Presidensialisme
Partai Politik
Arya Budi ; Alumnus Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM
KOMPAS,
23 Juli 2012
Sudah beberapa minggu ini, sambil meladeni
isu-isu publik, partai politik terus menapak tilas probabilitas kader
strukturalnya dalam bursa pemilihan presiden tahun 2014.
Terkait ini, ada dua pertanyaan penting.
Pertama, kenapa kader struktural partai demikian penting sekalipun belepotan
dosa politik dibandingkan kader fungsional yang lebih konseptual? Seolah
topologi kekuasaan dalam parpol hanya berada pada level struktur dan cenderung
berfungsi simbolik. Kedua, kenapa calon presiden hampir selalu mendahului
pembahasan isu pemilu itu sendiri, baik untuk eksekutif (baca: pilpres) maupun
legislatif?
Tepat pertengahan periode durasi pemerintahan,
agenda-agenda elektoral mulai dimainkan baik oleh individu politisi maupun
partai secara organisasi. Namun, yang terjadi adalah pola presidensialisasi
parpol. Presidensialisasi adalah bukan sekadar personalisasi yang menjadi ciri
pengelolaan partai sejak pemilihan langsung 2004.
Artinya, presiden jadi sumber
legitimasi elite dalam partai. Dulu Riswanda Imawan (2004) berujar, rakyat
Indonesia telah berpindah dari level suporter
menjadi voter. Akan tetapi, kini,
justru elite yang berpindah dari aktor menjadi suporter terhadap patronnya.
Memahami Parpol
Untuk menjernihkan pemahaman ini, ada tiga
cara untuk memahami parpol: keanggotaan, kecenderungan aliran (bukan ideologi),
dan perilaku. Pertama, berdasarkan kluster konstituen, Indonesia hanya memiliki
tiga partai, yaitu partai yang ”memakan” semua golongan, partai dengan
representasi kelas sosial, dan partai dengan diferensiasi paham masyarakat.
Secara ideologi hanya ada dua: partai nasional dan partai agama. Dalam kategori
perilaku, kita hanya punya satu partai: partai elite.
Realitas kutu loncat atau perpindahan
politisi dari satu partai ke partai lain sekalipun memiliki pertentangan arus
aliran, menunjukkan tidak ada loyalitas lembaga. Yang ada presidency loyalty. Perpindahan politisi ini yang menjelaskan terpecahnya
suara (split voting) dalam pemilu,
yaitu orang yang memilih partai tertentu di level daerah, belum tentu memilih
partai yang sama di level pusat. Dan, semakin jelas jika dihadapkan antara
pilihan legislatif (partai) dan eksekutif (presiden). Presidency loyalty itulah yang menjelaskan kemunculan pernyataan
politisi yang mendeklarasikan diri sebagai klien atas patron yang sedang
berkuasa, bukan anggota, apalagi aktor politik. Muara atas hal ini cukup fatal:
parpol bukan menjadi organisasi politik, melainkan pelembagaan kepentingan yang
membajak demokrasi dengan pola dan motif pemburu rente. Tak mengherankan jika
ada banyak ”partai faksi” yang muncul pascakongres partai atau kekalahan dalam
pilpres.
Berbeda dengan parlementarisme,
presidensialisme kita memungkinkan partai mengejar kursi eksekutif langsung
sehingga orientasi kebijakan dan tujuan bisa jadi terletak pada perolehan kursi
eksekutif, bukan legislatif. Ini yang menjelaskan pilpres bukan sekadar
prestise partai sebagai organisasi, melainkan bagian dari driving goals.
Perilaku partai mengikuti logika ini. Jika partai kalah di perolehan kursi
terbanyak parlemen, belum tentu dia kalah untuk memimpin penyelenggaraan negara
pasca-pemilu karena ruang menangkap kursi eksekutif bisa dilakukan tanpa menggantungkan
pada proses pemilu legislatif yang sekuensial.
Menurut David Samuels (Presidentialiazed Parties, 2002), formasi konstitusional berimbas
pada perilaku parpol. Thomas Poguntke and Paul Webb (Presidentialization of Politics, 2007) misalnya, membeberkan
pengalaman di 14 negara Eropa dan Amerika bahwa pemimpin eksekutif, baik dalam
konsep presidensial maupun parlementer, punya otonomi yang semakin luas untuk
tak selalu mengonfirmasi keputusan politiknya dengan elite (pemimpin politik)
di partai ataupun secara organisasional dengan partai asalnya.
Hal ini berlaku sama di Indonesia ketika
semua elite mengamini struktur budaya paternalistik (atau maternalistik pada
periode 2002-2004 yang terjadi) di lembaga partai.
Akhirnya, perwajahan
patron-klien yang dominan sepanjang rezim Soeharto di level negara kini
terdesentralisasi ke dalam tubuh parpol, yaitu ada dua pilihan: paternalistik
atau maternalistik. Dua pilihan ini berkarakter sama selain hanya soal
seksologi pucuk pemimpin yang membedakan.
Artinya, hasil survei yang menunjukkan sebuah
partai mempunyai elektabilitas tinggi sama sekali tak menjamin capres yang
diusung dari kader partai terkait akan bernasib baik. Salah jika partai harus
dengan teguh menginginkan hanya dari kadernya yang pantas dicalonkan. Gerindra,
misalnya, hanya mendapatkan suara kecil jauh di bawah tiga partai besar, tetapi
patron partai Prabowo Subianto berada di posisi puncak dalam semua survei. Kita
tak bisa mereplikasi logika parlementer dalam beberapa otoritas dan privilese yang
dimiliki presidensialisme. Apalagi, koalisi yang dibangun dalam perebutan kursi
eksekutif (baca: presiden) didasarkan pada pembagian kue kekuasaan, sama sekali
tak ada perbincangan ideologi apalagi tentang platform.
Sesekali memang membangun konsensus bersama,
konsensus dalam pola ini hanya mensyaratkan dua hal: hanya menyangkut isu
publik yang dianggap populer atau strategis bagi pemangku kepentingan koalisi
dan isu yang menyangkut nasib (elite) partai dalam koalisi. Presidensialisme
mendorong partai pada vote-seeking
behavior atau perilaku partai apa pun bentuknya ditujukan untuk memperoleh
suara sebanyak-banyaknya (Strom, 1990).
Kecenderungan presidensialisasi partai akhirnya membagi parpol dalam tiga
model: partai yang terbajak elite, partai yang mencari elite, dan partai yang
mencari partai lain.
Kepemimpinan Manajerial
Fakta di Indonesia menunjukkan dari (partai
atau elemen) mana pun kandidat eksekutif berasal, dia akan berakhir sama:
manajer sebuah negara. Sekali lagi, yang akan hadir kemudian adalah state
manager bukan state leader. Pemimpin eksekutif (baca: presiden) cukup
memastikan warga negara bisa kenyang dan aman. Sepanjang dua hal ini
diupayakan, maka dianggap tidak perlu untuk mengambil posisi tegas dalam
turbulensi ekstranasional.
Proses penentuan capres dalam partai
menunjukkan pola yang sama dengan rezim Soeharto: kronisme. Pola yang sudah
lama kita hujat ketika negara mulai ditata dalam logika-logika demokrasi,
seperti terselenggaranya tiga hal penting: pemilu yang sehat untuk memastikan
hak politik setiap warga negara tak terbajak oligarki, proses pengambilan
keputusan yang partisipatif melalui mekanisme bottom-up, dan kehadiran ruang-ruang deliberasi isu-isu publik di
media sebagai bentuk amplifikasi rencana kebijakan negara. Namun, yang terjadi
kini, kepemimpinan politik hadir atau dihadirkan tanpa proses klarifikasi
sebagaimana tiga tatanan penting demokrasi tersebut.
Alhasil, elite yang muncul akan bernasib
kesepian karena dirinya tak merefleksikan kepentingan partai dan tak membangun
jawaban atas kebutuhan rakyat. Sehingga hanya akan sampai pada kepemimpinan
manajerial, bukan kepemimpinan rakyat. Jika bisa kita ambil contoh, kasus di
Paraguay ketika Fernando Lugo dimakzulkan oleh parlemen karena pembelaannya
pada rakyat kecil yang digusur oleh perusahaan milik oposisi tak akan terjadi
di Indonesia karena kepemimpinan yang dibangun adalah kepemimpinan manajerial.
Pemimpin politik adalah elite penguasa.
Dalam bahasa agak sarkastis, menurut
teoretikus elite (Pareto, Mosca, Machiavelli), elite penguasa hanya bertindak
memimpin negara dalam dua cara: kelicikan dan kekerasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar