Sekolah,
Kita, Indonesia
Bandung
Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
KORAN TEMPO, 01 Juli 2012
Orang-orang kita lahir dari sekolah, tampil
mengusung ide-ide modern, memainkan peran sebagai lokomotif dalam pergerakan kemerdekaan.
Orang-orang besar bisa lahir dari sejarah
bersekolah. Institusi pendidikan ini membentuk, menyulut, dan mengantarkan
orang melakukan ziarah intelektual untuk menggapai cita. Sekolah mirip titian
berkah: menjadikan orang sumringah menata hidup dan mengangankan nasib. Sejarah
sekolah pun terseret dalam biografi diri, dikenang dan dipuja sebagai
almamater, disimpan dalam deretan peristiwa-peristiwa terpenting dalam hidup.
Orang mau sekolah, orang mau mengubah nasib.
Bagaimana sekolah turut mendefinisikan kita
dan Indonesia? Lembaran-lembaran sejarah sekolah tampak lengket, jarang
tersentuh dan terbacakan, mendekam dalam ruang sempit dengan bisikan-bisikan
tak terdengar. Sekolah sebagai sistem, struktur, ideologi, dan nilai merupakan
“pemberian” Eropa. Sekolah adalah agen pembaratan ditilik dari sejarah misi dan
kolonialisme. Mampir dan menyebar di penjuru Nusantara, membentuk pola
pendefinisian dengan menjauh dari akar kultural-lokal dan mengeja diri dalam
mata-epistemologis Barat.
Sartono Kartodirdjo (1987) menyebut sejarah
kita dalam sejarah sekolah pada masa kolonial adalah bentuk detradisionalisasi.
Sekolah model Barat pada awal abad XX di Hindia Belanda melahirkan kaum elite
dengan risiko tak terelakkan, kondisi dilematis untuk mengafirmasi “kemadjoean”
atau terikat dengan sumber tradisi-lokal. Kaum elite terserap dalam pendidikan
dan keprofesian ala Barat, mengalami pelunturan atas penghayatan tradisi.
Risiko dalam bingkai kultural Jawa adalah elite kehilangan asosiasi
kesusastraan dan kesarjanaan tradisional sebagai basis memartabatkan diri.
Pembaratan
Jejak sejarah sekolah masih belum terang.
Konon, sekolah dalam format Barat sudah ada di Ternate pada 1536.
Sekolah-sekolah di Indonesia bagian timur dibentuk pada abad XVII, Sumatera dan
Jawa pada abad XIX. Pamrih pendirian sekolah itu bergantung pada situasi lokal
dan pencapaian misi. Para pemula identik dengan afiliasi politik dan agama.
Proyek peradaban ini seolah ingin meninggikan derajat kaum pribumi dengan
afirmasi atas agama-agama samawi dan keberimanan atas nalar Barat. Klasifikasi
sekolah muncul untuk pembedaan atas pemberlakuan sistem dan identitas murid.
Risiko sekolah tampak di Koto Gadang
(Sumatera) pada permulaan abad XX. Kultur pertanian, peternakan, atau kerajinan
digantikan dengan pengenalan profesi amtenar, juru tulis, jaksa, guru, atau
mantri. Sekolah ala Barat berterima di Koto Gadang sebagai titian mengusung
perubahan. Afirmasi ini membuat Koto Gadang merupakan gudang para tokoh
intelektual. Mereka lahir dari rahim sekolah modern. Mereka adalah Agus Salim,
Sjahrir, Abdul Muis, dan Rohana Kudus. Azizah Etek, Mursjid A.M., dan Arfan
B.R. dalam Koto Gadang Masa Kolonial (2007) menjelaskan bahwa Koto
Gadang kuat memegang-merawat adat sekaligus merupakan daerah awal penerima
pengaruh Barat. Perubahan dilangsungkan, kemodernan diserap, dan adat bergerak
dalam dilema.
Risiko sekolah juga dialami oleh murid-murid
di Jawa. Sekolah-sekolah umum di Jawa didirikan pada 1849. Sekolah lanjutan
untuk jadi guru didirikan di Solo pada 1852. Jawa pun jadi pusat pergolakan
untuk mengusik tradisi dan menebar godaan Barat. Koentjaraningrat (1984) dalam
olahan pelbagai sumber penelitian dari sarjana asing menyebutkan bahwa kultur
agraris, lokalitas, tradisi klasik memudar oleh gairah mendefinisikan diri atas
nama modernitas, perubahan dalam takdir zaman. Jawa menjadi “negeri sekolah”
karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indonesia pada 1901 memiliki
1.021 sekolah negeri dan pada 1907 memiliki 122 sekolah desa. Mayoritas
sekolah-sekolah itu ada di Jawa dengan murid dari pelbagai daerah. Sekolah di
Jawa menjelma jadi kawah candradimuka untuk perubahan nasib dan proyek
identitas dalam tarikan tradisi, agama, nasionalisme, atau globalisasi. Sekolah
dalam orbit kolonial seolah mendominasi ketimbang gerakan “sekolah-sekolah liar”
dengan ikon Taman Siswa. Resistensi pembaratan dilakukan kendati dihantui
kekalahan.
Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas
(2007) justru mengungkapkan bahwa anak laki-laki priayi didikan di sekolah
Eropa khusus atau sekolah Belanda pribumi bakal berdiri di tengah pusaran
kultural: diterjang surutnya arus pengaruh Barat dan pasangnya arus tradisi
Jawa. Simpulan metaforik juga diungkapkan oleh M.A.M. Renes-Boldingh dalam
novel Adat, kisah mengenai geliat perubahan di Batak. Pengarang asal
Belanda ini mengungkapkan: “Kaum muda berpendidikan Barat menempati sebuah
semenandjung kecil... mencabut dan sekaligus menabur kecemasan.” Mereka
mengalami kontradiksi diri: mengikat diri dengan tradisi (adat) atau melenggang
girang dengan gagasan-gagasan Barat. Sekolah adalah jalan ke Barat, jalan
meninggalkan rumah-kultural di bumi sendiri.
Tokoh
Sejarah sekolah dalam biografi para tokoh
bakal menginformasikan tentang imajinasi perubahan, angan mengubah nasib, dan
keajaiban zaman. Mereka sekolah untuk meraup berkah. Mohammad Hatta memilih
melanjutkan sekolah ke Jawa agar bisa bergerak di bisnis-ekonomi. Sutan Sjahrir
memilih sekolah ke AMS di Bandung, sekolah termahal dengan kualitas eksklusif.
Sjahrir pun kelak moncer: menjelma sebagai ikon keintelektualan di Indonesia.
Mereka mau merantau dari tanah kelahiran, merasai hidup di Jawa sebagai murid,
mengubah nasib melalui sekolah.
Sultan Hamengku Buwono IX pada waktu bocah
bersekolah di HBS Semarang, jauh dari keluarga di Keraton Yogyakarta. Hidup
dalam keluarga dan kultur Barat, menyerap kemodernan, serta fasih dalam bahasa
Belanda untuk menunjang pelajaran. Sekolah membentuk dan mengubah Hamengku
Buwono IX menjelma jadi manusia modern kendati tak melepaskan akar-akar tradisi
dalam laku politik dan kultural. Sartono Kartodirdjo memerlukan melanjutkan
sekolah ke HIS di Solo, hijrah dari Wonogiri untuk meluaskan pengetahuan dan
pergaulan. Mereka tumbuh dan besar dipengaruhi oleh sekolah pada masa
kolonialisme. Pendefinisian diri dan Indonesia bergerak dari kisah-kisah sekolah.
Tbangsaan, dan menabur ilmu dalam lini
sastra, ekonomi, politik, sejarah, bahasa, hukum, atau teknik. Kita mewarisi
sejarah mereka, meneruskan mekanisme membentuk diri dalam ideologisasi sekolah.
Institusi modern ini, dari zaman ke zaman, terus terbayangi oleh model
pembaratan. Berkah dan petaka menyeruak hari ini, sekolah-sekolah masuk dalam
persaingan sengit untuk melabeli diri bertaraf internasional, standardisasi
memusat ke Barat dijadikan ukuran kualitatif dan pamor. Sejarah kita dan
sejarah Indonesia seolah akumulasi dari pasrah dan gairah menjadi Barat.
Sekolah mengubah dan mendefinisikan kita. Sekolah adalah sumber gagasan untuk
mengonstruksi dan menggerakkan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar