Semangat
“Laissez Faire” dalam RUU Perdagangan
Edy Burmansyah ; Peneliti di
Resistance and Alternative to Globalization
KOMPAS,
13 Juli 2012
Di tengah-tengah
kecenderungan berbagai negara memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian,
DPR dan pemerintah kita justru sepakat menyerahkan pengelolaan perekonomian
pada mekanisme pasar.
Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perdagangan yang kini tengah dibahas DPR secara jelas dan tegas mereduksi
peran pemerintah terbatas hanya sebagai fasilitator. Ini sebuah peran sederhana
sebagai penjaga malam (night watchmen
state) bagi bekerjanya mekanisme pasar (laissez
faire).
Semangat laissez faire tampak pada penjelasan
umum dalam RUU tersebut, yang secara gamblang menyatakan bahwa rumusan UU Perdagangan ini merupakan
pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran pemerintah di
bidang perdagangan yang mengurangi peran dominannya sebagai regulator.
Perlindungan
Bagian lain yang menunjukkan
semangat laissez faire pada RUU itu
terdapat pada Pasal 2 Ayat 1 Huruf c dan e yang berbunyi: perdagangan diselenggarakan berdasarkan asas pemberian kesempatan yang
sama bagi seluruh pelaku usaha, dan perlakuan yang sama terhadap produk yang
beredar di pasar dalam negeri.
Laissez
faire menuntut
perlakuan yang sama antara produk impor dan produk nasional yang diperdagangkan
di pasar dalam negeri. Sederhananya, jika pemerintah memberikan fasilitas pada
industri dalam negeri, fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri
pesaingnya dari luar negeri.
Padahal, ditinjau dari
berbagai aspek produsen lokal dengan produsen asing berada dalam posisi
asimetris (tidak seimbang). Produsen asing jauh lebih unggul, baik dalam aspek
permodalan, teknologi, jaringan distribusi, maupun harga jual produk.
Akibatnya, keberadaan RUU
Perdagangan dapat mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha lokal, yang
semestinya memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang.
Kasus hancurnya industri
alas kaki dan garmen akibat penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China
(ASEAN-China Free Trade Agreement)
seharusnya menjadi isyarat bagi perlunya campur tangan pemerintah dalam
perdagangan, melalui proteksi terhadap produk-produk lokal dalam berbagai
bentuk kemudahan dan fasilitas.
Pasar Rakyat
Perlindungan itu agaknya
semakin jauh bagi pelaku-pelaku usaha lokal, terutama pedagang kecil. Pasar
rakyat—tempat bagi usaha bermodal kecil dengan proses jual beli secara
tawar-menawar—dimungkinkan dikembangkan swasta (termasuk swasta asing),
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 Huruf a.
Pengembangan pasar rakyat
oleh swasta akan membuat biaya retribusi dan sewa kios menjadi mahal karena
perusahaan pengelola pasar rakyat cenderung berorientasi profit, berbeda ketika
pasar rakyat dikelola pemerintah atau asosiasi pedagang pasar, para pedagang
mendapat subsidi dan keringanan biaya sewa dan retribusi.
Di sisi lain, tingginya
biaya sewa kios dan retribusi jika pasar rakyat dikelola perusahaan swasta akan
dikompensasi dengan peningkatan harga barang-barang. Padahal, konsumen utama
pasar rakyat adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Ini tentu berlawanan
dengan tujuan RUU Perdagangan, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Suasana kebatinan penyusunan
RUU Perdagangan agaknya memang bertujuan menjalankan agenda liberalisasi yang
menghendaki perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar.
Melawan Arus
Pilihan menyerahkan
perekonomian pada mekanisme pasar berlawanan dengan kecenderungan di banyak
negara Eropa dan Amerika beberapa tahun terakhir. Mereka kembali memperkuat
peran pemerintah dalam perekonomian sejak krisis melanda kawasan tersebut, yang
dituding akibat kegagalan pasar (market
failure).
Semangat laissez faire dalam RUU Perdagangan harus dikoreksi karena tidak ada satu pun negara di
dunia yang menyerahkan ekonominya pada mekanisme pasar, bahkan di negara paling
liberal sekalipun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar