Belajar
dari The Dark Knight Rises
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2012
TAK
ada yang dapat menyangka, Bioskop Aurora Century 16 di Denver, Colorado, AS,
yang ramah dengan penayangan sejumlah film top berkualitas tiba-tiba berubah
menjadi kamp pembantaian massal.
Ketika
puluhan pasang mata asyik menyaksikan premeire The Dark Knight Rises garapan
Christopher Nolan dari Warner Bros, mendadak kegaduhan terjadi setelah James
Eagen Holmes (mahasiswa kedokteran saraf) melepaskan tembakan membabi buta ke
arah penonton. Sebanyak 14 orang tewas dan lebih dari 50 luka-luka, termasuk 3
WNI yang menjadi korban aksi brutalnya.
Di
depan tim pemeriksa FBI, Holmes mengaku melancarkan jurus maut itu karena
terimajinasi petualangan Joker, tokoh antagonis dalam seri terakhir trilogi
Batman itu yang dibintangi Christian Bale, Anne Hathaway, dan Morgan Freeman.
Tragedi berdarah itu menambah panjang daftar kriminal yang menggunakan senjata
api di AS. Kisah pilu itu mengingatkan kita pada kejadian serupa yang pernah
dan mungkin akan terus terjadi di bumi Pancasila yang terusik oleh maraknya
kasus kekerasan dengan senjata api. Tragis karena sebagian besar kasus
kekerasan dengan senjata api di Indonesia dilatarbelakangi motif kejahatan perampokan
dan kriminal lainnya. Hal itu kontras dengan fenomena kekerasan senjata api di
AS, yang dominan masalah pribadi atau kelainan kejiwaan.
Apa
pun yang menjadi motif kejahatan di balik penggunaan senjata api itu, semuanya
berakar dari pranata kebebasan yang merupakan pilar utama HAM. Tak dapat
dimungkiri bahwa kebebasan dalam konteks sosioyuridis terbangun dari dua
kepentingan yang kontradiktif. Kepentingan pertama tertuju pada kebebasan
individu untuk memiliki apa pun, termasuk senjata api, sehingga pembatasan atau
pelarangan atas kebebasan itu dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Kepentingan
kedua terletak pada hak setiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari
rasa takut. Karena itu, segala yang mengancam dan mencabik-cabik hak itu juga merupakan
pelanggaran HAM. Atas nama kebebasan dan martabat, negara memberi izin
kepemilikan senjata api kepada individu dengan prosedur yang begitu longgar
disertai rendahnya pengawasan dan penindakan terhadap penyalahgunaan senjata
api.
Harus
dipahami bahwa perubahan perilaku dalam masyarakat dapat menyentuh seluruh segi
struktur sosial. Tidak jarang perubahan itu bernilai destruktif sesuai tren
yang mendominasi pola hubungan dalam struktur sosial dimaksud. Tengoklah
kondisi kehidupan sosial kita yang terpotret oleh media. Selain mengangkat
informasi yang menyejukkan, mereka menayangkan kabar kriminal yang mengerikan.
Secara
sosiokriminologis, rangkaian kejahatan itu menimbulkan rasa tidak aman bagi
individu tertentu dalam masyarakat. Ironisnya Polri yang secara konstitusional
dimandatkan untuk mengemban tugas dan fungsi mewujudkan kamtibmas bertindak
tidak berbanding lurus dengan ekspektasi publik. Sampai detik ini, fungsi
perlindungan dan pengayoman Polri terhadap masyarakat dirasakan kurang
maksimal, bahkan tidak sedikit gangguan kamtibmas dilakukan anggota Polri
sendiri.
Akibatnya
tiap individu mencari solusi untuk menemukan rasa aman dan perlindungan dengan
membekali diri berupa pemilikan senjata api. Hal itu konon diyakini mampu
membentengi diri secara praktis dari ancaman kejahatan. Betapa tidak? Senjata
api dalam jenis tertentu mudah dibawa dan digunakan serta mempunyai kemampuan
melumpuhkan pelaku kejahatan secara cepat.
Namun,
hal yang paling krusial dalam melahirkan stimulasi kepemilikan senjata api di
kalangan warga sipil ialah faktor demand
and supply. Selain banyaknya warga sipil yang berlomba-lomba memiliki
senjata api yang kini diperjualbelikan secara bebas, sistem regulasi perizinan
pemilikan senjata api nyaris tanpa kontrol. Kalaupun ada, semuanya musnah oleh
intervensi keuangan dan kekuasaan. Belum lagi yang diproduksi atau didatangkan
secara ilegal. Tragis jika benda yang sangat berbahaya itu jatuh di tangan
kriminal.
Berdasarkan
keterangan Kadiv Humas Polri, tertanggal 7 Mei 2012 diketahui, izin pemilikan
senjata api yang dikeluarkan Polri sampai 2012 dalam rangka membela diri
sebanyak 18.030 pucuk dengan rincian 3.060 berpeluru tajam, 9.800 berpeluru
karet, dan 5.000 berpeluru gas. Namun, pada tahun ini 10.910 pucuk senjata api
telah ditarik karena izinnya telah habis meliputi 1.524 berpeluru tajam, 5.812
berpeluru karet, dan 2.863 berpeluru gas.
Selanjutnya
kasus penyalahgunaan senjata api dari 2009 sampai 2011 terjadi dengan beberapa
modus, antara lain pencurian dengan kekerasan 174 kasus selama tiga tahun.
Kasus penyalahgunaan senjata api muncul 152 kali. Adapun penemuan senjata api
ilegal 76 kasus. Hal yang disebut terakhir cukup serius karena jumlah senjata
api beredar di pasar gelap lebih banyak daripada perkiraan. Itu umumnya berasal
dari bekas wilayah konflik seperti Ambon, Poso, dan Aceh.
Senjata
api yang masuk dari luar negeri cukup rentan karena wilayah RI yang sedemikian
luas dan sulit diawasi. Di beberapa daerah yang berbatasan dengan Malaysia,
Singapura, Filipina, dan Papua Nugini marak terjadi transaksi senjata api
ilegal. Senjata api rakitan dengan jumlah yang tak dapat didata masih merupakan
masalah yang sulit dikendalikan Polri.
Itu
sangat berbahaya karena jangankan rakitan atau ilegal, senjata api legal
sekalipun tetap saja berpotensi menimbulkan ancaman bagi keamanan ma syarakat
dan negara. Betapa tidak? Senjata api yang berada di tangan aparat keamanan
dengan prosedur dan penguasaan teknik penggunaannya yang sangat ketat masih
rentan mengalami penyalahgunaan, apalagi jika barang berbahaya itu bebas
melenggang di tangan warga sipil. Belum lagi tingkat kemampuan mengontrol emosi
seseorang yang memegang senjata api akan mudah membahayakan siapa pun di
sekelilingnya begitu ia menarik pelatuk dalam keadaan iseng dan serius.
Dengan berkaca dari tragedi The Dark Knight Rises yang berkorelasi
positif dengan tingkat ancaman kepemilikan senjata api di Indonesia, negara
melalui lembaga yang berwenang harus mereformasi sistem regulasi kepemilikan
senjata api. Hal itu perlu dilakukan karena aturan hukum yang selama ini
menjadi dasar mengenai izin kepemilikan senjata api, yaitu UU No 8/1948 jo UU
Darurat Nomor 12/1951 jo Perppu No 20/1960 jo PP No 31/2004 jo SK Kapolri No
Skep/241/II/1999 jo SK Kapolri No 82/2004 jo Peraturan Kapolri No Pol 13/X/2006
jo Peraturan Kapolri No 2/2008, justru terkesan sangat longgar dan mengandung
unsur pembiaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar