Kebebasan
Akademik Akan Mati?
Yura Pratama Yudhistira ; Anggota Komite
Nasional Pendidikan
KOMPAS,
13 Juli 2012
RUU Pendidikan Tinggi terus
menuai kontroversi. Salah satu isu paling kontroversial dalam pembahasan RUU
ini terkait otonomi perguruan tinggi.
Ada dua butir otonomi yang
perlu dicermati: akademik dan non-akademik. Sebagian pihak percaya, otonomi
non-akademik akan sangat berpengaruh pada otonomi akademik.
Artinya, jika peran negara
dikurangi dalam pengelolaan kampus, otonomi akademik akan menjadi baik. Hal ini
tidak dapat dilepaskan dari fakta banyaknya pasal yang menyebutkan pengaturan
lebih lanjut diatur oleh peraturan menteri akan melanggar kebebasan akademik.
Benarkah demikian? Benarkah
kebebasan akademik akan mati dalam universitas yang pengelolaannya ”tidak
otonom”?
Sudah Diatur
Dalam melihat suatu
kebijakan tentu kita tidak bisa melihat satu produk UU saja. Dengan demikian, kajian atas kebebasan akademik tidak dapat
dilakukan hanya dengan membaca RUU Pendidikan Tinggi ini. Pengaturan dan
perlindungan kebebasan akademik juga diatur dalam dua UU bidang pendidikan.
Pertama, pengaturan itu
tentunya pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam Pasal 24 Ayat (1) disebutkan: dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi (PT) berlaku kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
Pasal ini hanya menyebutkan
kebebasan akademik berlaku di setiap PT yang ada di Indonesia, baik PT swasta,
PT berbadan hukum (PT dengan otonomi non-akademik), maupun PTN (yang katanya
tidak otonom dalam pengelolaannya). Bisa disimpulkan, kebebasan akademik
berlaku di mana pun dan apa pun bentuk PT-nya.
Kedua, kita juga harus
melihat pengaturan kebebasan akademik dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen. UU ini penting karena sebagian dosen dan profesor khawatir bila
universitas tak otonom, kebebasan akademik akan mati.
Dalam Pasal 51 Ayat (1) dinyatakan
bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: (a) memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
(b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja; (c)
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual; (d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses
sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat; (e) memiliki kebebasan akademik, mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan; (f) memiliki kebebasan dalam memberikan
penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan (g) memiliki kebebasan
untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.
Dari pasal ini, terutama
huruf e, bisa dikatakan bahwa dosen dan profesor tetap berhak memiliki
kebebasan akademik. Pasal 1 angka 2 tidak membedakan pengertian dosen di
universitas yang memiliki otonomi pengelolaan ataupun dosen dari universitas
yang ”tidak otonom dalam pengelolaannya” sehingga kebebasan akademik dapat
dirasakan oleh semua dosen
Kemudian, dalam Pasal 75 UU
Guru dan Dosen, kebebasan akademik ini dipertegas. Ayat 2 dan 4 menyatakan,
seorang dosen berhak atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap
pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pembatasan
kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
Bahkan dalam Ayat (6)
ditegaskan: dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk
menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan
perundang-undangan. Lebih jauh lagi, Pasal 79 UU Guru dan Dosen secara tegas
menyatakan, PT yang melanggar hak dosen, termasuk hak atas kebebasan akademik,
diancam dengan sanksi administrasi.
Kesimpulan
Pengaturan kebebasan
akademik di kebijakan pendidikan Indonesia tidak sebatas pada apa yang diatur
oleh RUU Pendidikan Tinggi. Kebebasan akademik juga tidak bergantung pada
bentuk kampus itu seperti apa. Semua PT wajib menjunjung tinggi kebebasan
akademik, sebagaimana sudah diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas.
Kunci kebebasan akademik ada
pada setiap insan akademis di dalam universitas, bukan bentuk universitasnya.
Kebebasan akademik bagi insan akademis di PT telah cukup dilindungi dalam UU
Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen.
Lantas, bila tidak
memengaruhi kebebasan akademik di Indonesia, mengapa para pembuat kebijakan
tetap memaksa untuk mengesahkan RUU Pendidikan Tinggi ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar