kepemilikan saham pada bank 40%, 30% dan 20% dari modal bank masing-masing untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum lembaga keuangan bank dan LKBB, badan hukum bukan LKBB dan perorangan. Ini berlaku bagi bank lokal dan asing. Tetapi hal ini tak berlaku bagi pemerintah pusat, daerah dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Apakah investor masih dapat menguasai mayoritas saham bank melewati 40%?

Ya, sepanjang memenuhi syarat (a) mengantongi tingkat kesehatan bank peringkat 1 atau 2 atau peringkat tingkat kesehatan bank yang setara bagi bank berkedudukan di luar negeri, (b) memiliki modal minimum sesuai dengan profil risiko, (c) modal inti minimal 6%, (d) mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawas bank bagi bank yang berkedudukan di luar negeri, (e) bank yang telah go public, (f) berkomitmen memenuhi kewajiban membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan bank yang akan dimiliki, (g) berkomitmen memiliki bank minimal dalam jangka waktu tertentu dan (h) berkomitmen mendukung pengembangan perekonomian nasional melalui bank yang akan dimiliki.

Bagaimana pemegang saham yang telah terlanjur memiliki saham bank melebihi 40%? Mereka masih boleh melenggang. Tetapi, pemegang saham demikian wajib mengikuti batas kepemilikan saham bank kalau tingkat kesehatan bank dan/atau tata kelola perusahaan yang baik pada peringkat 3, 4 atau 5 per Desember 2013. Pemegang saham tersebut wajib memenuhi aturan itu paling lama lima tahun sejak 1 Januari 2014 untuk melakukan divestasi.

Lantas, harapan apa saja bagi perbaikan industri perbankan nasional terutama bagi nasabah bank nasional? Pertama, aturan yang lebih tegas. Aturan kepemilikan saham bank itu tidak berlaku surut (retroaktif). Dengan bahasa lebih bening, peta kepemilikan mayoritas saham bank lokal oleh investor asing belum akan berubah. Akibatnya, DBS Group Holdings, Singapura segera mengajukan izin untuk meng akui - sisi 67,37% saham Bank Da namon senilai 6,2 miliar dolar Singa pura (Rp45,2 triliun) yang telah diumumkan pada 2 April 2012. Semula saham itu di miliki Fullerton Financial Holdings melalui Asia Financial Indonesia.

Demikian pula Affin Holdings Bhd, Malaysia yang akan meminang 51% saham Bank Ina Perdana dan China Construction Bank Corp., China yang akan merangkul 99% saham Bank Maspion atau senilai USD200 juta. Hal yang sama akan dilakukan RHB Capital Bhd, Malaysia untuk menyunting 80% saham Bank Mestika Dharma atau senilai Rp3,12 triliun dan Shinhan Bank, Korea Selatan untuk menguasai 90% saham Centratama Nasional Bank senilai sekitar Rp320 miliar. Untuk itu, sudah semestinya BI lebih berani mengatur kepemilikan mayoritas saham bank lokal oleh investor asing.

Agaknya, BI lebih memberikan kesempatan bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengaturnya. Draf revisi UU Perbankan memberi kuasa kepada OJK untuk mengatur kepemilikan saham bank nasional. Kedua, bank nasional yang lebih sehat. Aturan tersebut mewajibkan bank nasional untuk meningkatkan penerapan GCG. Sarinya, bank nasional diajak untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG yakni keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran. Tidak berhenti di situ. Aturan tersebut pun bertujuan untuk di versifikasi risiko.

Hal ini akan mendorong suatu bank untuk dimiliki oleh banyak pihak sehingga potensi risiko menjadi lebih dapat ditekan serendah mungkin. Ketiga, perlindungan nasabah makin kokoh. Hal ter penting adalah kepentingan nasabah bank makin terlindungi. Dengan makin sehatnya bank nasional, sangat diharapkan tidak ada lagi bank nasional yang jatuh pailit.

Pengalaman menunjukkan bahwa nasabah hampir selalu kalah dalam menuntut hak mereka ketika suatu bank nasional gugur. Oleh karena itu, setiap peraturan perundangan-undangan sudah sepatutnya mem prioritaskan perlindungan nasabah bank nasional. Itu mutlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar