Perang
Budaya Foke dan Jokowi
Agus Dermawan T ; Penulis
Buku-buku Seni Budaya
KOMPAS,
25 Juli 2012
Hasil penghitungan Komisi
Pemilihan Umum DKI Jakarta meneguhkan kebenaran angka-angka versi hitung cepat.
Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama meraih 42,60 persen, mengalahkan
pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang mendapat 34,05 persen.
Bisa diyakini, kekalahan
Fauzi Bowo (Foke) pada ronde pertama pilkada ini bukanlah kekalahan
kepercayaan, yang di dalamnya menyangkut ihwal kapabilitas, integritas, dan
moralitas. Karena hampir semua orang tahu, Foke sesungguhnya adalah orang yang
paling tahu tentang Jakarta dan sebenarnya paling bisa membenahi Jakarta.
Apalagi, Foke adalah ahli
tata kota yang memiliki sertifikasi akademis dari perguruan tinggi ternama
Jerman. Bandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi), wali kota otodidak, yang selama
ini diketahui sebagai orang yang mengenal tentang Solo saja.
Masyarakat juga paham, Foke
telah sukses menunjukkan integritas luar biasa dalam pelaksanaan pembangunan
Jakarta, lewat fakta betapa ia sudah 30 tahun jungkir balik membenahi Ibu Kota.
Bandingkan dengan Jokowi, sarjana ilmu kehutanan yang baru sekitar 7 tahun
masuk ke hiruk-pikuk perkotaan.
Sementara dari aspek moralitas,
Foke juga termasuk gubernur bersih. Ia pun berhasil mengangkat martabat kinerja
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai lembaga yang relatif tidak korup. Suatu
prestasi yang tidak terlalu minder apabila dipertandingkan dengan reputasi
Jokowi, yang dijunjung sebagai salah satu wali kota terbaik di dunia.
Kekalahan Kebudayaan
Dengan begitu, bisa
diyakini, kekalahan Foke pada ronde ini adalah kekalahan kebudayaan. Sementara
dipahami bahwa intisari dari kebudayaan itu adalah perilaku. Dari situ bisa
ditarik garis bahwa kekalahan Foke disebabkan oleh gaya perilakunya, baik
ketika sedang menjabat ataupun saat melakukan kampanye pemilihan umum di
sekujur Jakarta. Dan, semua mafhum, sebuah gaya perilaku (yang terbit dari
sebuah budaya) bukanlah suatu kesalahan, bukan sebuah dosa. Perilaku merupakan
ulah jujur yang dibentuk oleh persepsi seseorang atas komunitas terdekat yang
tak henti digauli.
Kita tahu, Foke dilahirkan
dari keluarga kaya raya di Jakarta. Ia menikah dengan Tatiek, perempuan ningrat
Surakarta, yang selalu menasihati suaminya dengan kata-kata anggun milik
raja-raja: ”madep, karep, mantep”
(menghadap ke arah yang jelas, memiliki tekad yang kuat, dan mempunyai
kepastian dalam menjalankan tugas). Terhadap Jakarta, sang istri pun selalu
mengingatkan dengan kalimat aristokrat: ”rumangsa
melu handarbeni, rumangsa wajib hangrukebi, mulat sarira hanrasa wani”
(merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, dan sebagai pribadi harus selalu
mawas diri). Ketinggian latar belakang itu diusung lebih lanjut oleh pendidikan
dan pergaulan internasionalnya.
Maka, ketika ia memimpin
Jakarta dengan segenap keahliannya, gaya perilaku kebangsawanan, dan
keterpelajaran otomatis ikut terboyong ke mana-mana. Ketika bertutur kata ia
sering menggunakan kalimat bersayap, bermetafora, terasa tinggi sehingga tak
teraba di lapisan bawah yang menjadi penduduk mayoritas Jakarta. Ibarat sebuah teks panjang, ia sering menggunakan
catatan kaki. Celakanya, sikap budaya yang cenderung berat dan elitis ini acap
ditafsirkan sebagai perilaku arogan. Akibatnya, keberpihakan Foke kepada rakyat
kecil jadi tidak terasa.
Budaya Kejelasan
Apabila Foke menganut budaya
berlapis dan tersembunyi (covert culture),
tokoh ndeso Jokowi menggunakan gaya
perilaku dan bahasa yang amat jelas (overt
culture) dalam berbagai kampanye yang dilakukan. Andai pun ada
umpama-umpama, ia memilih khazanah yang paling mudah dicerna. Pilihan ini
diangkat dari tradisi budaya Jawa ketika mempelajari segala sesuatu.
Bisa disimak, untuk
mendefinisikan guru, misalnya, orang Jawa menyulap kata itu sebagai singkatan
dari digugu lan ditiru (dipercaya dan
dipanuti). Untuk mengingat kata piring mereka menjelaskan dengan kalimat sepi yen wis miring (tak ada bunyi
apabila sudah ditaruh di dalam rak). Kata kerikil diartikan sebagai keri ning sikil (geli apabila terinjak
kaki). Singkatan-singkatan aliteratif semacam itu tentu menyenangkan, gampang
diingat dan diucap.
Jokowi bahkan menyetarakan
cara kampanyenya dengan gaya sepak bola Spanyol yang sangat populer di tengah
rakyat, tiki taka, yang mengacu
operan- operan pendek antarteman. Maka, apa yang dilakukan adalah perilaku
sederhana yang digerakkan oleh gaya hidupnya. Sikap ini secara tak sadar jadi
ujung tombak perlawanan dari gaya Foke yang menganut covert culture.
Jokowi juga tampak
menggunakan ilmu krenteg. Dalam
budaya Jawa, krenteg ini merupakan
sebuah bentuk dari dunia rasa-merasa. Atau jagat pikiran yang terbentuk dari
pertemuan mata hati dan kata hati. Namun, meski krenteg lebih dikenal di Jawa, sesungguhnya adalah bagian penting
dari sifat khas bangsa Indonesia. Bangsa ekspresif, atau bangsa yang lebih
mengutamakan perasaan dalam menata dan melakoni hidupnya.
Alias lebih
memelihara emosionalitas daripada rasionalitas.
Hal ini tertegaskan apabila
kita membaca buku Can Asians Think?
susunan Kishore Mahbubani (Times Edition, 2004). Salah satu pasal dalam kitab
yang jadi international bestseller 2005
ini berangkat dari artikel di New York Times yang ditulis Dr Richard Nisbitt,
profesor psikologi Universitas Michigan.
Di sana dikatakan, orang
Asia dalam mengkaji sesuatu cenderung lebih holistik. Semua ditautkan dengan
yang ”tidak kelihatan”, seperti jagat rasa, kepercayaan, dan adat. Dengan
begitu, perhatian orang Asia, termasuk Indonesia, hanya sedikit yang
menggantungkan diri pada logika. Hal ini sangat berbeda dari orang Barat yang
lebih analitis. Jokowi tahu soal ini dan dengan cerdik ia memanfaatkannya.
Sementara itu, ia sadar
benar bahwa sebagai orang baru di Jakarta akan begitu sulit membenahi Jakarta
yang amat kompleks. Namun, ia yakin masyarakat Jakarta percaya: segala sesuatu
yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh pasti akan terunduh hasilnya. Lagi-lagi,
ini adalah hasil dari pemahamannya pada ungkapan Jawa lama: sing ubet, ngliwet (yang arti sebenarnya
adalah: yang ulet bekerja akan menanak nasi). Elaborasi dari ungkapan itu tentu
saja adalah bahwa siapa pun yang tak henti bertindak akan menuai hasilnya.
Untuk melaksanakan itu, ia
pun menaruh dirinya sebagai calon pemimpin yang teguh, luwes dalam pergaulan,
dan berusaha untuk selalu berguna banyak bagi semua orang. Perilaku ini
berangkat dari filosofinya yang lain: lemes
kena kanggo tali, kaku keno kanggo pikulan (yang lemas bisa untuk tali,
yang kaku bisa untuk pikulan).
Akankah dalam ronde kedua
Pilkada DKI nanti pilihan warga masih mengacu kepada pertimbangan-pertimbangan
perilaku budaya? Kita tunggu saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar