Menakar
Bukti Minimum
Eddy
OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 02 Juli 2012
Adalah M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai
Demokrat, yang pertama kali mengembuskan adanya skandal megakorupsi proyek
Hambalang.
Bahkan tak tanggung-tanggung, Nazar menunjuk
hidung sejumlah petinggi Demokrat terlibat dalam skandal tersebut. Klarifikasi
atas pernyataan Nazar juga sudah dilakukan KPK dengan mengundang lebih dari 70
orang untuk didengarkan keterangannya terkait kasus ini, kendati sampai kini
KPK masih melakukan penyelidikan terhadap proyek Hambalang. Artinya, KPK belum
memastikan ada tindak pidana korupsi dalam megaproyek itu. Abraham Samad dalam
beberapa kesempatan menyatakan, KPK masih mencari bukti minimum untuk
meningkatkan status penyelidikan jadi penyidikan atas proyek ini.
Parameter Pembuktian
Dalam konteks hukum pembuktian, bukti minimum
adalah salah satu parameter pembuktian yang diperlukan untuk mengikat kebebasan
hakim yang jika merujuk KUHAP, minimum yang diperlukan adalah dua alat bukti.
Sementara alat bukti itu sendiri menurut KUHAP terdiri dari (1) keterangan
saksi; (2) surat; (3) keterangan ahli; (4) keterangan terdakwa; dan (5)
petunjuk.
Selalu jadi perdebatan apakah dua alat bukti
dimaksud bersifat kualitatif ataukah kuantitatif. Bersifat kualitatif berarti
harus ada dua alat bukti dari lima alat bukti yang ada: apakah satu keterangan
saksi dan surat, atau satu keterangan saksi dan satu keterangan ahli, atau satu
keterangan ahli dan surat, dan seterusnya. Adapun kuantitatif berarti
keterangan dua orang saksi atau dua surat atau dua keterangan ahli sudah
dihitung sebagai dua alat bukti.
Dalam tataran praktis, dua alat bukti
dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat
bukti yang dimaksud dapat kualitatif ataupun kuantitatif. Pasal 185 Ayat (2)
KUHAP menyatakan, ”Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Ketentuan ini kemudian disusul ketentuan Pasal 185 Ayat (3) KUHAP yang
berbunyi, ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.
Interpretasi gramatikal sistematis terhadap
Pasal 185 Ayat (2) juncto Pasal 185 Ayat (3) KUHAP tak hanya berkaitan dengan
prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), tetapi juga
prinsip bukti minimum untuk menyatakan terdakwa bersalah dalam perkara pidana,
yakni dua alat bukti. Ini dapat ditafsirkan secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 185 Ayat (2).
Jika keterangan seorang saksi saja tak cukup
untuk membuktikan terdakwa bersalah terkait perbuatan yang didakwakan, maka
keterangan lebih dari seorang saksi sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan, selama menimbulkan keyakinan hakim.
Tegasnya, keterangan dua orang saksi dapat memenuhi bukti minimum, yakni dua
alat bukti. Rumusnya: jika keterangan dua orang atau lebih saksi sama persis
dan bersesuaian, maka dihitung sebagai satu alat bukti, sedangkan jika
keterangan dua orang atau lebih saksi berdiri sendiri tetapi bersesuaian, maka
dihitung dua alat bukti.
Kembali ke kasus Hambalang, keterangan Nazar
yang berulang kali menyatakan keterlibatan para petinggi Demokrat adalah confessions evidence (bukti pengakuan).
Agar bukti pengakuan ini memperoleh kekuatan pembuktian yang sempurna, harus
ada corroborating evidence. Secara
teori, corroborating evidence
diartikan sebagai bukti-bukti untuk memperkuat suatu kesaksian termasuk
pengakuan atau sebaliknya kesaksian untuk memperkuat bukti-bukti yang ada.
Kalau bukti pengakuan Nazar dan Mindo Rosalina dihitung sebagai satu alat
bukti, KPK hanya perlu satu keterangan saksi yang berdiri sendiri, tetapi
bersesuaian dengan keterangan keduanya untuk menjadi dua alat bukti.
Saya sangat yakin, dari 70 orang lebih yang
telah dimintai keterangan oleh KPK, pasti ada yang keterangannya, meski berdiri
sendiri, bersesuaian dengan keterangan Nazar dan Mindo. Artinya, untuk
meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan atas kasus Hambalang sudah
melebihi bukti minimum.
Indikasi Keterlibatan
Kendatipun demikian, saya dapat memahami
strategi KPK dalam menangani kasus Hambalang yang ekstra hati-hati karena
adanya indikasi kuat keterlibatan pelaku, paling tidak dari empat kalangan.
Pertama, pihak eksekutif dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kedua,
kalangan legislatif, yakni oknum-oknum di Komisi X termasuk Badan Anggaran DPR.
Ketiga, dari kalangan dunia usaha yang memenangi tender. Keempat, dari kalangan
parpol.
Modus operandi yang digunakan pun tak kalah
canggih dengan model anggaran secara multiyears
yang nilainya ratusan miliar rupiah, tetapi kemudian membengkak menjadi Rp 2,5
triliun, termasuk dengan menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan lainnya.
Karena itu, KPK perlu bukti-bukti valid untuk mengklarifikasi setiap fakta yang
ada. Saya yakin, sembari status penyelidikan dinaikkan menjadi penyidikan, KPK
akan menetapkan tersangka dalam proyek Hambalang.
Sebaiknya untuk menjerat para pelaku, KPK tak
hanya menggunakan UU Tipikor, tetapi juga di-concursus-kan dengan UU Pencucian
Uang (UU No 8 Tahun 2010). Ada beberapa alasan menggunakan UU ini. Pertama,
bukti awal telah diperoleh berdasarkan laporan PPATK bahwa ada 23 transaksi
mencurigakan dalam proyek Hambalang. Kedua, dapat dilakukan pembuktian terbalik
terhadap mereka yang ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga, jika pencucian uang
itu melibatkan suatu korporasi atau badan hukum (baca: parpol) secara
sistematis, korporasi atau badan hukum itu dapat dibubarkan. ●
mantap ni artikelnya... tpi kenapa ya KPK kesannya begitu lambat... Gak sekilat seperti kasus LHI yang baru.. ni... bisa2 gak sampe abis bulan ni dah Bisa P21 tu berkasnya..
BalasHapus