Tarian
Tor Tor? Horas!
Arswendo
Atmowiloto ; Budayawan
Sumber :
SINDO, 25 Juni 2012
Tarian Tor Tor dari tanah
Batak,diaku sebagai warisan negara Malaysia? Jangan macem-macemlah Kau ini! Tarian
Tor Tor akan dikembangkan oleh keturunan warga Mandailing, Sumatra Utara yang
ada di Malaysia?
Horas! Proses kreatif sebuah
kebudayaan, atau dalam hal ini secara khusus kesenian, tidak lahir dari ruang
hampa. Melainkan berproses dari akar hidupnya, yaitu sikap masyarakat
pendukungnya, dengan lingkungan, baik alam maupun Sang Pencipta, juga sesama.
Demikian juga halnya dengan tarian Tor Tor, yang lagi-lagi mau diakui sebagai
Akta Warisan Kebangsaan 2005, oleh Malaysia. Rasa-rasanya ada yang mala, ada
yang salah, ada yang buruk dalam memahami kebudayaan antarnegeri serumpun, atau
juga sejiran—sesama tetangga ini.
Pemilikan dan Pengembangan
Tarian Tor Tor tak bisa dilepaskan dari keberadaan kain ulos, juga alat musik—atau bisa berarti komposisi, yang dikenal dengan Gondang Sembilan. Yang terakhir ini bukan hanya gendangnya berjumlah sembilan buah, melainkan sekaligus juga dua gong besar, 12 gong kecil kalau dimainkan di luar rumah.
Di luar rumah jumlahnya bisa berbeda. Demikian juga ragam ulos, tidak hanya satu, karena ada hohop yang lebih panjang yang punya dimaknai beda. Dengan kata lain, tak mungkin saja tarian Tor Tor lain di Malaysia atau di negeri kutub selatan sana, yang tidak memiliki tradisi yang melengkapi untuk mencapai stilisasi. Pencapaian sampai tingkat tertentu tak bisa dilepaskan dari pencapaian di bidang yang lainnya dalam cabang kesenian.
Warna budaya inilah yang memberi makna baru sehingga kain ulos bukan sekadar kain tenun seperti yang lain.Karena pengertian diulosi, diberi selempang kain ulos, bisa berarti persaudaraan, dianggap kerabat. Sebagaimana juga pemberian marga Batak untuk pasangan yang bukan dari Batak, misal yang lain.Bayangkan saja kalau ini terus berlangsung, seluruh warga dunia ini mempunyai nama marga Batak. Begitulah proses terbentuknya bentuk dan atau jenis kesenian tertentu.
Sebelum akhirnya terjadi proses berikutnya, yaitu penyesuaian, pengembangan, atau pemaknaan baru. Pada tahap ini,menjadi berbeda. Misalkan warga negara Malaysia yang berasal dari Mandailing ingin mengadaptasi sesuai dengan kondisi dan situasi,menjadi sangat penting dari segi perkembangan budaya.
Sebaiknya begitu,dan bukan klaim pemilikan, atau pewaris sah satu-satunya.Tari balet Rusia, tidak diklaim milik Amerika Serikat ketika dikembangkan di sana, atau di sini dengan nama Sendratari Ramayana di Prambanan, misalnya. Inilah proses dinamika yang terus terjadi sehingga peristiwa kebudayaan tak pernah mati—karena itu pula tak ada kuburan seni.
Emosi dan Emosional
Masalah yang menyeret emosi ini bisa menyulut sikap emosional,manakala Malaysia bukan pertama kali melakukan kecerobohan pemilikan—dan rasanya bukan yang terakhir kali. Upaya pelurusan berita lebih bersifat diplomatis, dan penyelesaian perkara yang seharusnya dan sebenarnya.
Pada titik itulah letikan menyambar ke berbagai segi dan sisi. Saya selalu mencoba menempatkan diri, apa yang terbaik yang bisa peroleh dari kasus-kasus perampokan orisinalitas karya kreatif seperti ini. Karena kalau tenggelam dalam salah menyalahkan, hanya akan menenggelamkan sekaligus menjauhkan kita dari sikap kreatif.
Menyatakan kemarahan, ketersinggungan memang perlu dan harus, dan setelah itu kita meyakini yang berharga dari karya jenius nenek moyang kita. Selain melakukan inventarisasi mendalam,melakukan stock opname karya budaya kita, sekaligus juga mengaktualkan. Misalnya seberapa jauh sudah sebenarnya hubungan kita dengan Bumi Malayu, yang dalam abad ke-13, oleh Raja Singasari bernama Kertanegara, menjadikan ekspedisi Pamalayu, yang dicatat oleh sejarawan China.
Karena daerah di Pulau Sanfotsi, yang berarti Sumatra, merupakan benteng pertahanan serangan kaisar Mongol yang waktu itu menaklukkan seluruh dunia. Mulai dari ujung Rusia, ke seluruh Timur Tengah dan India. Hanya di Keraton Singasari pasukan Khan yang tak pernah dikalahkan ini bisa diperdaya. Sejarah dunia mencatatkan seperti itu. Inilah kesempatan untuk menerima kebesaran leluhur kita, yang dengan operasi Pamalayu mampu mendirikan benteng pertahanan sebuah daerah yang dinamai dengan Dharmasraya, dengan ditandai pemberian patung Amoghapasa yang sekarang masih ada bentuknya di Museum Nasional Jakarta.
Lengkap dengan nama senopati,atau panglima perangnya yang bernama Kebo Anabrang, yang kemudian mewariskan kekuasaan pada warga setempat. Kebesaran capaian budaya yang sekarang tampak capai, lesu, nyaris tanpa kebanggaan, yang seharusnya mendapat prioritas untuk dikembangkan. Baik melalui tarian Tor Tor dengan segala uba rampe, segala yang terkait seperti kain ulos atau Gondang Sembilan, untuk disemangatkan kembali.
Sebagaimana lahirnya teriakan atau sapaan horas, yang merupakan ucapan selamat, yang bisa dipergunakan pagi-siang-malam, dalam kondisi apa pun, kepada siapa pun, sebagai salam demokratis. Menghargai dan mengaktualkan, karya-karya jenius lokal inilah modal yang diwariskan oleh nenek moyang, adalah modal tanpa habis, untuk menghadapi godaan besar atau kecil. Horas, Bah! ●
Pemilikan dan Pengembangan
Tarian Tor Tor tak bisa dilepaskan dari keberadaan kain ulos, juga alat musik—atau bisa berarti komposisi, yang dikenal dengan Gondang Sembilan. Yang terakhir ini bukan hanya gendangnya berjumlah sembilan buah, melainkan sekaligus juga dua gong besar, 12 gong kecil kalau dimainkan di luar rumah.
Di luar rumah jumlahnya bisa berbeda. Demikian juga ragam ulos, tidak hanya satu, karena ada hohop yang lebih panjang yang punya dimaknai beda. Dengan kata lain, tak mungkin saja tarian Tor Tor lain di Malaysia atau di negeri kutub selatan sana, yang tidak memiliki tradisi yang melengkapi untuk mencapai stilisasi. Pencapaian sampai tingkat tertentu tak bisa dilepaskan dari pencapaian di bidang yang lainnya dalam cabang kesenian.
Warna budaya inilah yang memberi makna baru sehingga kain ulos bukan sekadar kain tenun seperti yang lain.Karena pengertian diulosi, diberi selempang kain ulos, bisa berarti persaudaraan, dianggap kerabat. Sebagaimana juga pemberian marga Batak untuk pasangan yang bukan dari Batak, misal yang lain.Bayangkan saja kalau ini terus berlangsung, seluruh warga dunia ini mempunyai nama marga Batak. Begitulah proses terbentuknya bentuk dan atau jenis kesenian tertentu.
Sebelum akhirnya terjadi proses berikutnya, yaitu penyesuaian, pengembangan, atau pemaknaan baru. Pada tahap ini,menjadi berbeda. Misalkan warga negara Malaysia yang berasal dari Mandailing ingin mengadaptasi sesuai dengan kondisi dan situasi,menjadi sangat penting dari segi perkembangan budaya.
Sebaiknya begitu,dan bukan klaim pemilikan, atau pewaris sah satu-satunya.Tari balet Rusia, tidak diklaim milik Amerika Serikat ketika dikembangkan di sana, atau di sini dengan nama Sendratari Ramayana di Prambanan, misalnya. Inilah proses dinamika yang terus terjadi sehingga peristiwa kebudayaan tak pernah mati—karena itu pula tak ada kuburan seni.
Emosi dan Emosional
Masalah yang menyeret emosi ini bisa menyulut sikap emosional,manakala Malaysia bukan pertama kali melakukan kecerobohan pemilikan—dan rasanya bukan yang terakhir kali. Upaya pelurusan berita lebih bersifat diplomatis, dan penyelesaian perkara yang seharusnya dan sebenarnya.
Pada titik itulah letikan menyambar ke berbagai segi dan sisi. Saya selalu mencoba menempatkan diri, apa yang terbaik yang bisa peroleh dari kasus-kasus perampokan orisinalitas karya kreatif seperti ini. Karena kalau tenggelam dalam salah menyalahkan, hanya akan menenggelamkan sekaligus menjauhkan kita dari sikap kreatif.
Menyatakan kemarahan, ketersinggungan memang perlu dan harus, dan setelah itu kita meyakini yang berharga dari karya jenius nenek moyang kita. Selain melakukan inventarisasi mendalam,melakukan stock opname karya budaya kita, sekaligus juga mengaktualkan. Misalnya seberapa jauh sudah sebenarnya hubungan kita dengan Bumi Malayu, yang dalam abad ke-13, oleh Raja Singasari bernama Kertanegara, menjadikan ekspedisi Pamalayu, yang dicatat oleh sejarawan China.
Karena daerah di Pulau Sanfotsi, yang berarti Sumatra, merupakan benteng pertahanan serangan kaisar Mongol yang waktu itu menaklukkan seluruh dunia. Mulai dari ujung Rusia, ke seluruh Timur Tengah dan India. Hanya di Keraton Singasari pasukan Khan yang tak pernah dikalahkan ini bisa diperdaya. Sejarah dunia mencatatkan seperti itu. Inilah kesempatan untuk menerima kebesaran leluhur kita, yang dengan operasi Pamalayu mampu mendirikan benteng pertahanan sebuah daerah yang dinamai dengan Dharmasraya, dengan ditandai pemberian patung Amoghapasa yang sekarang masih ada bentuknya di Museum Nasional Jakarta.
Lengkap dengan nama senopati,atau panglima perangnya yang bernama Kebo Anabrang, yang kemudian mewariskan kekuasaan pada warga setempat. Kebesaran capaian budaya yang sekarang tampak capai, lesu, nyaris tanpa kebanggaan, yang seharusnya mendapat prioritas untuk dikembangkan. Baik melalui tarian Tor Tor dengan segala uba rampe, segala yang terkait seperti kain ulos atau Gondang Sembilan, untuk disemangatkan kembali.
Sebagaimana lahirnya teriakan atau sapaan horas, yang merupakan ucapan selamat, yang bisa dipergunakan pagi-siang-malam, dalam kondisi apa pun, kepada siapa pun, sebagai salam demokratis. Menghargai dan mengaktualkan, karya-karya jenius lokal inilah modal yang diwariskan oleh nenek moyang, adalah modal tanpa habis, untuk menghadapi godaan besar atau kecil. Horas, Bah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar