Kamera
dan Sepak Bola, Kesaksian Bersama
Halim
HD ; Networker Kebudayaan, Solo
KORAN TEMPO, 08 Juli 2012
Kebenaran dari apa yang pernah dinyatakan
pada beberapa dekade yang lalu oleh filsuf Piere Teilhard de Chardin, penemu Homo
pekinensis, dalam salah satu bukunya tentang fenomena manusia, adalah
ketika dia mengungkapkan bahwa, dengan dan melalui teknologi, manusia di jagat
ini dijadikan "umat". Manusia tak lagi hanya sendiri-sendiri di dalam
menghadapi masalah, dan sekaligus merasakan berbagai persoalan yang
dihadapinya.
Peperangan, penderitaan akibat gempa, konflik
sosial, luapan suka-duka kemenangan sebuah tim olahraga atau seorang atlet yang
mencapai finis, juga berita suka-duka seseorang kepada lainnya--semuanya
dihantarkan oleh sarana teknologi yang kian canggih yang menjadi basis
perkembangan sistem transportasi dan media massa, cetak dan elektronik, serta
berbagai bentuk sarana komunikasi yang bersifat personal, yang dalam beberapa
detik mengirim semua peristiwa ke berbagai penjuru jagat.
Singkat kata, secara dramatis bisa
digambarkan bahwa, dari detik ke detik, melalui sistem teknologi komunikasi
yang memasuki ruang-ruang personal dan sosial menciptakan getaran kelenjar
saraf yang paling halus yang ada di dalam diri kita dalam berbagai ekspresi,
dari ketegangan, kemarahan, haru-biru, suka-duka, sampai luapan kebahagiaan,
seketika kita rasakan, dan hal itu dihantarkan oleh sistem komunikasi. Dunia
begitu kecil, seolah-olah sebuah desa, demikian seperti diungkapkan filsuf
komunikasi, Marshall Mc Luhan, yang menyatakan bahwa ruang geografis diisi oleh
mereka yang saling tahu dan mengenal yang dihubungkan oleh sistem teknologi
komunikasi.
Dan kini kita kembali digetarkan oleh
kebenaran itu melalui kamera TV yang menyalurkan pertandingan sepak bola. Tak
ada suatu titik pandang pun yang tak ter/di-rekam dan tersalurkan ke hadapan
publik: kedipan mata Cristiano Ronaldo pada World Cup yang lalu, dan ekspresi
pura-pura jatuh pada final Piala Raja antara Real Madrid dan Barcelona, di
samping rekaman kelincahan kaki pemain termahal ini, kita menyaksikannya
melalui kamera, seakan-akan kita berada di depan pertandingan, ikut
menyaksikannya secara langsung. Sama seperti kita melihat bagaimana "kaki
terbang" Roy Keane, pemain kawakan Manchester United, yang bagaikan kijang
berloncatan di padang rerumputan.
Betapa memukaunya tiki-taka Messi,
Iniesta, dan Xavi yang lincah dan akurat menerobos barisan lawan dalam setiap
laga. Tentu setiap pertandingan selalu ada protes, lewat kamera kita
menyaksikan debat dan keteguhan wasit mempertahankan keputusan, memberikan
hukuman di antara argumen pemain, serta bagaimana wajah pemain terhukum dengan
ekspresi kemarahan atau kekecewaan yang mendalam.
Dengan rasa humor yang tinggi, kamerawan
membidik sasaran penonton yang berpakaian unik, ekspresi yang lucu, wajah penuh
ketegangan, berdoa, dan segala tingkah polah, di antara gemuruh ledakan energi
penuh harapan, atau sebaliknya, kekecewaan. Dan tentu saja, wajah-wajah cantik
dan molek pun menjadi sasaran kamerawan yang jeli memilih, dan dapat menghibur
kita. Di samping dorongan semangat pendukung tim dalam paduan suara yang
menggetarkan hati.
Semuanya itu tak mungkin kita alami pada
setengah abad yang lampau, kecuali siaran auditif melalui radio-transistor, dan
itu pun masih sangat terbatas.
Perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi yang didukung oleh sistem satelit dengan dukungan komputerisasi
berkembang pesat dalam dua-tiga dekade terakhir ini, khususnya menjelang
pergantian abad, seperti yang telah diramalkan oleh Theodore Rozack beberapa
dekade yang lalu tentang masyarakat elektronik (technotronic society),
yang akan memasuki masyarakat serba komputer (computerized society). Dan
hal itu kuat kaitannya dengan politik ekonomi global, khususnya di wilayah
negeri-negeri industri dengan penyebaran kapital ke dalam dunia olahraga
khususnya sepak bola, dan mengukuhkannya dalam pengembangan klub-klub
profesional.
Dalam konteks itulah kita menyaksikan
kompetisi bukan hanya sistem dan manajemen yang mengatur taktik-strategi, tapi
juga persaingan antar-klub untuk saling "membajak" para pemain dengan
iming-iming gaji dan kontrak yang nilainya membuat kita tercengang karena
jumlah angka yang sulit kita bayangkan. Kritik yang terjadi di sini, politik
ekonomi dan industri olahraga, ikut menggeser ikatan sosial dan digantikan oleh
kekuatan kapital: yang paling kuat memiliki modal bisa membeli pemain siapa
saja dan mengontrak pelatih yang paling top. Namun kita juga menyaksikan
bagaimana akademi-akademi bola seperti yang dimiliki oleh Barcelona dan Ajax
dengan jitu memanfaatkan perkembangan politik ekonomi dan industri sepak bola
untuk mengembangkan lembaga pendidikannya menjadi lebih canggih, dan hal itu
menjadi bisnis yang ikut mendukung klub.
Kita menyaksikan pergeseran ideologis yang
sangat menarik. Dahulu, sepak bola diikat oleh "nasionalisme" dan
"komunitas sosial" suatu wilayah atau kota. Kini, dengan makin
berkembangnya klub dan masuknya kapital, sebuah klub belum tentu dimiliki oleh
warga setempat. Misalnya saja Chelsea, yang dimiliki oleh pengusaha Rusia,
Manchester United dikuasai pengusaha Amerika, serta Manchester City dimodali
pengusaha Abu Dhabi. Inilah konsekuensi logis dari politik ekonomi global yang
secara ideologis disebut global capitalism.
Dalam konteks global capitalism itulah
terbentuk global sportism yang menciptakan sejenis
"partisipasi" publik. Jenis "partisipasi" ini bukan hanya
sekadar "tukang keplok-sorak" belaka. Dari perspektif politik
ekonomi, jenis "partisipasi" ini ikut pula di dalam menguatkan posisi
klub dan kehidupan dunia sepak bola melalui perdagangan tiket, cendera mata dan
berbagai bentuk merchandise dan tentu saja pemasukan dari siaran
televisi. Dan ujung tombak pencitraan ini dipegang oleh kekuatan teknologi
komunikasi-informasi, televisi. Di sinilah kamera menjadi begitu penting:
menjadi kepanjangan penglihatan publik yang bisa ikut menjadi
"wasit": bisa menilai pemain terburuk sampai dengan terbaik, secara
teknikal maupun moral, kesaksian bersama, solidaritas sejagat yang mengikat
manusia menjadi "umat" melalui sepak bola dan kamera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar