Masih
Ada Rekayasa Pengungkapan Kasus
Upa
Labuhari ; Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 30 Juni 2012
Kata orang bijak, ’’Hanya keledai yang akan
terantuk pada batu yang sama,’’ atau "Hanya orang buta yang terpersok
dalam lubang yang sama.’’ Kata-kata bijak itu tidak berkelebihan jika diberikan
kepada jajaran Polri yang Minggu (1/7) besok berulang tahun ke-66.
Salah satu wujud komitmen dari 10 kebijakan
Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang harus dilaksanakan oleh setiap jajaran
Polri adalah melaksanakan tugas kepolisian yang anti-KKN dan antikekerasan.
Komitmen ini harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan hati.
Namun, di lapangan komitmen itu sering dilanggar.
Dalam sebulan terakhir tercatat sudah lima
kali penyidik Polri membuat kesalahan fatal dalam mendiagnosis perkara pidana
sehingga orang tidak berdosa dijadikan pesakitan selaku tersangka yang kemudian
ditahan. Mereka bukan hanya ditahan tetapi diperiksa dengan menggunakan
tindakan kekerasan.
Dua dari lima kesalahan itu terungkap di
Pengadilan Negeri Batam dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan tiga
sisanya yang lain terungkap karena keberanian masyarakat korban mengadukan
kesalahan penyidik.
Dari kelima kesalahan itu, hanya satu korban
yang menuntut ganti rugi pada Polri karena menderita kesakitan dianiaya di luar
batas kemanusiaan dan ditahan sampai delapan bulan. Adapun empat lainnya tidak
menuntut walaupun menimbulkan bekas luka yang sulit dihilangkan. Keempat korban
menyatakan pasrah dan tidak akan menuntut.
Menjadi pertanyaan, apakah kesalahan demi
kesalahan ini akan terus terjadi dilingkup Polri sehingga suatu kali nanti
lembaga menjadi tempat penyiksaan?
Atau karena kesalahan ini dimaklumi oleh
korban sehingga pemimpin penyidik juga memakluminya sebagai suatu hal yang
biasa terjadi dalam dunia pemeriksaan tersangka. Luar biasa kapolri jika faktor
yang terakhir disebutkan itu sebagai alasan untuk tidak menghukum para penyidik
yang berbuat kesalahan.
Ini karena dalam aturan Kepala Kepolisian RI
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara
Pidana di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia disebut bahwa
penyidik yang salah mendiagnosis perkara pidana sehingga pelakunya dibebaskan
oleh pengadilan harus diperiksa dan diberi hukuman yang setimpal.
Dengan demikian, kesalahan mendiagnosis suatu
perkara pidana tidak berulang-ulang terjadinya dilingkup Polri. Penyidik Polri
harus memiliki kompetensi yang berkemampuan menentukan apakah seseorang layak
dijadikan tersangka atau tidak. Kalau yang disangka tidak terbukti bersalah,
harus dilepas dari tuduhan.
Contoh kasus tidak profesionalisme polisi
terjadi di Polres Metro Jakarta Pusat. Seorang tukang ojek Hasan Basri diputus
bebas murni sebagai pencuri oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penahanan selama delapan bulan yang dialami oleh korban bersama dengan
penganiayaan yang dilakukan oleh penyidik Polres Metro Jakarta Pusat tidak
diterima Hasan Basri.
Ia menuntut jajaran penyidik Polres Metro
Jakarta Pusat karena penahanan dan penyiksaan itu dianggap sebagai suatu
tindakan yang melanggar HAM.
Dia tidak hanya mengambil hikmah atas
peristiwa yang dialaminya, tetapi ia yakin penyidik Polres Metro Jakarta Pusat
tidak memiliki kemampuan mendiagnosis suatu peristiwa kriminal. Untuk itu, ia
menuntut ganti rugi dengan mewajibkan Kapolres Metro Jakarta Pusat meminta maaf
secara terbuka kepada masyarakat.
Berkaca pada kasus-kasus itu hendaknya
menjadi pelajaran berharga bagi jajaran Polri di masa mendatang. Penyidik Polri
harus taat dan patuh pada aturan yang sudah ditetapkan.
Tidak boleh lagi ada tersangka dipaksa untuk
mengaku berbuat kejahatan dan tidak boleh lagi ada penyiksaan dalam
pemeriksaan. Nama baik para terdakwa yang sudah diberi status bebas murni oleh
pengadilan harus secepatnya diberikan sehingga ada kepastian hukum bagi
masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar