OTONOMI
DAERAH
Kiblat
Elite Daerah, Ya, Perilaku Elte Pusat!
(
Wawancara )
Tri
Ratnawati ; Profesor Riset LIPI, Alumnus Flinders
University of South Australia
KOMPAS, 30 Juni 2012
Otonomi daerah membawa dua sisi mata pisau.
Primordialisme menguat dan elite-elite lokal bermunculan. Di sisi lain, korupsi
menggerogoti daerah sehingga tujuan ideal otonomi daerah seperti perbaikan kesejahteraan
rakyat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan pengembangan demokrasi lokal
tidak mewujud.
Namun, semua bukan semata tanggung jawab para
elite daerah. Justru sebagian besar tanggung jawab dan faktor utama kebobrokan
terus berlangsung terdapat pada pemerintah pusat. Demikian hasil riset Tri
Ratnawati, profesor riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kompas pekan lalu mewawancarai alumnus
Universitas Gadjah Mada dan Flinders University of South Australia itu.
Bagaimana awalnya otonomi daerah
bergulir di Indonesia?
Otonomi daerah lahir karena reformasi, dalam
kondisi darurat. Ketika reformasi, Pak Ryaas (Ryaas Rasyid, Menteri Negara
Otonomi Daerah 1999-2000) menyusun otonomi untuk menyelamatkan Indonesia dari
disintegrasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
diakui beraroma federalisme.
Akan tetapi, itu 13 tahun lalu. Secara umum,
substansi UU No 32/2004 yang berlaku saat ini cukup bagus, tetapi implementasinya
harus diperbaiki. Ketika UU No 22/1999 disahkan, saya memprediksi
primordialisme akan menguat. Itu memang terjadi. Akan tetapi, saya
dulu belum memperkirakan masalah desentralisasi korupsi. Kini yang terjadi,
desentralisasi wewenang dan desentralisasi korupsi.
Soal desentralisasi korupsi, apa
penyebabnya?
Kita tidak bisa menyalahkan orang daerah
begitu saja. Riset saya jelas menunjukkan orang daerah berkiblat ke pusat.
Jangan mengharapkan daerah bagus kalau pusat ribut terus. Artinya, pusat mulai
turun kewibawaannya di daerah sebab semua tahu bahwa elite pusat juga tidak
beres. Saya tidak bilang bobrok. Tetapi, yang paling jelas, korupsi politik dan
korupsi korporasi dibiarkan.
Ada yang menyebut segalanya dipolitisasi.
Tapi, saya bilang ini ekonomisasi politik. Politik mengalami degradasi karena
faktor-faktor ekonomi. Ini sudah menjadi kritik berpuluh tahun, tetapi tidak
ada perbaikan.
Bagaimana penilaian Anda pada revisi UU
Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi tiga—Rancangan UU Pemda, RUU Pilkada,
dan RUU tentang Desa?
Saya tidak tahu apa alasan mendasar pemisahan
aturan itu. Apakah akan lebih baik ketika substansi dan implementasi tidak
dibenahi. Yang jelas, pemisahan aturan ini akan mengakibatkan pemborosan
anggaran.
Untuk tenaga ahlinya, pembahasan di DPR,
apalagi saya tidak melihat revisi ini dilakukan dengan cara akademik dan
didahului kajian yang benar-benar dari lapangan. Jadi, saya mempertanyakan
kualitas akademik revisi ini.
Menurut saya, DPR dan Kementerian Dalam
Negeri terlalu reaktif melihat praktik-praktik di lapangan yang menyimpang.
Tapi, tidak langsung ke daerah dan bertanya. Dalam membuat aturan untuk daerah,
pemerintah pusat seharusnya tidak menjadi penguasa yang sewenang-wenang membuat
aturan.
Pemerintah berdalih UU No 32/2004 tidak ada
instrumen sanksi sehingga tidak bisa mengendalikan daerah. Apakah karena itu
hubungan pusat-daerah tidak jelas, atau otonomi setengah-setengah?
UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 mengatur
banyak hal yang sifatnya normatif dan tanpa sanksi. Ini dimanfaatkan. Orang
daerah sangat kreatif memanfaatkan celah untuk kepentingan mereka sendiri.
Ketegasan membuat sanksi sebenarnya baik. Perlu ada reward
dan punishment.
Namun, jangan sampai sanksi membuat orang daerah malah tidak bisa bergerak. Dan
yang lebih penting, reformasi dulu birokrasi pusat dan perilaku elitenya.
Terkait
RUU Desa, semestinya seperti apa pengaturan desa?
Hasil otonomi daerah yang saya lihat masih
berhenti di ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan. Desa belum disentuh.
Kalau nanti UU Desa disahkan dan kewenangan kepala desa ditambah, justru akan
timbul konflik baru antara kepala desa dan bupati. Otonomi daerah itu sendiri
yang akan rusak.
Jadi, seharusnya revisi UU Pemda mengatur
penambahan kewajiban bupati untuk lebih banyak membangun sampai ke desa-desa.
Revisi UU Pemda seharusnya memberikan dukungan otonomi di tingkat kabupaten.
Namun, akuntabilitas bupati untuk membangun sampai ke level desa tetap harus
dijaga.
Daerah pemekaran baru juga tidak
menyejahterakan rakyat dan tidak menyentuh desa. Bupati biasanya sibuk
mempercantik ibu kota dan beberapa ibu kota kecamatan saja.
Apa ini tidak langgar otonomi desa? Menurut
saya, otonomi desa itu otonomi mengenai budaya dan hak ulayat. Tanah ulayat
seharusnya menjadi wewenang desa, kalau tidak malah dikuasai investor.
Pemekaran sekarang ini seakan hanya
keinginan elite. Apakah kita masih perlu pemekaran?
Pemekaran penting untuk daerah perbatasan
karena wilayah ini sangat penting untuk mendapat perhatian. Tetapi, jangan
karena penting, prosesnya hanya membuang uang. Prioritas tetap harus pada
masyarakat.
Pemekaran akan menimbulkan batas-batas baru.
Ini jangan dianggap remeh sebab tidak hanya terkait sumber daya alam tetapi
juga soal SARA. Pemekaran juga seharusnya tidak membatasi agama atau kesukuan
tertentu. Ini hanya akan menimbulkan konflik dan guncangan-guncangan. Bhinneka
Tunggal Ika nanti hanya jadi jargon.
Ke depan, ke mana seharusnya arah
otonomi daerah kita?
Otonomi daerah dan demokrasi sudah
menggelinding, jangan ditarik lagi. Tetapi, para pemimpin jangan munafik dan
seolah-olah mendukung demokrasi. Mereka yang membuat Indonesia tidak
maju-maju.(nina susilo). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar