Jumat, 10 Agustus 2012

Antara Kemiskinan dan Papua Tipu Papua


Antara Kemiskinan dan Papua Tipu Papua
Maruli Tobing ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 10 Agustus 2012

Tanah Papua berlimpah emas, perak, gas alam, minyak bumi, dan berbagai sumber daya mineral. Di sinilah tersimpan cadangan emas terbesar dan cadangan tembaga urutan kedua di dunia.

Belum lagi puluhan juta hektar hutan tropis yang terhampar luas, benteng umat manusia dalam menghadapi bencana pemanasan global mendatang.

Kekayaan alam Papua yang menakjubkan membuat silau Freeport McMoRan, British Petroleum, dan korporasi lainnya. Ironisnya, Papua dan Papua Barat adalah provinsi termiskin di Republik Indonesia. Bahkan, sebagian penduduk asli Papua masih hidup seperti di zaman batu.

Papua yang tidak pernah berhenti bergolak sejak PBB mengembalikannya kepada Indonesia, 1 Mei 1963, kini mirip api dalam sekam. Kemiskinan beranak-pinak dan suara menuntut merdeka makin keras terdengar hingga ke gedung PBB.

Tetap Miskin

Khawatir peristiwa lepasnya Timor Timur akan berulang kembali, pemerintah era reformasi mengambil jalan tengah dengan memberi otonomi khusus kepada Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Genderang pembangunan kemudian ditabuh mengatasi ketertinggalan Papua selama ini. Dana otonomi khusus mengucur deras dan pejabat daerah ataupun pusat hilir-mudik Jakarta-Jayapura untuk urusan proyek dan uang.

Hingga saat ini, dana otonomi khusus yang dialirkan ke Papua dan Papua Barat lebih dari Rp 32 triliun. Ini belum termasuk dana-dana lainnya. Angka tersebut cukup fantastis mengingat jumlah penduduk asli Papua hanya sekitar 2 juta dari 3,6 juta penduduk di dua provinsi. Jumlah penduduk Provinsi Papua 2.851.999 jiwa dan Papua Barat 760.442 jiwa. (Sensus Penduduk 2010)

Sebelas tahun otonomi khusus berjalan, urutan Papua dan Papua Barat tetap tidak bergeser sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Statistik memang menunjukkan penurunan angka kemiskinan, dari 41 persen tahun 2001 menjadi 31,98 persen tahun 2011.

Namun, penurunan angka kemiskinan itu berjalan lamban, rata-rata di bawah satu persen setiap tahun. Dengan kata lain, untuk mencapai tingkat kemiskinan nasional saat ini (sekitar 14 persen), Papua dan Papua Barat membutuhkan waktu 15 tahun lagi. Itu pun jika diasumsikan dana otonomi khusus tidak dihentikan.

Ironisnya, penurunan angka kemiskinan itu bukan pada populasi penduduk asli, melainkan kelompok warga pendatang. Contohnya, kehidupan warga transmigran yang awalnya melarat kini jauh lebih baik dibandingkan dengan penduduk lokal.

Diperkirakan, hampir separuh penduduk asli Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan bahkan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan mereka. Mirip seperti tumor ganas, dibutuhkan operasi besar mencabut akar permasalahannya.

Upaya setengah-setengah seperti dilakukan selama ini hanyalah tambal sulam. Data terbaru BPS Papua mencerminkan hal ini, yakni jumlah penduduk miskin justru bertambah 21.800 orang dalam setahun terakhir, dari 944.790 jiwa pada Maret 2011 menjadi 966.590 jiwa pada Maret 2012.

Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi di Papua?

Antara Kaki Lima dan Kios

Lina Amsasiu (45), ibu tiga anak, setiap malam berjualan buah pinang di emperan toko elektronik di Jalan Irian, Kota Jayapura. Belasan tahun ia melakoni pekerjaan ini. Selama itu pula tidak ada perubahan nasib kecuali raut wajahnya yang tampak letih dan kusut.
Dari berjualan pinang hingga pukul 24.00, penghasilannya rata-rata Rp 60.000 per hari. Pada musim hujan harga anjlok menjadi sekitar Rp 20.000. ”Saya harus berjualan agar anak saya tidak putus sekolah dan kelaparan. Penghasilan suami saya sebagai buruh hanya cukup untuk biaya hidup selama dua pekan,’’ ujarnya.

Lina tidak sendiri. Ribuan ibu rumah tangga asli Papua bernasib sama. Mereka berjualan buah pinang, buah-buahan, sayur-mayur, dan ikan di kaki lima Kota Jayapura ataupun kota-kota kabupaten lainnya. Tidak ada ruang yang layak bagi mereka mencari nafkah karena semua kios di pasar telah dikuasai para pendatang.

”Dulu saya berjualan di kaki lima Pasar Hamadi. Beberapa kali diusir petugas pasar karena dianggap mengganggu kenyamanan pemilik kios,’’ ujar Sance Mambraw (50) yang juga berjualan pinang di Jalan Irian.

Pemerintah Kota Jayapura sebenarnya telah menyediakan tempat berjualan bagi ibu-ibu 
tersebut di atas sebidang lahan di Jalan Percetakan Negara. Di atas lahan tersebut dipasang atap dan lantai disemen, kemudian diberi nama Pasar Mama-mama (Pasar Ibu-ibu).

Lokasinya sangat strategis di pusat pertokoan, tetapi bukan untuk berjualan sayur-mayur, buah pinang, dan ikan. ”Orang yang belanja sangat sepi di pasar ini karena jauh dari permukiman dan tidak ada tempat parkir kendaraan. Kami lebih banyak rugi daripada untung berjualan di sini,’’ kata sejumlah ibu pedagang sayur. Mereka memutuskan akan pindah ke tempat lain.

Akhir April lalu, ibu-ibu yang tergabung dalam Solidaritas Pedagang Asli Papua berunjuk rasa di Kantor Gubernur Papua. Mereka menagih janji pemerintah daerah yang akan membangun pasar permanen bagi orang asli Papua. Dalam orasinya, mereka mengecam elite politik Papua yang gemar membohongi ibu-ibu pedagang, terutama menjelang pilkada.

Kesenjangan yang mencolok antara pendatang yang berjualan di kios-kios dan ibu-ibu Papua yang duduk menunggu dagangan di lantai kaki lima di bawah terik matahari dan guyuran hujan merupakan salah satu sumber kerawanan.

Dalam kompetisi yang tidak seimbang, kios tidak lagi dilihat sebagai tempat berjualan, tetapi sebagai bentuk dominasi ekonomi dan penindasan terhadap ibu-ibu pedagang asli Papua. Maka, kios-kios tersebut selalu menjadi sasaran amuk massa setiap terjadi benturan sosial di dalam atau di luar pasar.

Pungutan yang Membebani

Pendidikan adalah harapan satu-satunya yang dapat mengubah nasib warga miskin di Papua. Harapan inilah yang membuat ibu-ibu pedagang tersebut bertahan belasan tahun berjualan di kaki lima. Pendidikan gratis hanyalah ilusi karena dalam birokrasi yang korup tidak ada pelayanan yang gratis.

”Tahun lalu, uang pendaftaran anak saya di salah satu SMA negeri Rp 1,5 juta. Belum lagi uang sumbangan pembangunan gedung Rp 500.000, SPP Rp 50.000 per bulan, uang ulangan Rp 150.000, buku, dan lain sebagainya,” kata Lina.

Ia menambahkan, setelah naik kelas, ada lagi pungutan uang pendaftaran ulang sebesar Rp 500.000. Semua pengeluaran tersebut belum termasuk ongkos angkutan umum ke sekolah Rp 5.000 per hari dan jajan Rp 3.000

”Saya membayar Rp 300.000 untuk pendaftaran anak saya di SMA Merdeka. Uang pendaftaran ulang Rp 300.000, SPP Rp 100.000 per bulan, dan uang ulangan Rp 150.000. Sebelum uang ulangan lunas, siswa tidak diizinkan mengikuti ulangan,’’ ujar Sance Mambraw.

Pungutan terhadap siswa tidak hanya terjadi di SMA, tetapi juga sejak di bangku SD. Deasy Yakoo, juga penjual buah pinang di Jalan Irian, mengatakan, tahun lalu ia dipungut Rp 600.000 untuk pendaftaran anaknya di SD Inpres Surabesi, Kota Jayapura, uang buku Rp 300.000, dan uang sekolah Rp 25.000 per bulan.

”Otonomi khusus atau bukan, tetap sama. Kami tidak tahu apa manfaatnya dan tidak pernah dibantu pemerintah,’’ ujarnya. Padahal, Kantor Gubernur dan DPRD Papua hanya beberapa ratus meter dari lokasi ibu-ibu ini berjualan di kaki lima.

Bisa dibayangkan bagaimana pendidikan di daerah terpencil yang jauh dari pengawasan. Pemerintah memang membangun banyak sekolah, tetapi tidak menyediakan buku pelajaran. Lebih celaka lagi, sebagian besar guru di daerah terpencil meninggalkan tugasnya dan tidak kembali lagi. Akibatnya, banyak anak lulus SD atau SMP tidak bisa baca-tulis.

Elite Politik Papua

”Apa sesungguhnya yang terjadi adalah Papua tipu Papua,’’ kata Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia menambahkan, elite Papua di jajaran birokrasi ataupun di dunia politik telah menyelewengkan niat baik pemerintah pusat membangun daerah ini. Akibatnya, dana otonomi khusus yang begitu besar tidak menyentuh masyarakat yang membutuhkan uluran tangan.

Menurut Timotius Murib, tergiur oleh besarnya anggaran di setiap kabupaten, para elite tersebut berlomba-lomba mengusulkan pemekaran daerahnya menjadi kabupaten baru. Agar usul tersebut disetujui, mereka ”menodong’’ pemerintah pusat dengan dalih ”demi terlaksananya otonomi khusus dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat’’.
Akibatnya, lahir kabupaten-kabupaten baru. Bahkan, daerah yang tidak layak dan penduduknya hanya beberapa ribu jiwa berubah status menjadi kabupaten.

Sebagai perbandingan, sebelum otonomi khusus diberlakukan pada akhir tahun 2001, daerah ini dibagi dalam sembilan kabupaten/kota, sementara sekarang menjadi 40 kabupaten/kota. Jumlah tersebut akan bertambah lagi karena saat ini Komisi A DPR Papua sedang mempelajari 29 berkas pengajuan pemekaran kabupaten. ”MRP secara tegas menolak rencana pembentukan kabupaten baru,” kata Timotius Murib.

Fakta menunjukkan, kata Ketua MRP, mayoritas penduduk di kabupaten baru tersebut tetap miskin dan tidak tersentuh pembangunan. Sebaliknya, bupati dan kepala-kepala dinas bergelimang uang dan harta.

Menurut Timotius Murib, elite Papua seperti ini cenderung bermuka dua demi ambisi politiknya agar tetap berkuasa. Dalam menghadapi kritik dan protes masyarakat, misalnya, mereka akan menyalahkan kebijakan pemerintah pusat dan peraturan yang saling bertentangan. Sementara berhadapan dengan Jakarta digunakan isu ancaman disintegrasi, aktivitas M (merdeka), dan gangguan OPM (Organisasi Papua Merdeka).

”Papua terus memanas akibat ulah mereka. Pemerintah pusat seharusnya tidak perlu ragu bertindak demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat Papua,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar