Senin, 09 Juli 2012

Pilihan Dilematis Calon Presiden 2014


Pilihan Dilematis Calon Presiden 2014
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah,
Peneliti Lembaga Survei Indonesia
MEDIA INDONESIA, 09 Juli 2012

SURVEI nasional yang baru dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menegaskan agenda besar kita sebagai bangsa menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Pilpres bukan hanya ritual demokrasi lima tahunan, melainkan juga momentum bersama agar kita bisa memilah dan memilih putra/putri terbaik sebagai pucuk pimpinan nasional.

Ia menjadi etape penting dalam sejarah kita karena presiden merupakan jabatan paling strategis dalam kelembagaan politik Indonesia. Siapa pun calon presiden (capres) yang sudah mendeklarasikan diri ataupun diam-diam berpotensi maju dalam Pilpres 2014 harus siap kita evaluasi dan telanjangi rekam jejak, kapasitas, dan integritasnya. Upaya mendiskusikan calon-calon presiden urgen dilakukan karena luasnya wilayah Indonesia dan besarnya proporsi pemilih yang kurang well-informed mengenai politik. Jangan sampai pemilih memilih kucing dalam karung lagi.

Masalahnya, untuk mendapatkan capres terbaik tidak hanya bergantung pada kualitas pilihan rakyat, tapi juga bertumpu pada ketersediaan calon-calon yang ada. Dengan meminjam istilah pemasaran, aspek demandside memang penting karena pemilihlah yang menentukan capres. Akan tetapi, harapan lahirnya presiden yang berkualitas akan terjadi bila supply-side dari partai politik (parpol) juga membaik.

Parpol merupakan sumber rekrutmen dan produsen capres. Terlebih lagi peluang bagi capres independen sudah ditutup oleh Mahkamah Konstitusi. Kalaupun rakyat ingin mendapatkan capres terbaik, jika partai-partai mengusung capres yang buruk, rakyat akan memilih pilihan di antara yang buruk-buruk itu.

Efisiensi Popularitas

Hajatan pilpres masih dua tahun lagi. Namun, sejak setahun terakhir sudah bermunculan sejumlah nama. Aburizal Bakrie (Ical) sudah dideklarasikan sebagai capres dari Golkar, Prabowo Subianto sudah ditahbiskan Gerindra, Wiranto sudah dimunculkan Hanura, dan Hatta Rajasa juga sudah diusung PAN. Nama Jusuf Kalla sempat disebut-sebut bakal dilirik PPP. Praktis, hanya Demokrat, PKS, dan PKB yang belum menyebut nama sama sekali.

Di luar nama-nama dari kalangan partai politik tersebut, beredar nama-nama di luar kalangan partai, yang sebagian berasal dari kalangan menteri, teknokrat, pejabat negara, pengusaha, eks jenderal, dan lain-lain yang juga digadanggadang sebagai capres. Sebut saja Dahlan Iskan, Mahfud MD, Sri Mulyani, Gita Wirjawan, Pramono Edhie, Djoko Suyanto, dan Endriartono Sutarto.

Untuk mengukur potensi elektabilitas para capres, faktor popularitas penting dilihat. Tingkat elektabilitas namanama baru yang masih rendah, misalnya, salah satunya dise babkan popularitas mereka yang masih terlalu rendah. Bagaimana mungkin rakyat mau memilih mereka jika kenal saja tidak?

Sebaliknya, ada sebagian capres yang sudah sangat populer, tetapi tingkat popularitasnya tidak berbanding lurus dengan elektabilitas mereka yang tinggi. Hal itu terjadi karena popularitas mer eka tidak efisien atau kualitas pengenalan yang buruk sehingga memengaruhi elektabilitas.

Hasil survei SMRC Juni 2012 menunjukkan bahwa dari puluhan nama bakal capres yang diuji berdasarkan tingkat popularitas di mata rakyat, hanya delapan nama yang popularitasnya di atas 50%, yakni Megawati Soekarnoputri (93,7%), Jusuf Kalla (88,9%), Prabowo (78,8%), Wiranto (72,8%), Aburizal Bakrie (70,1%), Sultan Hamengku Buwono X (58,3%), Anas Urbaningrum (55%), dan Hatta Rajasa (54,1%).

Popularitas tinggi bisa dimaklumi karena selain sebagai tokoh-tokoh partai, mereka juga pernah menjabat presiden, wakil presiden, atau pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.

Popularitas di luar delapan nama itu jauh di bawah 50%. Hal demikian wajar karena nama-nama lain tidak pernah bekerja secara sistematis dan terorganisasi untuk menyosialisasikan diri ke te ngah masyarakat . Mereka juga tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai capres sehingga masyarakat hanya bisa menduga-duga apakah mereka serius maju atau tidak. Di samping itu, mereka juga tidak memiliki kendaraan resmi. Padahal, tiket maju dalam pilpres hanya dimungkinkan melalui parpol.

Dengan demikian, saat ini publik Indonesia dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama, pemilih di-fait accompli oleh pilihan capres dari stok yang itu-itu saja. Capres populer yang muncul belum diterima publik karena masalah akseptabilitas, integritas, dan rekam jejak yang kurang baik. Kedua, nama-nama baru yang dinilai memiliki kemampuan yang baik serta bersih dari korupsi dan kejahatan HAM tetapi belum juga muncul ke permu kaan.

Jika figur-figur baru tersebut belum mampu tampil sebagai alternatif yang memiliki kredibilitas, pemilih akan dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Pertama, mereka tetap memilih, tapi dari pilihan-pilihan yang buruk.
Kedua, mereka akan memutuskan untuk golput sehingga makin mengurangi legitimasi hasil pemilu.

Belum Ada Capres Kuat

Keraguan publik terlihat dari besarnya pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) ketika ditanya melalui simulasi pertanyaan terbuka (top of mind). Sebanyak 60% pemilih belum memiliki sikap elektoral.

Namun, jika responden ditanya melalui simulasi semiterbuka, yakni ada pilihan nama-nama capres plus jawaban lainnya, undecided voters berkurang menjadi 24,8%. Namun, distribusi pilihan tersebar secara proporsional ke puluhan nama. Megawati dan Prabowo menempati posisi teratas. Tingkat elektabilitas keduanya mencapai 17,6% dan 16,7%, masih di bawah 18%.

Peringkat ketiga diraih Jusuf Kalla dengan 9,6%, lalu disusul Ical 7,9%. Elektabilitas nama-nama lain berada di bawah 4%. Terbukti, hasil survei menunjukkan capres-capres populer memiliki kualitas popularitas yang rendah karena gagal mener jemahkan tingkat popularitas mereka yang tinggi ke dalam preferensi elektoral. Hal itu menjadi in sentif bagi figur-figur baru yang belum populer untuk bekerja lebih intensif meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka.

Pemilih pada umumnya mengharapkan lahirnya figur yang bisa dipercaya, bersih dari korupsi, dan punya integritas yang baik. Menurut survei SMRC, sejauh ini capres populer memiliki masalah berat karena dianggap tidak bisa dipercaya.

Di antara nama-nama lain, Megawati memang relatif paling bisa dipercaya dan memiliki empati, tapi masih jauh dari dominan (hanya sekitar 25%-26%). Meski demikian, Megawati dinilai lemah terutama dari sisi kompetensi dan ketegasan.

Prabowo unggul dalam soal ketegasan, tapi juga tidak dominan. Faktor ketegasan juga bukan variabel utama yang dianggap penting oleh masyarakat. Prabowo dinilai kurang berintegritas dan berempati ketimbang Megawati. Ical lebih parah. Meski paling intensif bersosialisasi dalam setahun terakhir, kualitas personal Ical lemah di hampir semua kategori terutama jika dibandingkan dengan Megawati dan Prabowo. Bahkan rata-rata kualitas personal Ical kalah daripada Jusuf Kalla. Inilah yang menyebabkan elektabilitas Ical di bawah Jusuf Kalla.

Di antara tokoh-tokoh lain, Ical memang dihadapkan pada isu-isu negatif yang tidak sedikit. Elektabilitas Aburizal yang kurang kompetitif salah satunya karena isu lumpur Lapindo. Sebanyak 80% pemilih mengetahui isu tersebut. Dari mereka yang tahu, sebagian besar menilai lumpur Lapindo karena kesalah an manusia atau pengeboran (66%). Mayoritas besar menilai lumpur Lapindo karena kesalahan manusia atau pengeboran (66%). Mayoritas responden juga menilai bahwa Grup Bakrie belum bertanggung jawab dalam mengatasi lumpur Lapindo. Penilaian itu merupakan persepsi. Walau begitu, dalam politik, persepsi memiliki nilai yang kuat.

Mengapa Prabowo lebih berpeluang ketimbang Ical? Padahal secara politik Prabowo juga bermasalah dalam hal integritas dan masa lalunya setelah diberhentikan oleh dewan kehormatan karena dianggap bertanggung jawab atas penculikan aktivis demokrasi menjelang kejatuhan Soeharto. Ternyata sebagian besar masyarakat tidak tahu kejadian itu (72,8%). Bisa jadi ketidaktahuan publik disebabkan peristiwanya relatif sudah lama, bisa juga karena kita memang bangsa pelupa, atau jangan-jangan karena dinilai kurang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas (proximity). Harus diakui, selama satu dekade terakhir ini tidak ada sosialisasi masif terkait dengan rekam jejak masa lalu Prabowo.

Di atas segalanya, publik menilai di antara capres-capres yang sudah muncul belum ada yang bisa diterima secara luas. Masyarakat menunggu munculnya tokoh-tokoh yang memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang baik.

Jika tidak muncul alternatif yang kredibel, masyarakat dipaksa memilih calon-calon presiden yang kualitasnya buruk. Atau, jika enggan memilih dari pilihan yang buruk, mereka akan menambah deretan panjang golput dalam Pilpres 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar