Strategi
Nasional Antikorupsi
Teten
Masduki ; Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia
KOMPAS, 06 Juli 2012
Keefektifan kebijakan antikorupsi di Tanah
Air terus diganggu oleh oligarki elite kotor, yang boleh dikatakan semacam
blasteran rezim korupsi lama dan produk reformasi yang terus mengonsolidasi
diri, menumbuhkan rasa tak percaya diri pada banyak orang apakah kita mampu
keluar dari kubangan korupsi atau menjadi negara gagal melawan korupsi.
Penolakan masyarakat terhadap korupsi masih
relatif kuat. Masyarakat pun semakin belajar bahwa korupsi adalah penyebab
utama tak bekerjanya sistem demokrasi bagi kesejahteraan rakyat banyak. Parpol
dan DPR di tangan politisi busuk telah menjadi saluran mampat bagi aspirasi dan
partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik. Pisau hukum hanya
tajam bagi koruptor kelas teri, tetapi tumpul bagi koruptor kelas kakap.
Sementara kehadiran KPK yang miskin dukungan
politik dan sumber daya belum sepenuhnya bisa menyubstitusi aparat kejaksaan
dan kepolisian yang sampai saat ini masih sakit parah dan belum ada tanda-tanda
akan sembuh dalam waktu dekat.
Belum tuntas harapan untuk mengadili
dosa-dosa rezim kleptokrasi lama, kita harus melupakannya karena terkubur oleh
tumpukan dosa baru meskipun koruptor generasi baru, dengan teknik korupsi yang
amatiran, jauh lebih mudah ditangkap daripada senior mereka.
Cara pandang kuno terus dihidupkan para ahli
konservatif untuk mendelegitimasi produk-produk kelembagaan hukum baru yang
selalu dipandang di luar sistem, seperti KPK atau penerapan UU Pencucian Uang
sebagai metode baru menjerat koruptor licin. Seolah-olah asas triaspolitika
adalah kitab suci yang lahir dari surga dan kesuciannya harus dijaga, suatu
pola pikir bangsa kerdil yang tak terbuka terhadap perkembangan demokrasi di
negara modern yang telah melengkapi sistem demokrasinya dengan pembentukan
sejumlah state auxiliary body.
Di kalangan birokrasi tingkat menengah dan
bawah, yang semula tumbuh benih-benih perubahan di bawah program penguatan kelembagaan,
satu dasawarsa kemudian tampak mulai ragu-ragu dengan masa depan perubahan itu.
Sistem merit tak bekerja dalam pengangkatan jabatan tingkat atas. Situasinya
saat ini sangat krusial bagi mereka, apakah mereka terus konsisten melanjutkan
perubahan mencapai posisi puncak birokrasi atau tersingkir dan jadi kaki tangan
atasan kotor.
Hilang Percaya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang
mengampanyekan pemberantasan korupsi pada saat kampanye dan menjadikannya
sebagai salah satu prioritas pemerintahannya, tampak kehilangan kepercayaan
masyarakat yang luar biasa. Bukan saja karena tak berhasil memulihkan aparat
kejaksaan dan kepolisian, melainkan juga karena disabotase lingkaran pendukung
utamanya di dalam tubuh Partai Demokrat yang sekarang satu per satu dituding
terlibat korupsi. Pendek kata, kepemimpinan SBY dilemahkan di kandang sendiri.
Di tengah keloyoan keefektifan pemberantasan korupsi itu, awal Juni lalu
pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014
lewat Perpres Nomor 55 Tahun 2012.
Ada enam fokus strategi Stranas: (1)
Pencegahan; (2) Penegakan hukum; (3) Harmonisasi peraturan perundang-undangan;
(4) Kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor; (5)
Pendidikan dan budaya antikorupsi; dan (6) Mekanisme pelaporan pelaksanaan
pemberantasan korupsi. Perspektif dan struktur penyusunan Stranas ini
sepertinya mengacu pada Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) yang sudah
diratifikasi. Korupsi sudah menjadi kejahatan transnasional sehingga Indonesia
harus mengikuti pendekatan antikorupsi universal. Boleh dibilang, sejak
reformasi baru kali ini kita punya landasan kebijakan pemberantasan korupsi
yang bisa dipakai sebagai acuan bagi kementerian dan lembaga dalam merumuskan
rencana aksi tahunan mereka. Sejauh ini hanya ada instruksi-instruksi presiden
untuk rencana aksi tahunan.
Mengikat Komitmen
Paling tidak, landasan kebijakan ini bisa
mengikat komitmen pemerintah dalam jangka panjang dan ada rencana sasaran yang
lebih jelas sehingga tidak angin-anginan seiring dengan pergantian politik yang
relatif cepat sejak Pemilu 1999. Dalam Stranas ini, oleh penyusunnya (yang
digodok Kantor Wapres, UKP4, dan Bappenas), digunakan antara lain tolok ukur
yang sudah mapan di dunia. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dipatok 5.0 pada 2014
dan saat ini 3.0 (2011).
Juga diterapkan Indeks Pencegahan Korupsi
(IPH) yang merupakan komposit dari Indeks Kontrol Korupsi (CoC Index) untuk mengukur keefektifan kebijakan dan kerangka institusional
suatu negara dalam mencegah korupsi. Juga peringkat Ease of Doing Business, mengukur tingkat kemudahan memulai dan
menjalankan usaha yang dikeluarkan Bank Dunia. Digunakan pula Indeks Sistem
Integritas Nasional yang dibuat KPK.
Yang menarik, strategi di bidang penegakan
hukum diterapkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor (IPHT), mulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Indeks ini menghitung persentase kasus
yang disidik dan dilimpahkan ke pengadilan dan persentase yang dijatuhi hukuman.
Di atas kertas, indeks ini bisa melecut aparat hukum lebih serius dan untuk
menghindari kebiasaan buruk aparat hukum yang asal menyidik tetapi tidak
berlanjut ke tahap penuntutan.
Bukan rahasia lagi banyak aparat hukum
melakukan pemerasan dalam kasus korupsi yang disidiknya sehingga banyak kasus
ditangani, tetapi kinerja penegakan hukumnya tak membaik, termasuk kinerja
pengadilan korupsi yang hampir 60 persen bebas. Indeks ini bisa dipandang
kontroversi, seolah pengadilan adalah penghukuman sebagaimana sering
dikemukakan pengacara spesialis korupsi.
Budaya dan perilaku korupsi di masyarakat
juga akan diukur melalui Indeks Perilaku Korupsi, yang metodologinya sedang
dirumuskan BPS. Indeks ini barangkali penting untuk mengubah pola pikir
masyarakat. Kita tahu masyarakat dan bisnis merupakan pemasok korupsi
sesungguhnya. Toleransi masyarakat terhadap korupsi sejauh ini kurang dapat
perhatian, seolah pembenahan terhadap institusi publik sudah cukup memadai
untuk memerangi korupsi.
Yang menggantung dalam pikiran banyak orang
adalah kenyataan bahwa sebuah kebijakan selalu lebih indah dari pelaksanaannya.
Agenda reformasi birokrasi didengungkan, tetapi kabinet dibikin secara gemuk.
Itu sekadar contoh. Pesimisme itu tak bisa begitu saja diabaikan di tengah
kepemimpinan nasional yang lemah, kompleksitas birokrasi, masalah otonomi
daerah, dan masalah koordinasi antar-kelembagaan. Apakah kementerian dan
lembaga, termasuk pemda, dengan sendirinya mengakomodasi Stranas ini ke dalam
rencana strategis mereka?
Sudah cukup bukti, hasil eveluasi instruksi
presiden dalam percepatan pemberantasan korupsi banyak diabaikan dan tidak ada
tindakan disinsentif apa pun untuk mendukung keefektifan kebijakan antikorupsi
itu. Pengangkatan jaksa agung, menteri, dan jajaran eselon sejauh ini lebih
ditentukan pilihan politis ketimbang kompetensi dan kesesuaian dengan cetak
biru prioritas pembangunan yang dicanangkan. Presiden acap tak berani mencopot
mereka yang kinerjanya buruk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar