Penyalahgunaan
Kebebasan Beragama
Peter
Singer ; Guru Besar
Bioetika pada Princeton University
KORAN TEMPO, 02 Juli 2012
Batas
mana yang pantas dikenakan pada kebebasan beragama? Marianne Thieme, pemimpin
Partai Pembela Hewan di Belanda, menawarkan jawaban ini: “Kebebasan beragama
berakhir pada titik mulainya manusia atau hewan itu mengalami penderitaan.“
Partai
Pembela Hewan, satu-satunya partai pembela hak asasi hewan yang diwakili dalam
parlemen suatu negara, telah mengajukan usul dibuatnya undangundang yang
melarang hewan dipingsankan sebelum disembelih. Usul ini telah menyatukan para
pemimpin Islam dan Yahudi dalam membela apa yang mereka anggap sebagai ancaman
terhadap kebebasan beragama, karena doktrin agama mereka melarang makan daging
hewan yang sedang dalam keadaan tak sadar ketika disembelih.
Parlemen
Belanda telah memberi waktu satu tahun kepada para pemimpin Islam dan Yahudi
itu untuk membuktikan bahwa cara penyembelihan menurut agama mereka itu tidak
menimbulkan penderitaan yang lebih besar daripada cara penyembelihan dengan
memingsankan lebih dulu hewan yang bersangkutan. Jika mereka tidak bisa
membuktikannya, yang akan diberlakukan adalah dengan memingsankan hewan itu
lebih dulu sebelum disembelih.
Sementara
itu, di Amerika Serikat, para uskup Katolik mengatakan Presiden Barack Obama
telah melanggar kebebasan beragama ketika mewajibkan pemberi kerja, termasuk
rumah sakit dan universitas Katolik, mengadakan asuransi kesehatan untuk para
pegawai mereka yang meliputi penyediaan kontrasepsi. Dan di Israel, kaum
ultra-ortodoks, yang mengatakan hukum Yahudi melarang pria menyentuh wanita
yang bukan muhrim, menuntut disediakannya tempat duduk terpisah bagi wanita di
dalam bus dan dibatalkannya rencana pemerintah mengakhiri ketentuan yang
membebaskan siswa sekolah agama dari wajib militer (63 ribu orang pada 2010).
Ketika
orang dilarang menjalankan perintah agamanya--misalnya dengan undang-undang
yang melarang beribadah dengan cara tertentu--jelas bahwa kebebasan beragama
mereka telah dilanggar. Pengajaran terhadap umat beragama biasa terjadi pada abad-abad
yang lalu, dan masih terjadi di beberapa negara saat ini.
Tapi
melarang disembelihnya hewan dalam keadaan sadar tidak akan menghentikan umat
Yahudi atau muslim dalam menjalankan perintah agamanya. Selama berlangsungnya
debat di parlemen mengenai usul yang diajukan Partai Pembela Hewan itu,
Binyomin Jacobs, kepala rabi di Belanda, mengatakan kepada para anggota
parlemen: “Jika kami tidak lagi punya orang di Belanda yang bisa melakukan
penyembelihan hewan dengan ritual dalam keadaan sadar, maka kami tidak lagi
akan makan daging hewan.“ Dan itu, sudah pasti, adalah apa yang harus dilakukan
seseorang bahwa ia patuh kepada agama yang mensyaratkan disembelihnya hewan
dengan cara yang katanya kurang manusiawi daripada dengan cara modern.
Baik
Islam maupun Yahudi tidak menjunjung tinggi keharusan mengkonsumsi daging. Dan
saya tidak menyeru umat Yahudi dan Islam untuk berbuat seperti, yang karena
alasan etika, sudah saya lakukan sendiri selama lebih dari 40 tahun ini.
Membatasi
legitimasi membela kebebasan beragama hanya pada penolakan terhadap usulan yang
menghentikan orang menjalankan perintah agama mereka mungkin bisa menyelesaikan
banyak sengketa lainnya di mana, katanya, kebebasan beragama dipertaruhkan.
Misalnya, mengizinkan pria dan wanita duduk di bagian mana saja di dalam bus
tidak melanggar kebebasan beragama Yahudi ortodoks, karena undangundang Yahudi
tidak memerintahkan orang harus menggunakan angkutan umum.
Angkutan
umum cuma suatu kemudahan yang tanpa sarana itu orang juga bisa hidup—dan
Yahudi ortodoks hampir tidak bisa meyakini bahwa undang-undang yang mereka
patuhi itu dimaksudkan untuk memaksimalkan kenyamanan hidup mereka.
Begitu
juga keharusan yang diterapkan pemerintahan Obama perihal diadakannya asuransi
kesehatan yang mencakup penyediaan kontrasepsi tidak menghalangi umat Katolik
melaksanakan perintah agama mereka. Gereja Katolik tidak mewajibkan para
penganutnya menyelenggarakan rumah sakit dan universitas.
(Pemerintah sudah
membebaskan jemaat gereja dan keuskupan dari kewajiban ini, dan dengan demikian
menarik garis perbedaan antara lembaga yang pokok bagi kebebasan melaksanakan
perintah agama seseorang dan lembaga-lembaga sampingannya).
Sudah
tentu dapat dipahami bila gereja Katolik enggan melepaskan jaringan
rumah
sakit dan universitasnya yang luas itu. Perkiraan saya adalah bahwa, sebelum
berbuat demikian, mereka akhirnya akan memandang ketentuan mengenai asuransi
kesehatan yang meliputi penyediaan kontrasepsi itu sebagai sesuatu yang sesuai
dengan ajaran agama mereka. Tapi, jika gereja Katolik mengambil keputusan yang
bertolak belakang, serta menyerahkan rumah sakit dan universitasnya kepada
badan-badan yang bersedia menyediakan kontrasepsi itu, umat Katolik masih bebas
beribadah dan menjalankan perintah agama mereka.
Persoalan
dibebaskannya seseorang dari wajib militer bisa lebih sulit dipecahkan karena
beberapa agama mengajarkan pasifisme. Masalah itu biasanya dipecahkan dengan
menyediakan wajib alternatif yang tidak kurang beratnya daripada wajib militer
(sehingga agama-agama tersebut tidak menarik minat penganut karena alasan itu
saja), tapi yang tidak melibatkan pertempuran atau pembunuhan.
Tapi
Yudaisme bukan agama pasifisme.
Jadi,
sekali lagi, dalam hal ini tidak ada persoalan riil mengenai kebebasan beragama
yang dipertaruhkan. Yahudi ortodoks meminta dibebaskan dari wajib militer bagi
mereka yang menghabiskan waktu untuk mempelajari Taurat, dengan alasan
mempelajari Taurat itu sama pentingnya dengan wajib militer bagai kemaslahatan
Israel. Memberikan opsi wajib militer yang sifatnya non-tempur tidak akan
menyelesaikan sengketa ini, kecuali opsi itu mengan dung studi mengenai Taurat.
Tapi tidak ada alasan mengapa mayoritas rakyat Israel yang sekuler itu harus
menerima dan berbagi keyakinan bahwa, dengan puluhan ribu siswa ultra-ortodoks
mempelajari Taurat, maka yang memperoleh manfaatnya adalah negara, dan
mempelajari Taurat ini jelas tidak seberat mengikuti wajib militer.
Tidak semua konflik antara agama dan negara
ini dengan mudah dipecahkan. Tapi fakta bahwa ketiga persoalan ini, yang
semuanya sekarang menimbulkan kontroversi di negara-negara bersangkutan, dan
yang sebenarnya bukan mengenai kebebasan menjalankan perintah agama seseorang,
memberi kesan bahwa daya tarik kebebasan beragama itu sudah disalahgunakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar