Pertarungan
Koalisi Elite Predatoris
Airlangga
Pribadi ; Pengajar Ilmu Politik FISIP
Universitas Airlangga,
Kandidat PhD Asia Research Centre
Murdoch University
MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2012
KETUA
Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan ratusan
kader partai pada 13 Juni lalu melontarkan sebuah statement yang menegaskan, siapa pun kader yang tak sanggup
menjalankan politik santun, cerdas, dan bersih agar keluar dari partai.
SBY
memperkuat pernyataannya dengan menandaskan agar tak boleh ada satu pun kader
partai yang berniat melakukan tindakan korupsi. Apabila dibaca sekilas,
pernyataan SBY tersebut seakan-akan merupakan sebuah titik berangkat baru bagi
program pemberantasan korupsi yang akan membidik kader Demokrat sendiri.
Statement ini menjadi santer gaungnya,
apalagi dikaitkan dengan isu panas yang saat ini merebak terkait dengan dugaan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tersangkut kasus korupsi proyek
Hambalang.
Benarkah
pernyataan SBY beberapa waktu lalu menjadi penanda bagi pemberantasan korupsi
yang autentik dan terlepas dari pertarungan kepentingan kekuasaan? Sebab yang
dihantam ialah mereka yang berada di internal Demokrat. Sepertinya persoalan
yang muncul tak sesederhana itu.
Berbeda
dengan pandangan umum yang banyak menyeruak setelah bergulirnya pernyataan SBY
tersebut, saya pikir pemberantasan korupsi dalam artian yang sesungguhnya yang
terlepas dari pertarungan di antara koalisi politisi-pengusaha di Indonesia
masih jauh perjalanannya.
Bukankah
sinyalemen SBY tersebut telah memperlihatkan iktikad baiknya untuk melakukan
`bersih-bersih' yang dimulai dari rumah politiknya sendiri. Pandangan yang
membenarkan hal itu melupakan sebuah konstatasi utama dalam arena perpolitikan
di Indonesia bahwa problem korupsi bukanlah problem yang berada di luar
lingkungan kelembagaan politik. Namun bersifat struktural yaitu menubuh dalam
proses adaptasi, penyesuaian, dan modus untuk eksis dan bertahan bagi
kekuatan-kekuatan oligarki politik di era Indonesia pascaotoritarian.
Pemahaman
akan realitas politik Indonesia pascaotoritarian dan problema korupsi di
dalamnya hanya bisa dipahami ketika kita memaknai institusi politik di
Indonesia tidak sebagai sebuah bejana indah yang bebas kepentingan.
Namun
pada partai politik, ruang parlemen dan pada relasi di antara lembaga trias
politica itulah penggelaran pertarungan kekuasaan berlangsung di antara
koalisi-koalisi elite politik untuk menghantam dan memangsa rivalnya.
Itulah mengapa kontestasi politik yang tengah berlangsung di Indonesia disebut
sebagai pertarungan di antara koalisi elite predatoris.
Perluasan Konflik Politik
Demikian
pula sinyalemen Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu juga semestinya tidak
dibaca dalam konteks sebuah implementasi politik yang santun dan bersih, bebas
dari pertarungan di antara kekuatan politik.
Di
balik itu semua, dalam pakem ruang politik di Indonesia, maka pertemuan
silaturahim antara pendiri dan deklarator partai tersebut dapat dibaca sebagai;
pertama, merupakan perluasan konflik politik di dalam faksionalisasi yang
mengkristal di internal partai. Kedua, kegagapan pusat oligarki Demokrat
sekaligus penye penyelenggara utama pemerintahan Indonesia dalam merespons
turunnya legitimasi warga negara terhadap mereka.
Perluasan
konflik politik di internal partai ini terjadi sebagai bentuk dari kere
keresahan pusat oligarki internal Demokrat dalam mengelola dinamika persaingan
di antara para kader politiknya. Naiknya Anas sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat dipandang dalam konstelasi ruang olitik oligarki di Indonesia sebagai
sebuah konsekuensi yang tidak dipertimbangkan dalam proses politik yang tak
terkelola dengan baik. Ada suatu saat ketika panggung politik kekuasaan tidak
terkuasai secara utuh oleh lapis utama kekuasaan di internal partai, dan ketika
momen ini terjadi maka aktor politik yang tampil dari pusaran turbulensi
politik tersebut akan menjadi ancaman bagi penguasaan utuh partai politik oleh
kekuatan oligarki politik.
Pada
konteks bejana politik yang sarat dengan pertarungan koalisi elite politik
inilah pertautan antara isu korupsi berjalin kelindan dengan tarikan-tarikan
kepentingan politik.
Selanjutnya
problem menurunnya dukungan politik dan kepercayaan publik terhadap
pemerintahan SBY maupun Demokrat bukanlah ibarat `duri dalam sepatu mahal
kalangan elite politik'. Problem meluruhnya kepercayaan publik terhadap
pemerintahan dan Demokrat adalah sebuah proses akumulasi yang berjalan
susul-menyusul semenjak terkuaknya skandal Bank Century sampai tidak beresnya
kinerja pemerintahan di berbagai sektor kementerian.
Menurunnya
legitimasi politik tersebut lahir dari kontradiksi antara harapan warga negara
akan hadirnya negara yang memiliki kapasitas untuk mengawal, menjaga, dan
mengelola pembangunan ekonomi beserta politik redistribusi di wilayah
kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian dan seterusnya, kontras
dengan ketidakmampuan pemerintahan untuk memberikannya.
Demikianlah,
saat kapasitas pemerintahan secara kolektif tidak mampu memberikan itu semua,
maka satu hal yang dengan mudah akan dilakukan oleh penguasa yaitu mengorbankan
punggawa yang telah melindunginya dari persoalanpersoalan yang menimpa dirinya
seperti yang terjadi dalam kasus Century.
Tentu
saja melihat lapisan terdalam politik di Indonesia dengan mencandra pertautan
antara pertarungan di antara elite politik dan proses penyesuaian oligarki
politik untuk bertahan dalam dinamika politik di Indonesia, tidaklah membuat
kita mengabaikan pemberantasan kasus korupsi.
Meski
demikian, apabila kita melihat ekspose terhadap pernyataan Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat dengan cermat, kita akan menemukan bahwa bidikan kasus korupsi
yang menimpa kader partai ini faktanya lebih sumir daripada kasus korupsi
lainnya yang lebih besar dan secara jelas telah disepakati dalam ruang politik parlemen
memiliki persoalan besar di dalamnya.
Dalam
kondisi demikian bukan berarti bahwa masa depan demokrasi di Indonesia berada
di titik suram. Namun yang patut kita cermati ialah bahwa jawaban terhadap
persoalan struktural ekonomipolitik yang menjangkiti kehidupan demokrasi di
Indonesia dapat diselesaikan ketika proses pertarungan politik sesungguhnya
telah sampai pada titik kulminasi terjadinya pembelahan politik untuk merespons
persoalan politik yang sesungguhnya, yaitu eksisnya oligarki elite di internal
partai politik. ●
nice posts
BalasHapusorganic raw kale chips