Menggugat
SBY-IMF
Marwan Batubara ; Direktur Eksekutif
Indonesian Resources Studies (IRESS)
REPUBLIKA, 11 Juli 2012
REPUBLIKA, 11 Juli 2012
Bandingkan
tulisan ini dengan tulisan Marwan Batubara di SINDO 11 Juli 2011 :
Pemerintah RI berencana meminjamkan 1 miliar do lar AS kepada IMF
dalam waktu dekat guna menindaklanjuti komitmen Presiden SBY pada pertemuan
G-20, akhir Juni 2012, di Los Cabos, Meksiko. Peminjaman ini merupakan bentuk
solidaritas guna menyelamatkan perekonomian dunia akibat krisis di beberapa
negara Eropa. IMF akan membutuhkan dana sangat besar, sekitar 450 miliar dolar
AS, guna membantu se jumlah negara Eropa yang terkena krisis.
Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional IMF Christine
Lagarde bertemu Presiden SBY di Jakarta, Selasa (10/7). Salah satu agenda
pembicaraan adalah tentang kebutuhan IMF menghimpun dana dari berbagai negara
anggota IMF guna melawan krisis. Cara yang mungkin ditempuh pemerintah adalah
melalui peminjaman bilateral atau melalui pembelian obligasi IMF. Rencana
tersebut harus ditolak karena berbagai hal.
Sesuai penjelasan Kepala BPS (2/7), pada Maret 2012 jumlah
penduduk miskin Indonesia 29,13 juta orang (12 persen dari 240 juta populasi).
Jumlah ini dihitung sesuai standar pendapatan minimal yang sangat rendah, yaitu
sekitar Rp 248.707 per kapita per bulan, atau 0,89 dolar AS per kapita per
hari. Padahal sesuai standar Bank Dunia (BD), yakni 2 dolar AS per kapita per
hari, jumlah penduduk miskin Indonesia masih sekitar 115,52 juta orang (48
persen).
Berdasarkan Eurostat (2011), sesuai standar BD 2 dolar AS per
hari, pada 2011 jumlah penduduk miskin di Eropa hanya sekitar 2 persen dari 731
juta populasi, yaitu sekitar 15 juta orang. Akibat krisis, populasi penduduk
miskin Eropa ini bisa saja naik dua-empat kali lipat menjadi 4-8 persen
populasi. Namun, jumlah absolutnya tetap jauh lebih rendah dibandingkan
penduduk miskin Indonesia yang mencapai 115,52 juta! Mayoritas penduduk
Indonesia telah lama hidup miskin dengan standar sangat rendah sehingga jauh
lebih mendesak dibantu dibandingkan orang-orang Eropa yang biasa hidup mewah.
Kejahatan Kapitalis
Akibat krisis ekonomi 1997, Indonesia telah meminta bantuan IMF
melalui penandatanganan Letter of Intent
(LoI) pada 30 Oktober 1997. Inti kesepakatan itu, antara lain
restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan likuiditas,
serta penaikan suku bunga dan rencana penutupan sejumlah bank nasional. Namun,
pemerintah pun harus menerima persyaratan tambahan. Dengan penandatanganan LoI,
akan di peroleh bantuan sebesar 43 miliar dolar AS yang dikucurkan bertahap
sesuai progres pelaksanaan butir-butir LoI. Kucuran dana tahap pertama sebesar
3 miliar dolar AS dicairkan pada November 1997.
Ternyata, kucuran dana tahap-tahap berikut tidak terlaksana sesuai
jadwal karena alotnya pembahasan pencapaian program LoI. Prasyarat kucuran
sangat banyak dan terus berkembang serta sebagian berupa agenda dan kepentingan
IMF yang justru tidak relevan dengan upaya pemulihan ekonomi. IMF dan BD
berkepentingan menjalankan sistem finansial liberal global di Indonesia.
Setelah lima tahun di bawah kendali IMF, ekonomi Indonesia tak
kunjung pulih. Ternyata, paket bantuan yang di berikan IMF karena memang sarat
kepentingan, justru membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk.
Salah satu sikap IMF yang sangat merugikan adalah pemaksaan
penjualan 50 persen saham BCA seharga Rp 5 triliun, padahal BCA masih memiliki
obligasi rekap sebesar Rp 60 triliun. Sebelumnya, IMF sepakat saham bank-bank
rekap, termasuk BCA, hanya akan dijual jika obligasi rekap telah ditarik. Namun
karena kepentingan busuk, IMF melanggar kesepakatan tersebut. Berbagai
kebijakan dan program IMF (dan BD) yang lain pada dasarnya telah merugikan RI.
Kerugian dimaksud masih terus ditanggung rakyat melalui utang negara yang saat
ini mencapai lebih dari Rp 1.900 triliun.
Dengan prilaku intimidatif dan sarat kepentingan, tak heran jika
banyak tokoh dan kalangan yang justru menuntut IMF. Namun, ada saja pihak/oknum
yang memberi apresiasi karena menjadi bagian, kolaborator, atau jongos asing yang membantu mulusnya agenda IMF.
Frankfurt
Agreement
Bukti lain culasnya sikap IMF terlihat dalam Frankfurt Agreement Juni 1998. Dengan alasan pemulihan kepercayaan
internasional, Pemerintah RI dipaksa segera menyelesaikan tunggakan finansial
kepada bank-bank asing. Dengan pinjaman IMF, BI justru harus mengutamakan
membayar tagihan bank-bank asing. Padahal, sebagian besar utang tersebut dibuat
secara tidak prudent dan sarat KKN
sehingga kredi tor asing seharusnya ikut menanggung risiko.
Frankfurt Agreement adalah salah satu
contoh kasus moral hazard yang
terjadi dalam penanganan krisis. Selain itu, krisisnya sendiri timbul akibat
pene rapan ekonomi liberal dan kerakusan finansial global yang sarat moral hazard pula. Tak heran jika
berbagai pemberian pinjaman dan bantuan (bailout)
oleh negara atau IMF/BD pada dasarnya dilakukan guna mengamankan sistem
kapitalis liberal.
Seperti ‘pola’ Frankfurt, sekitar 80 persen dari 790 miliar dolar
AS bantuan Pemerintah AS saat krisis ekonomi 2008 (kasus subprime mortgage) adalah untuk membayar sektor keuangan dan
perusahaan-perusahaan di Wall Street, bukan untuk subsidi rakyat atau pemulihan
ekonomi domestik. Hal yang sama terjadi di Yunani, dari 23 milar dolar AS
bantuan tahap awal Eropa/ECB (dari total komitmen pinjaman 120 miliar dolar
AS).
Krisis keuangan dunia yang ditandai oleh bangkrutnya sejumlah
bank, lembaga keuangan, dan pemerintah/negara dipicu oleh kerakusan dan
ketidakhatihatian manajemen industri keuangan. IMF bukanlah solusi krisis
keuangan global, melainkan justru bagian dari problem.
Mayoritas rakyat Indonesia hidup sangat miskin dan tidak layak
membantu rakyat di negara-negara yang jauh lebih kaya. Dana ratusan miliar
dolar AS yang sedang digalang IMF saat ini pada prinsipnya akan digunakan untuk
membayar para kapitalis dan mengamankan sistem ekonomi liberal yang bermasalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar