Diaspora
Indonesia
Dino
Patti Djalal ; Dubes
Indonesia untuk AS
KOMPAS, 02 Juli 2012
Dalam berbagai proyeksi masa depan Indonesia
pada abad XXI, ada satu faktor yang sering luput dalam kalkulasi bangsa:
diaspora Indonesia.
Diaspora di sini merujuk pada semua orang di luar negeri yang berdarah,
berjiwa, dan berbudaya Indonesia yang masih WNI ataupun yang sudah WNA.
Selama ini belum ada pendekatan dan perhatian sistematis dari Indonesia
terhadap kelompok ini.
Berapa jumlah diaspora Indonesia? Tak ada
yang tahu persis. Yang pasti, jumlah diaspora Indonesia jauh lebih banyak dari
yang diperkirakan dan jauh lebih besar dari jumlah WNI di luar negeri, yang
tahun 2010 tercatat sekitar 3 juta orang.
Di Madagaskar tercatat hanya 57 pemegang
paspor Indonesia. Namun, 60 persen penduduknya keturunan Indonesia. Di Afrika
Selatan, tercatat 334 WNI, tetapi diketahui ada 1,2 juta keturunan Indonesia,
bahkan ada kota bernama Makassar. Di Kaledonia Baru, tercatat 334 WNI, tetapi
keturunan Indonesia berjumlah sekitar 7.000. Di Belanda, meski WNI hanya
15.000, konon ada 1 juta warga berdarah Indonesia. Di Malaysia tercatat 1,5
juta WNI.
Yang menarik, diaspora Indonesia entah WNI
entah WNA punya brain power yang luar biasa. Selama di AS, saya tak kunjung
habis bertemu dengan inovator, pelopor, pengusaha, pendidik dari diaspora
Indonesia. Oleh karena itu, diaspora Indonesia lebih dari sekadar perantau,
tetapi suatu komunitas besar yang padat ilmu, ide, modal, dan jaringan. Saya
percaya, secara hitungan kasar, jumlah diaspora Indonesia paling tidak dua kali
jumlah penduduk Singapura dengan pendapatan per kapita 10 kali lipat per kapita
di Indonesia.
Diaspora juga punya idealisme yang tinggi.
Mungkin lebih tinggi di Indonesia yang sedang dilanda sinisme. Di mana-mana
saya bertemu dengan diaspora WNI yang ingin kembali berkarya di Tanah Air dan
diaspora WNA yang ingin berbuat sesuatu bagi Indonesia.
Sehat Sutarja, industrialis teknologi
informasi, di Lembah Silikon asal Indonesia, menyatakan, ”I have now reached a point in my life where I have begun to think more
about my past and my heritage”, dan sekarang merencanakan membuat cabang
Marvell di Indonesia yang akan merekrut inovator-inovator Indonesia.
Masalahnya, diaspora Indonesia di sejumlah
kota dan negara punya ciri mencolok: tercerai-berai dan tak saling kenal.
Diaspora Indonesia ibarat ribuan titik tak terhubungkan. Sering kali hubungan
mereka dengan Tanah Air minim. Itu membuat diaspora menjadi komunitas yang
penuh potensi, tetapi lemah koneksi.
Kebijakan Nasional
Sudah waktunya pendekatan diaspora jadi
kebijakan nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, konsep
diaspora adalah strategi baru Indonesia. Dalam upaya Indonesia jadi kekuatan
dunia, lingkaran pertama yang otomatis perlu dibina adalah komunitas diaspora
yang alami berkaitan batin dan tali sejarah dengan Indonesia.
Pendekatan diaspora tak legalistis kaku
(hanya WNI), tetapi kultural lembut dan lentur. Dalam pendekatan ini, semua
orang Indonesia di luar negeri, selama masih cinta Indonesia, dianggap sebagai
saudara kita, sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia dan, lebih
penting lagi, sebagai aset.
Di era global diaspora berkapasitas besar
sebagai pelopor kesejahteraan. Pada dasawarsa 1980-an Tiongkok berhasil memanfaatkan
jasa jutaan diaspora China yang tersebar di Asia untuk jadi jembatan modal yang
kemudian mengakibatkan pertumbuhan ekonomi spektakuler. India dewasa ini aktif
membina hubungan kemitraan dengan 24 juta diaspora India di seluruh dunia.
Jumlah diaspora Azerbaijan melebihi populasi Azerbaijan sendiri, diaspora
Filipina saban tahun mengirim uang ke keluarganya yang jumlahnya 10 persen dari
PDB Filipina.
Contoh terbaik tentu Yahudi. Konon hanya ada
14 juta orang Yahudi di seluruh dunia, termasuk di Israel, tetapi karena
koneksitas diaspora Yahudi sangat tinggi, mereka menjadi kelompok ekonomi
paling kuat di dunia. Tahun lalu Bank Dunia mencatat jumlah pengiriman uang
dari diaspora berbagai bangsa di seluruh dunia ke kampung halaman mereka: 483
miliar dollar AS.
Lebih dari sekadar keuntungan ekonomi,
pendekatan diaspora ini juga bermanfaat untuk re- profiling citra insan Indonesia di luar negeri. Selama ini
kesan yang ditimbulkan warga di luar negeri adalah mereka penuh dengan masalah
dan insiden, bahkan kadang tersandung rendah diri. Nyatanya, diaspora Indonesia
penuh dengan profil-profil sukses, sigap bersaing di dunia internasional dan
jadi teladan di komunitasnya. Kesuksesan mereka sebenarnya adalah kesuksesan
Indonesia juga. Kebijakan diaspora, karena itu, merupakan bagian dari
nasionalisme Indonesia yang sehat dan terbuka.
Diaspora Indonesia sebenarnya sudah cukup
lama memainkan peran sejarah. Pada awal abad XX diaspora Indonesia lulusan
Belanda membantu menyulut gerakan nasionalisme yang kemudian melahirkan
Indonesia modern. Tahun 1970-an diaspora Indonesia yang disebut sebagai ”Mafia Berkeley” tampil menjadi arsitek
pembangunan ekonomi yang membuat Indonesia, terlepas dari masalah KKN,
mengalami salah satu pertumbuhan tertinggi di Asia dan mencetak pemberantasan
kaum miskin yang signifikan. Diaspora Indonesia dari Jerman, BJ Habibie, jadi
presiden ketiga Indonesia.
Inilah latar penyelenggaraan Kongres Diaspora
Indonesia di Los Angeles, 6-8 Juli 2012. Kongres ini berpotensi jadi pertemuan
historis karena untuk pertama kali ribuan diaspora Indonesia berkumpul atas
motivasi yang sama: menjalin koneksitas atas dasar kecintaan pada Indonesia.
Mudah-mudahan di LA nanti timbul suatu
identitas dan kebanggaan kolektif sebagai diaspora Indonesia. Mudah-mudahan
diaspora Indonesia bukan hanya jadi seribu suara yang lantang, tetapi suatu
kekuatan besar bagi Indonesia: kekuatan kreatif, kekuatan ekonomi, kekuatan
intelektual, dan kekuatan moral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar