Komunikasi
Simbolik untuk Papua Damai
Munafrizal
Manan ; Ketua Badan Pelaksana Pusat Studi
Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia; Anggota Forum
Akademisi untuk Papua Damai
KOMPAS, 03 Juli 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memerintahkan jajaran pemerintah terus berkomunikasi aktif dengan masyarakat Papua
untuk mencari solusi persoalan Papua (Kompas, 27/6/2012).
Perintah ini menjadi tidak bermakna jika
sekadar respons sesaat terhadap gejolak ketidakamanan yang terjadi kembali di
Papua. Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2010, Presiden SBY mengemukakan
perlunya komunikasi konstruktif untuk mencari solusi persoalan Papua. Saat itu,
pilihan Presiden SBY bukan dialog seperti yang diserukan pendukung Papua damai.
Meskipun telah ada pertemuan-pertemuan
informal—terbuka ataupun tertutup—antara Presiden SBY, pemerintah, dan wakil
Papua, kemelut belum juga tuntas. Artinya, komunikasi konstruktif belum
terbukti ampuh sebagai solusi.
Skema komunikasi aktif yang kini dicetuskan
Presiden SBY mungkin akan bernasib sama. Upaya solusi yang ditempuh selama ini
belum menyentuh persoalan fundamental. Persoalannya adalah kedua belah
pihak—Jakarta dan Papua—memiliki persepsi dan keyakinan yang cenderung bertolak
belakang, diperparah dengan sikap saling curiga akut yang meruntuhkan rasa
saling percaya.
Tajuk Rencana Kompas (28/6/2012) sungguh
tepat merefleksikan kompleksitas persoalan di Papua saat ini: ”Pemerintah
cenderung asyik dengan pikiran dan keinginan sendiri, begitu juga sebaliknya
masyarakat Papua”.
Antara Jakarta dan orang asli Papua masih
bergelut di pusaran konflik. Bahkan, menurut Forum Akademisi untuk Papua Damai
(FAPD), konflik itu tidak lagi pada tingkat intensitas rendah, tetapi telah
meningkat menjadi intensitas sedang dan berpotensi menjadi intensitas tinggi
jika tidak ada resolusi cepat dan tepat (FAPD, 9-12 Desember 2011).
Kedaulatan Teritorial
Sulit pula dibantah, ganjalan utama
penyelesaian konflik di Papua adalah tarik-menarik Jakarta dengan Papua
mengenai persoalan kedaulatan teritorial. Di satu sisi, Jakarta berupaya keras
membendung Papua lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi
sebaliknya, Papua senantiasa memelihara suasana batin sebagai korban yang
tercaplok, tereksploitasi, termarjinal, dan teraniaya nasibnya sehingga harus
melawan.
Maka, penyelesaian persoalan di Papua harus mulai
dari kemauan baik kedua belah pihak mengendurkan tarik-menarik tersebut. Jika
tetap berkukuh pada ”harga mati” masing-masing, hampir mustahil akan ada solusi
final. Maka, diperlukan terobosan awal untuk mencairkan ketegangan sebelum
masuk pada fase komunikasi konstruktif, komunikasi aktif, atau dialog.
Dalam konteks itu, kedua belah pihak perlu
melakukan komunikasi simbolik (symbolic communication). Ini adalah istilah yang
muncul dari diskursus tentang interaksionisme simbolik dan semiotika.
Komunikasi simbolik di sini bukan hanya dalam pengertian sempit sebagai bentuk
komunikasi nonverbal, melainkan juga dalam pengertian luas sebagai bentuk
komunikasi untuk mencapai resolusi konflik.
Komunikasi simbolik berangkat dari premis
bahwa solusi final atas persoalan Papua sulit dicapai melalui pendekatan top
down (atas inisiatif/tawaran Jakarta) ataupun pendekatan bottom up (berdasarkan
usulan/tuntutan dari Papua). Upaya mencapai solusi final atas persoalan di
Papua harus dari sejak awal melibatkan kedua belah pihak (both sides) secara
paralel dan simultan. Ini artinya penyelesaian masalah Papua harus berbasis
dialog.
Telah terbukti, tawaran apa pun yang muncul
dari Jakarta selalu ditampik oleh Papua. Pengembalian Otonomi Khusus Papua dan
penolakan terhadap Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat adalah
contoh nyata. Sebaliknya, apa pun yang diusulkan/dituntut oleh Papua cenderung
dicurigai Jakarta sebagai agenda separatisme atau internasionalisasi masalah.
Melalui komunikasi simbolik, setiap pihak
mengekspresikan pesan positif kepada pihak lain guna mengikis sikap saling
curiga dan sekaligus membangun kepercayaan. Untuk itu, Jakarta memulainya
dengan pesan positif segera mengakhiri pendekatan keamanan/militeristik
(sekuritisasi) di Papua.
Pesan Negatif
Ide menambah jumlah pasukan di Papua
merupakan pesan negatif yang justru merumitkan persoalan. Pesan positif ini
bukanlah harga yang terlampau tinggi demi memastikan Papua tetap di pangkuan
Ibu Pertiwi.
Sementara Papua memulainya dengan pesan
positif komitmen keindonesiaan/NKRI sebagaimana telah dilakukan oleh
fungsionaris Gerakan Aceh Merdeka sejak 2005. Mengibarkan bendera Bintang
Kejora sebagai ekspresi resistensi, bukan sebagai ekspresi kultural, adalah
pesan negatif yang justru meruncingkan ketegangan. Pesan positif ini bukan
harga yang sangat mahal demi terwujudnya Papua damai.
Jika pesan positif telah saling diterima,
kecurigaan akan tertepis dan kepercayaan akan terbangun. Jakarta tak mempunyai
lagi justifikasi terus melabeli separatisme terhadap Papua. Papua pun tak
memiliki justifikasi lagi terus menunjuk Jakarta sebagai sumber penderitaan.
Komunikasi simbolik merupakan fondasi memulai
komunikasi konstruktif, komunikasi aktif, atau dialog. Komunikasi simbolik
sebagai barometer menguji keseriusan Jakarta dan Papua mengakhiri nestapa di
Papua secara tuntas dan damai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar