67 Tahun ke
Depan: Membangun Peradaban
|
Soegeng Sarjadi ; Ketua Soegeng
Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
16 Agustus 2012
Tancapkan bendera Merah
Putih di masa 67 tahun ke depan. Bayangkan, saat itu semua
warga bangsa merasa aman dan terlindungi, baik di dalam negeri maupun di
mancanegara; dan tiap jengkal tanah dan tetesan air terpayungi oleh armada
Angkatan Darat, Laut, dan Udara yang kuat serta kebudayaan yang berkepribadian.
Saat itu, kecerdasan bangsa dan kesejahteraan umum juga merata sampai ke
pucuk-pucuk gunung karena demokrasi yang kita praktikkan sepenuhnya memihak
pada demokrasi sosial.
Lapangan kerja terbuka,
infrastruktur terbangun sehingga setiap daerah berkembang bersama-sama, dan
setiap anak bangsa punya kesempatan sepadan dalam memperoleh pendidikan yang
lebih tinggi dan berkualitas. Peran Indonesia di kancah internasional pun
mumpuni karena meminjam Trisakti Bung Karno, kita berdaulat secara politik,
mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Pendek
kata, Indonesia jadi negara adidaya di mana di seluruh sudut Tanah Air ditandai
suara seruling mengalun, semilir tiupan angin di pucuk bambu, dan bukan dentum
meriam dan jerit ketakutan.
Menata Tiga Pilar
Cara berpikir target dalam
prospektif rentang waktu kemerdekaan seperti itu belum melembaga pada elite
politik di Tanah Air. Mereka lebih terbiasa merespons persoalan-persoalan
jangka pendek. Akibatnya, bukan saja tak ada sinkronisasi pembangunan, tetapi
juga tak pernah tercipta peta jalan jangka panjang yang setiap pemerintah
berkuasa disiplin menjalankan kebijakan yang sudah digariskan.
Meskipun realitas politik
yang terjadi seperti itu, tetap saja bangsa ini mempunyai kebijaksanaan purba
yang luar biasa. Ini bisa dilihat dari elan demokrasi yang meski masih berusia
muda dan prosedural, tetap saja persamaan jender, kerukunan warga bangsa,
kebebasan beragama, dan suara kaum tertindas menggema di setiap perdebatan para
kognitariat (aktivis dan pekerja otak) serta penentu kebijakan. Bayangkan kalau
demokrasi di Republik sudah matang, bisa dipastikan kemanusiaan akan dimuliakan
setiap anak bangsa.
Bagi saya, dalam konteks
bangsa merdeka, persoalan tersebut lebih penting dibandingkan pembangunan ekonomi
apalagi sekadar pertumbuhan ekonomi. Hal itu mengingat pertumbuhan ekonomi
sebagus apa pun apabila tidak disertai redistribusi sosial secara adil, yang
terjadi adalah penindasan baru. Jika hal ini berlangsung cukup lama,
pertumbuhan ekonomi justru akan menjadi alat penghancur efektif bagi persemaian
peradaban.
Untuk mewujudkan Indonesia
menjadi negara adidaya dan beradab 67 tahun ke depan, tiga
pilar pembentukan peradaban perlu dibenahi dari sekarang. Pertama, pelaksanaan
demokrasi yang sampai kini masih prosedural.
Sejauh ini praktik demokrasi dijalankan sebatas kebebasan bersuara dan
berserikat, tetapi miskin kesadaran kolektif apalagi solidaritas. Pendek kata,
demokrasi yang dipraktikkan tak lebih dari semacam karnaval nasional saja.
Realitas itu harus segera
dibalik dan para pelaku politik disadarkan, demokrasi adalah alat politik untuk
menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial. Dengan
demikian, solidaritas sebagai moral dan etis kehidupan berbangsa dan bernegara
tetap hidup.
Pilar kedua
adalah mendudukkan kembali relasi antara negara dan
agama dalam iklim demokrasi dan desain kebangsaan. Demokrasi kita sejauh
ini masih diwarnai oleh keangkuhan negara yang hanya mengakui agama-agama besar
dan mengabaikan ”agama suku-suku bangsa”.
Itu menjadikan bangunan kebangsaan kita tak sepenuhnya utuh karena suku-suku
kecil di pegunungan dan pedalaman, yang dianggap tak punya pahlawan, tak bisa
meletakkan satu batu bata guna membangun rumah kebangsaan dan peradaban
Indonesia.
Oleh karena itu, jika
peradaban baru Indonesia mau terbentuk, politik kebudayaan nasional yang
multietnik harus ditinjau ulang karena belum memberikan ruang terhormat bagi
perwujudan multikulturalisme. Dengan demikian, kemerdekaan yang dicapai tak
lebih dari sebuah bayangan semu karena entitas negara masih bisa dimanfaatkan
secara manipulatif oleh masyarakat yang berjubah komunalisme dalam artian apa
pun.
Pilar ketiga,
pendidikan. Peradaban unggul Indonesia mustahil terbentuk apabila
pendidikan nasional hanya menekankan penyelenggaraan proses belajar-mengajar di
sekolah. Tanpa orientasi reproduksi budaya yang sekaligus berimplikasi politik
sebagai reformasi sosial, pendidikan nasional tak lebih sekadar aktivitas baca
tulis dan konsumsi ilmu pengetahuan. Singkatnya, miskinnya kurikulum sekolah
yang berorientasi civic education
harus segera diubah jika bangsa ini ingin menumbuhkan kesadaran kritis
rakyatnya.
Bibit Peradaban
Pembenahan ketiga pilar
tersebut diharapkan memperkuat bibit peradaban yang selama ini sudah bersemi di
Tanah Air. Terlepas dari kelemahan yang ada, media massa kini telah memainkan
peranan itu. Mereka bukan sekadar menciptakan masyarakat pembaca, pendengar,
dan pemirsa yang pasif dan bisu, tetapi telah menumbuhkan ruang publik yang
sehat dan kritis. Bersama-sama Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Mahkamah Konstitusi, misalnya, mereka
jadi tonggak pertama pembentukan peradaban baru Indonesia. Dengan
demikian, kita bisa optimistis, Indonesia 67 tahun
ke depan adalah Indonesia yang setiap warganya merasa bahagia. Merdeka! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar