Kemenangan
Kebudayaan
Radhar
Panca Dahana ; Budayawan
KOMPAS, 04 Juli 2012
Barangkali tak perlu lagi membuat
perhitungan, baik sebelum maupun sesudah kemenangan sensasional dan spektakuler
Spanyol serta rekor luar biasa yang ditorehkannya.
Baik hitungan di atas kertas, statistik,
mental, maupun kematangan. Di atas itu semua, akhir dari ajang kompetisi sepak
bola terbesar antarbangsa Eropa ini menghasilkan kemenangan keindahan, art of
football, seni sebagai inti dari kebudayaan.
Sebagai sesama negeri Latin dari kawasan
Mediterania, Spanyol dan Italia, sebagaimana negeri-negeri Latin di Amerika
Selatan, memiliki pemain-pemain dengan kemampuan individual tinggi sehingga
mereka tidak berlari dengan bola, tetapi menari bersamanya. Kita
saksikan—terutama—Spanyol seperti menciptakan puisi pada setiap pemain dan
menciptakan prosa dalam roman yang tidak hanya best-seller, tetapi juga
bersejarah dan berkaliber Nobel.
Kembali ke Khitah
Tentu saja, kemenangan kebudayaan ini bukan
hanya bermakna artistik, sebagaimana Latin tidak hanya dipenuhi dengan karya
sastra dan intelektual. Ini adalah kemenangan atas mainstream di dua-tiga
dekade terakhir yang dikuasai kecepatan dan tenaga, speed and power.
Sepak bola didominasi oleh fisik, pola, dan
skema yang sangat sistemik, bahkan mekanik. Sebuah arus yang diperlihatkan
dengan cara luar biasa oleh beberapa negara Eropa Utara, seperti Jerman,
Belanda, Kroasia, dan Denmark.
Bisa jadi, inilah kemenangan peradaban
Selatan, yang umumnya ditandai dengan konservativisme, tradisionalisme,
kekeluargaan, juga kemaritiman. Sebut misalnya China, Jepang, dan Amerika.
Peradaban yang dalam banyak gradasi berbeda dengan Utara yang relatif lebih
rasional-mekanis, progresif, teknologis, dan individualistis.
Dengan latar kultural semacam itu, sepak bola
dunia seperti kembali ke khitah sebagai seni menggocek dan menyerang. Karena
itulah, orang-orang Selatan yang rata-rata lebih pendek ketimbang Utara dapat
memamerkan kapasitas secara optimal. Tim Spanyol mungkin dapat dianggap tim
”terpendek” di Eropa, termasuk salah satu pahlawannya, bek sayap Jordi Alba.
Ini sangat disadari oleh Xavi Hernandez, sang
jenderal dan maestro passing terbaik dunia (165 cm), yang merasa sangat
beruntung dengan perubahan arus utama. Hal yang diamini oleh Andres Iniesta,
Cesc Fabregas, David Silva, dan tentu Alba, yang memiliki tinggi rata-rata
sama. Ini pula yang mencuatkan Lionel Messi sebagai keajaiban baru dalam sepak
bola modern.
Filosofi Del Bosque
Semua tentu saja tak lepas dari peran luar
biasa salah satu pelatih timnas tersukses dan terbaik dunia, Vicente del
Bosque. Pelatih kalem, rendah hati, analis tajam, dan dijunjung tinggi ini
adalah pelatih Pep Guardiola, pelatih klub paling fenomenal.
Para pengamat dan penggila bola sempat
meragukan dirinya ketika ia memainkan pola yang belum pernah digunakan tim mana
pun sepanjang sejarah sepak bola, 4-6-0. Ia menumpuk enam pemain tengah dan
menafikan kehadiran pencetak gol betapapun ia memiliki stok berkaliber dunia,
seperti Fernando Torres, Llorente, Negredo, dan Almeida.
Dalam penglihatan saya, Del Bosque bukan
hanya bereksperimen. Ia memang menawarkan konsep dan filosofi baru dalam
persepakbolaan dunia. Tumpukan gelandang di tengah tidak hanya menghilangkan
perebutan peran, tetapi juga justru menjadi inti dari konsep tiki-taka yang
akan segera ditiru di seluruh dunia setelah total football atau catenaccio, misalnya.
Inti itu datang dari potensi pemain tengah
Spanyol yang seluruhnya berkapasitas sebagai target-man atau pencetak gol. Maka, pola baru Del Bosque ini
memberi Spanyol bukan hanya enam pemain tengah paling luar biasa, melainkan
juga enam striker dahsyat. Dari delapan gol yang diciptakan Spanyol hingga final,
semua dilesakkan oleh lima pemain tengah dengan rata-rata 1,6. Hanya sebuah gol
yang dihasilkan oleh striker (Torres). Bandingkan dengan Italia yang juga
dipuji barisan tengahnya, hanya tiga gelandang mencetak gol, berarti rata-rata
1.
Bahkan, di final, pemain belakang, bek kiri
suksesor Carlos Puyol, Jordi Alba, pun mampu menciptakan gol dengan kapabilitas
dan ketenangan seorang striker, persis dengan apa yang ditunjukkan Torres. Kita
pun melihat, bagaimana para pemain belakang lain, Pique, Ramos dan Arbeloa,
begitu kerap berada di daerah pertahanan musuh, bahkan di kotak 16.
Saya mengira, eksperimen—jika itu ada—yang
sedang dilakukan oleh Del Bosque adalah bagaimana menciptakan tim 10 pemain
dengan semua kapasitas: bertahan, gelandang, dan penyerang. Saya menyebutnya
sebagai ”pemain segala” (total player). Anda saksikan, bahkan ketika bola
digenggam Gianluigi Buffon, 6-7 pemain Spanyol berjaga di sekitar kotak 16.
Sebuah pola yang sungguh tinggi tingkat keberaniannya. Apa yang terjadi
pada lawan dengan pola itu?
Ruang sebagai Peluang
Lawan pun menjadi grogi. Sekaligus merasa
rendah diri. Mereka harus memompa semangat dua kali lebih dahsyat dari normal.
Maknanya: tensi. Lawan sudah tegang sebelum peluit awal di
bunyikan. Itu sebagian dari taktik psikologis Del Bosque yang genial. Ini terlihat pada awal final
kemarin malam. Semua pemain Italia, dibantu kru, paduan suara, dan penonton,
menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh penghayatan, seperti mengempos daya
lebih mental mereka.
Sebaliknya, tidak satu pun pemain, pelatih,
bahkan kru tim Spanyol yang ikut bernyanyi saat lagu kebangsaan mereka
dinyanyikan. Mereka tidak membutuhkan emposan itu karena kekuatan batin
(mental) mereka sudah lebih dari cukup. Sikap dan raut muka mereka menunjukkan
kematangan luar biasa. Saya kira kemenangan Spanyol sudah terjadi di detik ini.
Sebelum mental kalah muncul seusai gol kedua, terutama setelah keluarnya Thiago
Motta.
Sejak Luis Aragones memimpin tim Spanyol
merebut Piala Eropa 2008, filosofi sepak bola Spanyol mengentak dunia. ”Bermain
bola” adalah ”memainkan peluang” dan peluang itu berarti ”ruang”. ”Peluang” itu
bukanlah sesuatu yang datang atau tercipta, melainkan diciptakan dengan
kejelian, kecepatan berpikir, dan keputusan.
Itu diungkap (lagi) oleh satu di
antara dua pemain terbaik dunia (setelah Messi), Xavi. ”Ruang. Di
mana ruang, bola harus segera dialirkan ke arahnya”. Inilah dasar filosofi dan
inilah representasi dari kebudayaan itu.
Bisa jadi sepak bola adalah ruang yang
memberi siapa pun peluang merebut hati publik, bahkan dengan cara
menggelikan dan memalukan. Sepak bola adalah magi dari keindahan
kebudayaan, seni imajinatif di mana kita bisa sembunyi atau lari
dari realitas faktual (Spanyol dan Italia adalah penderita utama resesi ekonomi
Eropa saat ini).
Apakah ruang atau kesempatan itu pula yang
dilihat oleh para politisi kita, pengusaha, baik yang senior maupun dadakan?
Mereka seharusnya bisa melihat ruang untuk membawa bangsanya menuju
kesejahteraan. Bukan diri sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar