Pilihan
Dilematis Calon Presiden 2014
Burhanuddin
Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah,
Peneliti Lembaga Survei Indonesia
MEDIA INDONESIA, 09 Juli 2012
SURVEI nasional yang baru dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menegaskan agenda
besar kita sebagai bangsa menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Pilpres
bukan hanya ritual demokrasi lima tahunan, melainkan juga momentum bersama agar
kita bisa memilah dan memilih putra/putri terbaik sebagai pucuk pimpinan
nasional.
Ia menjadi etape penting dalam sejarah kita karena presiden
merupakan jabatan paling strategis dalam kelembagaan politik Indonesia. Siapa
pun calon presiden (capres) yang sudah mendeklarasikan diri ataupun diam-diam
berpotensi maju dalam Pilpres 2014 harus siap kita evaluasi dan telanjangi
rekam jejak, kapasitas, dan integritasnya. Upaya mendiskusikan calon-calon
presiden urgen dilakukan karena luasnya wilayah Indonesia dan besarnya proporsi
pemilih yang kurang well-informed
mengenai politik. Jangan sampai pemilih memilih kucing dalam karung lagi.
Masalahnya, untuk mendapatkan capres terbaik tidak hanya
bergantung pada kualitas pilihan rakyat, tapi juga bertumpu pada ketersediaan
calon-calon yang ada. Dengan meminjam istilah pemasaran, aspek demandside
memang penting karena pemilihlah yang menentukan capres. Akan tetapi, harapan
lahirnya presiden yang berkualitas akan terjadi bila supply-side dari partai politik (parpol) juga membaik.
Parpol merupakan sumber rekrutmen dan produsen capres. Terlebih
lagi peluang bagi capres independen sudah ditutup oleh Mahkamah Konstitusi.
Kalaupun rakyat ingin mendapatkan capres terbaik, jika partai-partai mengusung
capres yang buruk, rakyat akan memilih pilihan di antara yang buruk-buruk itu.
Efisiensi Popularitas
Hajatan pilpres masih dua tahun lagi. Namun, sejak setahun
terakhir sudah bermunculan sejumlah nama. Aburizal Bakrie (Ical) sudah
dideklarasikan sebagai capres dari Golkar, Prabowo Subianto sudah ditahbiskan
Gerindra, Wiranto sudah dimunculkan Hanura, dan Hatta Rajasa juga sudah diusung
PAN. Nama Jusuf Kalla sempat disebut-sebut bakal dilirik PPP. Praktis, hanya
Demokrat, PKS, dan PKB yang belum menyebut nama sama sekali.
Di luar nama-nama dari kalangan partai politik tersebut, beredar
nama-nama di luar kalangan partai, yang sebagian berasal dari kalangan menteri,
teknokrat, pejabat negara, pengusaha, eks jenderal, dan lain-lain yang juga
digadanggadang sebagai capres. Sebut saja Dahlan Iskan, Mahfud MD, Sri Mulyani,
Gita Wirjawan, Pramono Edhie, Djoko Suyanto, dan Endriartono Sutarto.
Untuk mengukur potensi elektabilitas para capres, faktor
popularitas penting dilihat. Tingkat elektabilitas namanama baru yang masih
rendah, misalnya, salah satunya dise babkan popularitas mereka yang masih
terlalu rendah. Bagaimana mungkin rakyat mau memilih mereka jika kenal saja
tidak?
Sebaliknya, ada sebagian capres yang sudah sangat populer, tetapi
tingkat popularitasnya tidak berbanding lurus dengan elektabilitas mereka yang
tinggi. Hal itu terjadi karena popularitas mer eka tidak efisien atau kualitas
pengenalan yang buruk sehingga memengaruhi elektabilitas.
Hasil survei SMRC Juni 2012 menunjukkan bahwa dari puluhan nama
bakal capres yang diuji berdasarkan tingkat popularitas di mata rakyat, hanya
delapan nama yang popularitasnya di atas 50%, yakni Megawati Soekarnoputri
(93,7%), Jusuf Kalla (88,9%), Prabowo (78,8%), Wiranto (72,8%), Aburizal Bakrie
(70,1%), Sultan Hamengku Buwono X (58,3%), Anas Urbaningrum (55%), dan Hatta
Rajasa (54,1%).
Popularitas tinggi bisa dimaklumi karena selain sebagai
tokoh-tokoh partai, mereka juga pernah menjabat presiden, wakil presiden, atau
pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.
Popularitas di luar delapan nama itu jauh di bawah 50%. Hal
demikian wajar karena nama-nama lain tidak pernah bekerja secara sistematis dan
terorganisasi untuk menyosialisasikan diri ke te ngah masyarakat . Mereka juga
tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai capres sehingga masyarakat hanya bisa
menduga-duga apakah mereka serius maju atau tidak. Di samping itu, mereka juga
tidak memiliki kendaraan resmi. Padahal, tiket maju dalam pilpres hanya
dimungkinkan melalui parpol.
Dengan demikian, saat ini publik Indonesia dihadapkan pada dua
pilihan sulit. Pertama, pemilih di-fait
accompli oleh pilihan capres dari stok yang itu-itu saja. Capres populer
yang muncul belum diterima publik karena masalah akseptabilitas, integritas,
dan rekam jejak yang kurang baik. Kedua, nama-nama baru yang dinilai memiliki
kemampuan yang baik serta bersih dari korupsi dan kejahatan HAM tetapi belum
juga muncul ke permu kaan.
Jika figur-figur baru tersebut belum mampu tampil sebagai
alternatif yang memiliki kredibilitas, pemilih akan dihadapkan pada dua pilihan
dilematis. Pertama, mereka tetap memilih, tapi dari pilihan-pilihan yang buruk.
Kedua, mereka akan memutuskan untuk golput sehingga makin mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Kedua, mereka akan memutuskan untuk golput sehingga makin mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Belum Ada Capres Kuat
Keraguan publik terlihat dari besarnya pemilih yang belum
menentukan pilihan (undecided voters)
ketika ditanya melalui simulasi pertanyaan terbuka (top of mind). Sebanyak 60% pemilih belum memiliki sikap elektoral.
Namun, jika responden ditanya melalui simulasi semiterbuka, yakni
ada pilihan nama-nama capres plus jawaban lainnya, undecided voters berkurang menjadi 24,8%. Namun, distribusi pilihan
tersebar secara proporsional ke puluhan nama. Megawati dan Prabowo menempati
posisi teratas. Tingkat elektabilitas keduanya mencapai 17,6% dan 16,7%, masih
di bawah 18%.
Peringkat ketiga diraih Jusuf Kalla dengan 9,6%, lalu disusul Ical
7,9%. Elektabilitas nama-nama lain berada di bawah 4%. Terbukti, hasil survei
menunjukkan capres-capres populer memiliki kualitas popularitas yang rendah
karena gagal mener jemahkan tingkat popularitas mereka yang tinggi ke dalam
preferensi elektoral. Hal itu menjadi in sentif bagi figur-figur baru yang
belum populer untuk bekerja lebih intensif meningkatkan popularitas dan
elektabilitas mereka.
Pemilih pada umumnya mengharapkan lahirnya figur yang bisa
dipercaya, bersih dari korupsi, dan punya integritas yang baik. Menurut survei
SMRC, sejauh ini capres populer memiliki masalah berat karena dianggap tidak
bisa dipercaya.
Di antara nama-nama lain, Megawati memang relatif paling bisa
dipercaya dan memiliki empati, tapi masih jauh dari dominan (hanya sekitar
25%-26%). Meski demikian, Megawati dinilai lemah terutama dari sisi kompetensi
dan ketegasan.
Prabowo unggul dalam soal ketegasan, tapi juga tidak dominan.
Faktor ketegasan juga bukan variabel utama yang dianggap penting oleh
masyarakat. Prabowo dinilai kurang berintegritas dan berempati ketimbang
Megawati. Ical lebih parah. Meski paling intensif bersosialisasi dalam setahun
terakhir, kualitas personal Ical lemah di hampir semua kategori terutama jika
dibandingkan dengan Megawati dan Prabowo. Bahkan rata-rata kualitas personal
Ical kalah daripada Jusuf Kalla. Inilah yang menyebabkan elektabilitas Ical di
bawah Jusuf Kalla.
Di antara tokoh-tokoh lain, Ical memang dihadapkan pada isu-isu
negatif yang tidak sedikit. Elektabilitas Aburizal yang kurang kompetitif salah
satunya karena isu lumpur Lapindo. Sebanyak 80% pemilih mengetahui isu
tersebut. Dari mereka yang tahu, sebagian besar menilai lumpur Lapindo karena
kesalah an manusia atau pengeboran (66%). Mayoritas besar menilai lumpur
Lapindo karena kesalahan manusia atau pengeboran (66%). Mayoritas responden
juga menilai bahwa Grup Bakrie belum bertanggung jawab dalam mengatasi lumpur
Lapindo. Penilaian itu merupakan persepsi. Walau begitu, dalam politik,
persepsi memiliki nilai yang kuat.
Mengapa Prabowo lebih berpeluang ketimbang Ical? Padahal secara
politik Prabowo juga bermasalah dalam hal integritas dan masa lalunya setelah
diberhentikan oleh dewan kehormatan karena dianggap bertanggung jawab atas
penculikan aktivis demokrasi menjelang kejatuhan Soeharto. Ternyata sebagian
besar masyarakat tidak tahu kejadian itu (72,8%). Bisa jadi ketidaktahuan
publik disebabkan peristiwanya relatif sudah lama, bisa juga karena kita memang
bangsa pelupa, atau jangan-jangan karena dinilai kurang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat luas (proximity). Harus
diakui, selama satu dekade terakhir ini tidak ada sosialisasi masif terkait
dengan rekam jejak masa lalu Prabowo.
Di atas segalanya, publik menilai di antara capres-capres yang
sudah muncul belum ada yang bisa diterima secara luas. Masyarakat menunggu
munculnya tokoh-tokoh yang memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas
yang baik.
Jika tidak muncul alternatif yang kredibel, masyarakat dipaksa
memilih calon-calon presiden yang kualitasnya buruk. Atau, jika enggan memilih
dari pilihan yang buruk, mereka akan menambah deretan panjang golput dalam
Pilpres 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar