RUU
Pendidikan Tinggi Bermasalah
Warjati Suharyono ; Pengamat pendidikan pada Lingkar Kajian Profetik UGM
MEDIA
INDONESIA, 14 Juli 2012
SECARA
historis, kehidupan pembelajaran pendidikan tinggi di berbagai kampus Indonesia
baik negeri maupun swasta tidak pernah terlepas dari intervensi pola pengaturan
oleh negara. Pada 1970an, pemerintah Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK).
Tujuan
NKK itu menghentikan sikap skeptis dan kritis mahasiswa terhadap jalannya
pemerintahan Orde Baru dengan membubarkan semua organisasi kemahasiswaan baik
internal maupun eksternal, yang kemudian disatukan dalam satu wadah bernama
senat akademik universitas yang langsung di bawah kendali mendikbud. Kebijakan
NKK dan pembentukan senat akademik universitas secara langsung melakukan
depolitisasi kampus dengan mengajak mahasiswa menghentikan sikap idealisme dan
berpikir pragmatis hanya belajar, lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan.
Belum
lagi, hal tersebut ditambah pemaksaan ideologi bagi mahasiswa dengan adanya
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam ujian sa
ringan perguruan tinggi dengan mahasiswa diwajibkan menghafal setiap bait teks
P4 tersebut. Pada era reformasi sekarang ini, perilaku intervensionisme negara
terhadap kampus boleh dibilang lebih parah karena sudah melibatkan aktor asing
dan logika kapitalisme sudah merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum
pendidikan.
Tentunya,
kita masih ingat bagaimana pemerintah memaksakan kampus negeri dan swasta harus
membiayai operasionalisasi kegiatan belajarmengajar (KBM) di kampus dengan
melepaskan fungsi subsidi alokasi anggaran melalui UU Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang kemudian g digugat itu. Status badan hud kum yang disematkan kepada
kampus sendiri menyimbolkan kampus sudah layaknya korporasi terselubung dengan
perguruan tinggi (PT) berganti makna menjadi perseroan tinggi.
Kalau
demikian adanya, kita sudahi dan rekonstruksi ulang saja makna tridharma
pendidikan tinggi yang selama ini menjadi dogma pendidikan tinggi
Indonesia--yakni penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada
masyarakat-menjadi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada yang mbayar.
Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS sebagaimana yang diatur RUU PT
menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi lembaga nirlaba, melainkan lembaga profit oriented.
Intervensionisme Pendidikan
Adanya
rancangan UU Pendidikan Tinggi yang akan disahkan DPR ini boleh dibilang
merupakan NKK jilid 2. Dalam RUU tersebut independensi kampus ketika
melaksanakan fungsi dalam penelitian dan pendidikan sudah diawasi mendikbud.
RUU PT sudah cukup tegas terdapat pasal-pasal subversif yang dinilai
mengacaukan sistem pendidikan kampus, baik Pasal 9 ayat 2 dan ayat 4 maupun
Pasal 16 ayat 3 dalam rancangan UU PT mengatakan menteri berhak tahu dan awas
terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang
dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Keberadaan
menteri selaku wakil pemerintah dalam mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik
itu saja sudah kontradiktif. Itu sudah menjadi urusan kampus yang bersangkutan.
Hal itu sama saja dengan menteri bertindak subjektif terhadap pemilahan rumpun
ilmu pengetahuan yang dinilai tidak membahayakan pemerintah. Sama saja pihak
universitas dipasung dan tidak bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam
menghasilkan produk pengetahuan yang bermutu dan berguna bagi masyarakat.
Baik
Pasal 20 yang berisi enam ayat maupun Pasal 32 yang berisi tiga ayat
menjelaskan menteri berhak mengevaluasi dan mengawasi pendidikan tinggi kampus
dalam menjalankan tridharma pendidikan maupun dalam upaya menjalin kerja sama
penelitian dengan pihak ketiga, yakni dunia usaha dan dunia industri.
Pasal
itu bisa dikatakan hipokritis dan slapstick
mengingat pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi
kampus dalam mencari sumber mandiri. Sama saja pemerintah menjilat ludah
sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber mandiri akibat
pemerintah pelit, kemudian dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi
pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan
pihak pemerintah. Sekarang ini saja, mau kuliah di PTN dan PTS saja sudah
membuat dahi orangtua berkerut melihat besaran sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) yang tidak logis untuk
sekadar mendapat titel sarjana dan diploma.
Menaikkan
digit angka sumbangan SPMA merupakan modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk
mencari dana mandiri sejak subsidi dicabut. Imbasnya kemudian hanya sosialita
kelas menengah atas yang berhak kuliah, sementara yang miskin dimarginalkan
dari arena tersebut. Hal yang perlu untuk disoroti secara tegas ialah
longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap keberadaan lembaga pendidikan tinggi
asing yang terus melakukan ekspansi ke Indonesia.
Dimensi
yang kentara dari ekspansi tersebut ialah makna pendidikan tinggi di kampus
kini sudah layaknya industri waralaba yang saban tahunnya mencetak sarjana siap
jadi tanpa ada kejelasan masa depan. Logika orientasi bisnis semakin semerbak
dengan PTN/PTS dihadapkan pada persaingan tinggi dengan PT asing yang konon
katanya akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Jika
substansi utama RUU PT itu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia,
tak usahlah ada intervensi pemerintah dan kompetisi dengan PT asing. Pemerintah
perlu menggenjot dana hibah yang besar kepada kampus untuk melaksanakan
tugasnya seperti yang termaktub dalam tridharma
pendidikan tinggi. Biarkan kampus mengelola tata laksana KBM sendiri tanpa
direcoki pemerintah. Kampus lebih tahu dan paham bagaimana caranya meningkatkan
kualitas pendidikan daripada pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar