Korupsi
Alquran, Kementerian (tidak Ber-) Agama
Teuku
Zulkhairig ; Alumnus
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, PNS di Kemenag, Aceh
MEDIA INDONESIA, 07 Juli 2012
KOMISI
Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tiga kasus dugaan korupsi di Kementerian
Agama (Kemenag). Ketiga kasus itu ialah dua proyek pengadaan kitab suci Alquran
tahun anggaran 2011-2012 dan satu kasus dalam proyek pengadaan laboratorium
komputer madrasah sanawiah tahun anggaran 2011 sebagaimana diberitakan berbagai
media massa.
Dari
ketiga kasus itu, kasus korupsi proyek pengadaan Alquran ialah kasus yang
terbilang paling menyita perhatian publik. Berbagai diskusi publik muncul di jejaring
sosial, baik Twitter maupun Facebook. Diskusi muncul bukan karena kasus korupsi
itu sendiri, melainkan karena yang dikorupsi ialah pengadaan Alquran, kitab
suci umat Islam. Media massa pun menjadikan kasus buruk itu sebagai berita yang
`bagus' untuk diberitakan.
Korupsi
pengadaan Alquran dianggap publik sebagai hal yang `kebangetan'. Alquran bagi
umat Islam merupakan sumber ajaran moral dan etika, sementara korupsi ialah
pekerjaan yang berlawanan dengan moral, etika, dan keyakinan agama mana pun.
Bagaimana
mungkin melakukan pekerjaan buruk untuk tujuan baik jika bukan karena tujuannya
memang tidak baik? Di negara ini, para elite kita memang sering kali
mendambakan rakyat kecil melakukan perbuatan-perbuatan baik, sementara mereka
sendiri justru melakukan perbuatan buruk. Meminta rakyat mengamalkan Pancasila,
sementara mereka sendiri pelanggar butir-butir dari Pancasila.
Kementerian (tidak Ber-) Agama?
Kendati
KPK telah menetapkan anggota DPR RI yang merupakan politikus dari Partai
Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka bersama anaknya yang berinisial DP
dari eksternal Kemenag, sepertinya bola panas isu korupsi itu terfokus
menerjang Kemenag.
Tidak
jarang bahkan kaum agnostik teisme menjadikan berbagai kasus kebobrokan moral
yang melibatkan oknumoknum di institusi agama (secara langsung maupun tidak
langsung) sebagai alasan untuk semakin meneguhkan keyakinan mereka bahwa agama
tidak mampu mengajari manusia untuk bermoral.
Di
berbagai media sosial dunia maya, berbagai hujatan justru menerpa Kemenag
secara umum. Kemenag dianggap sebagai institusi negara yang seharusnya terlepas
dari kebobrokan moral. Sebuah harapan yang wajar karena memang Kemenag sebagai
institusi negara dibentuk untuk tujuan mentransformasikan nilai-nilai agama
dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun
juga perlu diingat, Kemenag ialah institusi pemerintah yang tentu saja beberapa
partai dan politikusnya memiliki kepentingan di institusi itu melalui
oknum-oknum tertentu seperti orang internal Kemenag yang terlibat dalam kasus
korupsi pengadaan Alquran.
Begitu
juga, tidak semua pegawai dan birokrasi di Kemenag berbasis ilmu agama meskipun
banyak juga orang berbasis agama yang melakukan korupsi. Ini belum lagi kita
berbicara tentang disfung si lembaga pendidikan di negara kita yang realitasnya
tidak memi liki orientasi untuk pem bentu kan mo ralitas peserta didik secara
maksimal karena terjebak dengan aspek kognitif semata.
Penulis
tidak bermaksud membela Kemenag karena penulis yakin orang-orang yang korup di
internal Kemenag tidak mewakili nilai agama (Islam), tetapi ketika agama
(Islam) sebagai ikonnya Kemenag justru menjadi korban akibat tindakan beberapa
oknum tersebut, inilah suatu kesalahan yang fatal. Bagaimanapun, agama harus
dibedakan dan tidak bisa disangkutpautkan dengan kebobrokan moral para koruptor
meskipun seorang koruptor itu ialah seorang agamawan.
Banyaknya
kerusakan yang terjadi sesungguhnya bukan disebabkan kegagalan agama dalam
membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral
agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.
Agama
hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala
dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat
abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat
sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat
untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, dan membawa
kebahagiaan di dunia dan akhirat (Imam M Mustafa, 2008).
Korupsi vs Alquran
Korupsi
ialah pekerjaan tercela dalam pandangan hukum Islam. Sayyid Sabiq dalam
kitabnya, Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengategorikan jika seseorang mengambil
harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl), itu dikategorikan sebagai
pencurian dan jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, dinamakan
merampok (muharabah). Jika seseorang
mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilas) dan jika mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya,
dinamakan khiyanah. Alquran tidak hanya melarang kita untuk korupsi, tapi juga
memberi tahu kita tentang konsekuensi pekerjaan hina tersebut. Untuk semua
pekerjaan tercela itu, terdapat hukuman yang sangat tegas dalam Islam.
Pekerjaan
yang masuk kategori pencurian diancam dengan hukuman potong tangan (Al-Maidah:
38). Tentang penipuan, Rasulullah bersabda, “Barang siapa menipu maka dia
bukanlah dari golongan umatku.“ (HR Muslim dan yang lainnya). Sementara yang
masuk kategori zhalim, “Barang siapa
yang berlaku zhalim (khianat dalam
masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan
tujuh lapis bumi di lehernya.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pekerjaan
korupsi, selain zhalim, juga masuk
kategori khianat karena koruptor dari kalangan birokrat, pegawai, dan wakil
rakyat itu ialah orang-orang yang mengemban amanah rakyat. Jadi ketika
dipercayai dengan jabatannya itu ia khianat, ia ialah munafik. “Tanda-tanda
orang munafik ada tiga, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia
berjanji dia mengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat.“ (HR Al-Bukhari
dan Muslim).
Alquran
memberi pesan tegas bagi orang-orang munafik itu. `Dan janganlah kamu
sekali-kali menyalatkan jenazah seseorang mati di antara mereka (munafik) dan
janganlah berdoa di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik (At-Taubah: 84)'.
Maka
sekarang, sebagai umat Islam, merupakan kewajiban kita semua untuk menjadikan
Alquran sebagai sumber referensi dalam membendung budaya korupsi, baik dengan
memformulasikannya dalam konstitusi negara maupun dengan cara
memasyarakatkannya dalam ruang masyarakat yang lebih kecil. Jika tidak, agama
akan terus dianggap gagal mengajari manusia untuk bermoral. Wallahu a'lam bi
al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar