Korupsi
dan Lingkaran Partai Politik
Khaerudin ; Wartawan Kompas
KOMPAS,
12 Juli 2012
Saat Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan institusinya tengah menyelidiki
dugaan korupsi pengadaan Al Quran, banyak yang terenyak. Sesuatu yang suci pun
dikorupsi di negeri ini. Belakangan saat KPK menetapkan anggota Badan Anggaran
dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka dalam kasus
ini, efek kejutannya tidak sama lagi.
Korupsi pembahasan pengadaan
Al Quran membuat kita terkejut. Tetapi, begitu mengetahui bahwa pelakunya
diduga adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang tadinya kaget pun
seperti sudah mafhum. Survei Transparency
International Indonesia tahun 2009 menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup
di Indonesia, sementara partai politik berada di urutan ketiga terkorup.
Kondisi ini tak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir.
Sejauh ini, lebih dari 40
anggota DPR yang dihukum karena korupsi. Jika benar-benar terbukti, Zulkarnaen
mungkin akan menambah daftar panjang anggota DPR yang menjadi pesakitan karena
korupsi.
Setahun terakhir kita
seperti disuguhi pertunjukan tentang betapa korupnya anggota DPR di Indonesia.
Dimulai ketika KPK membongkar kasus suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
Ketika itu yang ditangkap memang seperti tidak ada kaitannya dengan anggota DPR
atau partai politik. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam
tertangkap tangan KPK saat menerima suap dari Direktur Marketing PT Duta Graha Indah
dan staf marketing Grup Permai.
Belakangan, melalui
serangkaian penyidikan, KPK menemukan, Grup Permai sebenarnya dikendalikan oleh
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan
dengan terdakwa Nazaruddin, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menyebutnya
sebagai pengendali Grup Permai.
Persidangan Nazaruddin
memberi gambaran jelas ada hubungan nyata antara aktivitas politik anggota DPR
dan korupsi berbagai proyek pemerintah yang anggarannya dibahas di parlemen.
Grup Permai adalah entitas
berbagai kelompok bisnis yang dipakai untuk mendapatkan proyek-proyek
pemerintah lewat cara curang seperti menyuap pemilik proyek. Grup Permai
membawahi beberapa perusahaan. Anak perusahaan itulah yang bertugas mencari
proyek pemerintah untuk dimenangkan tendernya. Setelah menang dan memperoleh
proyek, mereka bisa mengerjakan sendiri atau menyerahkan ke perusahaan lain
yang bersedia membayar fee. Fee itu
kemudian disimpan di brankas milik Grup Permai.
Untuk bisa mendapat proyek,
pegawai Grup Permai seperti Mindo Rosalina Manulang harus dekat dengan anggota
DPR. Dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, tak sulit bagi Nazaruddin
menginstruksikan anak buahnya seperti Mindo untuk berhubungan erat dengan
anggota DPR yang membahas anggaran proyek.
Dalam kasus wisma atlet,
Mindo mengaku bekerja sama dengan anggota Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat,
Angelina Sondakh. Angelina merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Pembahasan seluruh anggaran yang diajukan pemerintah yang melalui Banggar DPR
membuat alat kelengkapan ini jadi tempat pertama korupsi direncanakan.
Kerja sama dengan anggota
Banggar DPR menjadi kunci permainan korup ini. Dakwaan jaksa KPK terhadap Wa
Ode Nurhayati dengan jelas menggambarkannya. Wa Ode adalah mantan anggota
Banggar DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Jaksa mendakwa Wa Ode menerima
suap dari pengusaha Fadh Arafiq melalui Haris Andi Surahman.
Dalam dakwaan jaksa disebut,
Fadh minta tolong Haris agar dicarikan anggota Banggar yang bisa mencairkan
dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) untuk tiga kabupaten, yaitu Aceh
Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah. Imbalannya, Wa Ode minta 6 persen dari
total DPID untuk tiga kabupaten itu.
Dalam kasus korupsi
pembahasan pengadaan Al Quran, sebagai anggota Banggar DPR sekaligus Komisi
VIII, Zulkarnaen ikut mengarahkan perusahaan tertentu agar dimenangkan
tendernya. Untuk perannya ini, Zulkarnaen diduga menerima suap miliaran rupiah.
Zulkarnaen membantah terlibat kasus itu saat diperiksa Badan Kehormatan DPR.
Namun, dia sudah dicopot dari Banggar DPR.
Secara sederhana, peran anggota Banggar DPR terlihat dari
komisi tempatnya berasal. Zulkarnaen ada di Komisi VIII yang mitranya antara
lain Kementerian Agama. Angelina yang tersangkut kasus wisma atlet dan 16 universitas negeri ada di
Komisi X yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, ada juga yang bermain
lintas komisi seperti Nazaruddin. Dia bisa seperti itu karena posisinya di
struktur partai termasuk paling tinggi, yakni bendahara umum. Tampaknya siapa
pun yang dipilih menjadi anggota Banggar DPR oleh fraksinya punya tugas sebagai
penggalang dana (fundraiser) bagi
partai. Rata-rata bendahara partai merupakan anggota Banggar DPR. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar