Menyoal
Polling di Media Massa
M Jamiluddin Ritonga ; Dosen Metodologi
Penelitian Komunikasi
Universitas Esa Unggul
Jakarta
MEDIA INDONESIA, 13 Juli 2012
MEDIA INDONESIA, 13 Juli 2012
MEDIA massa belakangan ini kerap melakukan polling (jajak pendapat) mengenai berbagai persoalan yang berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak.
Hal itu tidak hanya dilakukan media cetak, tetapi juga media elektronik dan daring.
Hal itu tidak hanya dilakukan media cetak, tetapi juga media elektronik dan daring.
Hasil jajak pendapat yang dilaporkan media kiranya menjadi
indikasi adanya dinamisasi pada pers nasional. Media setidaknya telah memberi
ruang untuk perkembangan jurnalisme presisi.
Laporan hasil jajak pendapat yang disajikan dengan jurnalisme
presisi juga memberi indikasi adanya keinginan media untuk menyajikan informasi
secara objektif, lebih akurat, dan lebih mendalam mengenai suatu isu tertentu
yang dianggap penting. Dengan begitu, media ingin membantah anggapan sebagian
pihak yang menilai bahwa pers nasional sudah kebablasan, penebar fitnah,
mencampuri privasi seseorang, dan mengembangkan berita tanpa memperhatikan
konteksnya. Persoalannya kemudian, kenapa jajak pendapat yang dilakukan pers
kerap ditanggapi pro dan kontra?
Pihak yang Pro
Jajak pendapat sebetulnya sudah lazim dilakukan media di negara
penganut sistem politik terbuka (demokrasi). Hal itu dilakukan sebagai salah
satu upaya untuk mewujudkan fungsi kontrol sosial. Fungsi tersebut penting
diwujudkan dengan maksud untuk memantau dan menyalurkan pendapat yang
berkembang di masyarakat mengenai isu tertentu.
Dengan begitu, media telah menyampaikan pendapat umum kepada
pengambil kebijakan mengenai kebijakan yang sudah dan akan diambil.
Di Amerika Serikat, pers yang mampu dan berhasil menyalurkan pendapat umum akan
memperoleh predikat sebagai media demokrasi.
Kehendak untuk mewujudkan fungsi kontrol sosial melalui jajak
pendapat kiranya menjadi indikasi pula adanya upaya media untuk mengedepankan
agenda publik. Penekanan pada agenda publik, menurut teori agenda setting, dimaksudkan untuk menyalurkan pendapat umum agar
dapat memengaruhi agenda kebijakan.
Itu dapat diwujudkan bila media berfungsi sebagai mediasi, bukan
berperan serta. Di sini media sebatas berupaya mewujudkan fungsi perantara,
tanpa ada interes tertentu dari redaksi terhadap isu yang diprioritaskan
melalui pemberitaannya.
Kalau demikian motivasi media, hasil jajak pendapat yang
dilaporkan melalui jurnalisme presisi kiranya sejalan dengan cita-cita reformasi.
Dengan memprioritaskan agenda publik, berarti media telah berupaya memosisikan
rakyat sebagai pemilik negara. Suara rakyat yang beragam diteruskan media
kepada penguasa agar mendapat perhatian sungguhsungguh. Pengambilan kebijakan
kiranya dapat dijadikan indikasi demokratis tidaknya penguasa yang dimaksud.
Dengan dasar berpikir seperti itu, kiranya logis bila sebagian
pihak begitu respek atas maraknya jajak pendapat yang dilakukan media. Media
dinilai peka dalam mengikuti dinamika masyarakat, khususnya yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan yang berkaitan hajat hidup masyarakat. Media
setidaknya dinilai sudah berupaya mewujudkan fungsi kontrol sosial melalui
jajak pendapat dengan melaporkan hasilnya dengan memperhatikan prinsip
jurnalisme presisi. Kiranya itulah acuan bagi pihak yang pro.
Pihak yang Kontra
Bagi pihak yang kontra, hasil jajak pendapat yang dilaporkan media
dinilai tidak mencerminkan pendapat masyarakat keseluruhan. Penilaian itu
memang ada benarnya karena jajak pendapat termasuk metode survei sampel. Artinya,
jajak pendapat memang tidak pernah meneliti semua populasi. Populasinya hanya
dibatasi berdasarkan isu tertentu. Populasi yang tidak relevan dengan isu
tertentu dengan sendirinya tidak dimasukkan ke populasi penelitian.
Berdasarkan populasi yang sudah dibatasi itulah sampel (contoh)
penelitian diambil secara random.
Dari sampel itu, penelitian kemudian dilakukan yang hasilnya diberlakukan atau
digeneralisasikan ke populasi. Dengan begitu, jajak pendapat memang tidak
pernah menjamin 100% dapat memantau pendapat dari semua lapisan masyarakat
mengenai isu tertentu.
Kekurangan metode tersebut-juga dialami metode penelitian
lain--kerap dijadikan acuan bagi pihak-pihak yang kontra untuk menyangkal hasil
jajak pendapat. Penyang kalan dengan dasar kelemahan metodologis itu tidak
hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.
Setidaknya ada dua hal yang kerap dijadikan dasar oleh pihak yang
kontra terhadap hasil jajak pendapat. Pertama, sampel yang diteliti dinilai
tidak mencerminkan populasi dan presisinya rendah. Kritik tersebut kerap
mengemuka karena dalam laporan jajak pendapat, banyak yang tidak mengemukakan
batas dan sifat populasinya. Begitu juga cara pengambilan sampelnya (sampling), termasuk error sample-nya. Tanpa penjelasan yang memadai mengenai hal itu,
memang sulit bagi pembaca untuk mengetahui apakah hasil suatu jajak pendapat
dapat digeneralisasikan.
Kritik demikian semakin mendapat pembenaran karena ada jajak
pendapat yang dilakukan media tanpa menetapkan sampel penelitian terlebih
dahulu. Siapa saja yang menelepon atau mengirim surat atas jawaban pertanyaan
yang diajukan dianggap layak menjadi sampel. Penentuan sampel seperti itu
secara metodologis memang keliru. Sebab, jajak pendapat mensyaratkan sejumlah
sampel secara random ditetapkan terlebih dahulu sebelum penelitian dilakukan.
Kalau sampel ditetapkan sebelum penelitian dilakukan, secara
metodologis hasilnya tidak dapat diberlakukan ke populasi penelitian. Hasilnya
hanya berlaku pada sampel yang diteliti. Cara tersebut memang mengingkari
prinsip pendekatan kuantitatif, ketika peneliti harus menetapkan sejumlah sampel
yang representatif dengan presisi tinggi dan diambil secara random. Hasil penelitian dengan sampel
seperti itulah yang layak atau boleh digenerasikan.
Kedua, instrumen atau alat ukur yang digunakan dinilai tidak valid
dan tidak reliabel. Penilaian tersebut
muncul karena dalam laporan hasil jajak pendapat, kerap tidak disebutkan
validitas dan reliabilitas instrumennya.
Hal itu menjadi justifikasi bagi pihak-pihak yang kontra untuk
meragukan hasil jajak pendapat. Tanpa adanya informasi mengenai hal itu,
pembaca yang kritis tentu akan sulit memercayai hasil suatu jajak pendapat.
Jadi, jika dilihat dari sisi tersebut, memang masuk akal ada pihak-pihak yang
mempertanyakan secara kritis hasil jajak pendapat yang dilaporkan media.
Bila jajak pendapat dilakukan tidak dengan taat asas, keabsahan
hasilnya menjadi layak dipertanyakan. Konsekuensinya, hasil jajak pendapat yang
dilaporkan media menjadi kurang memadai bahkan riskan dijadikan acuan untuk
pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak terkait. Pihak terkait hanya dapat
menjadikan hasil jajak pendapat seperti itu sebagai informasi awal sebelum
kebijakan atau keputusan mengenai suatu hal diambil. Itulah yang kerap
dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang kontra terhadap hasil jajak pendapat.
Meski demikian, penolakan terhadap hasil jajak pendapat kerap pula
dilandasi acuan yang tidak jelas. Alasan yang sering mengemuka karena jajak
pendapat yang dilakukan dinilai tidak ilmiah. Penilaian demikian sayangnya
sering tidak konsisten. Kalau hasil jajak pendapat tidak menguntungkannya,
responsnya negatif. Sebaliknya, bila hasil jajak pendapat menguntungkan
pihaknya, responsnya positif. Kecenderungan demikian sebetulnya berlaku di
mana-mana, termasuk saat pemilihan kandidat presiden di Amerika.
Manfaat Jajak Pendapat
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra terhadap hasil jajak
pendapat, bukan berarti media menjadi surut melakukannya. Banyak hal positif
dari pelaporan polling. Misalnya,
informasi yang mengemuka di media menjadi lebih beragam, tidak paritas.
Pendapat mengenai isu tertentu tidak lagi monopoli para elite, tapi juga
pendapat nonelite. Dengan begitu, kesan bahwa media berwajah elitis dapat
diminimalkan.
Selain itu, beragamnya sumber informasi--karena sampel berasal
dari segmen yang heterogen--menjadikan media lebih aspiratif dalam menyalurkan
pendapat masyarakat. Dengan begitu, pers setidaknya telah menanggalkan
pendekatan top down, sebagaimana yang
terjadi pada pers Orde Baru dan Orde Lama. Dengan memperbanyak polling, apalagi dilaporkan dengan
jurnalisme presisi, berarti media telah menggunakan pendekatan bottom up.
Jika dilihat dari teori agenda
setting, dengan memperbanyak polling
berarti media telah memprioritaskan agenda publik dalam pemberitaannya.
Keberpihakan kepada publik menandakan berkembangnya demokrasi di Tanah Air ke arah yang positif.
Keberpihakan kepada publik menandakan berkembangnya demokrasi di Tanah Air ke arah yang positif.
Pendapat publik dengan segala
ragamnya akan menjadi kekuatan untuk memaksa penguasa tunduk pada kehendak
rakyat. Ini dapat diwujudkan kalau semua media melaksanakan jajak pendapat
dengan taat asas. Dengan begitu, tidak ada lagi alasan bagi yang kontra untuk
menolak hasil jajak pendapat yang dilakukan media. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar