Seni,
Kepalsuan, dan Peran Negara
Agus Dermawan T ; Kritikus, Narasumber Balai Lelang Christie's
Singapura
dan Museum Benda
Seni Istana-Istana Presiden RI
SUMBER : KORAN
TEMPO, 2 Juni 2012
Pada ujung Mei dan Juni 2012 bangsa Indonesia
disentuh dua perhelatan penting seni rupa. Pertama, peluncuran buku besar Walter
Spies – A Life in Art, susunan John Stowell, di Museum Puri Lukisan, Ubud,
Bali, 27 Mei. Yang kedua, pameran besar lukisan "Raden Saleh dan Awal Seni
Lukis Modern Indonesia" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2 sampai 17
Juni. Menarik, terhadap dua perhelatan yang diselenggarakan oleh dua institusi
asing ini, pemerintah Indonesia serius membantu segala sesuatunya.
Terhadap Walter Spies (1895-1942),
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tiba-tiba punya inisiatif memberikan
penghargaan Anugerah Kebudayaan. Lembaga di bawah komando Mari Elka Pangestu
ini memahami kebesaran jasa Spies bagi budaya Bali, dari pengembangan seni
musik-drama-tari, seperti kecak, sampai lukisan. Sebagian kontribusi itu
digerakkan lewat organisasi Pita Maha, yang didirikan bersama Tjokorda Gde
Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet pada 1936. Keseriusan pandang negara
(pemerintah) atas Spies tertegaskan ketika Kementerian memanggil sejumlah
pengkaji untuk memberikan keluasan alasan perlunya penghargaan itu.
Atas pameran Raden Saleh (1807-1880), negara
lewat Sekretariat Negara berkenan meminjamkan empat lukisan Raden Saleh yang
menjadi koleksi Istana Presiden, seperti Penangkapan Diponegoro dan Pertempuran
Banteng dan Singa. Padahal banyak ketentuan yang muncul di tengah proses
peminjaman ini.
Yang pertama berkaitan dengan sifat
kepusakaan lukisan, yang menjadikan benda-benda itu setengah
"sakral". Kedua, berkaitan dengan penjagaan dan pengamanan, lantaran
yang diboyong adalah lukisan-lukisan tua. Ketiga, berhubung dengan persoalan
asuransi. Pihak Istana mengasuransikan empat karya tersebut dengan nilai
sekitar Rp 120 miliar. Namun Goethe Institut sebagai penyelenggara hanya mampu
membayar sekian puluh persen dari nilai nominal yang ditentukan Istana.
Alasannya, pemerintah Jerman sedang mengalami krisis keuangan. Negara memahami
hal itu. Dan dengan rekomendasi sejumlah narasumber ahli, Sekretariat Negara
mengabulkannya.
Terbesar di Dunia
Maka, berbeda dengan kasus Lady Gaga yang
menjerumuskan negara sebagai tuan rumah penakut dan gagal, peristiwa seni rupa
di atas justru sebaliknya. Kebijakan ini mengindikasikan mulai munculnya
kesadaran negara untuk mengurus kesenian secara regulatif. Sebuah sikap yang
bisa menutup berbagai lubang kesalahan institusi seni-budaya negara di masa
lalu yang sering blunder di masyarakat. Akibatnya, kadang menghadirkan kejadian
memalukan, bagai peristiwa pameran lukisan palsu 12 tahun lalu di Jakarta.
Untuk itu, mari kita sebentar berkilas balik.
Syahdan, medio November 2000, di Hotel
Regent, Jakarta, diselenggarakan pameran dan penjualan 110 lukisan antik.
Lukisan itu diklaim sebagai ciptaan Van Gogh, Claude Monet, Auguste Renoir
Picasso, Marc Chagall, Diego Rivera, Kees van Dongen, Le Mayeur, W.G. Hofker,
S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Trubus, Hendra Gunawan, dan Arie Smit. Namun,
baru sehari pameran dibuka, semua lukisan yang dipajang dikecam sebagai
"bodong" alias palsu oleh para ahli dan orang-orang yang tahu.
Akibatnya, Ibu Negara Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid membatalkan hadir dalam
perhelatan itu.
Yang menakjubkan, pameran lukisan palsu
terbesar di dunia ini didukung oleh lembaga negara, seperti Direktorat Jenderal
Kebudayaan dan Dewan Kesenian Jakarta. Pameran pun menjadi bahan pemberitaan
pers nasional dan internasional, seperti BBC, Reuters, AP, Strait Times, ABC,
dan AFP. Alhasil, tak ayal negara mengalami blunder yang luar biasa.
Harus diakui, negara kini tampak lebih serius
melihat kesenian. Dan seni rupa dianggap sebagai permata dalam khazanah
kebudayaan Indonesia. Karena itu, ketika para kolektor membuat museum, negara
mendukung sepenuhnya. Seperti halnya para petinggi Kota Magelang yang dengan
penuh antusias membuka Museum OHD (Oei Hong Djien) di Magelang pada 5 April
2012. Disebutkan bahwa Museum OHD, yang menjual tiket Rp 100 ribu, bisa menjadi
ikon wisata budaya di kota itu.
Soal Kepalsuan
OHD adalah seorang dokter dan grader
tembakau yang menjadi kolektor hebat. Sensibilitas artistiknya teruji. Dalam 20
tahun terakhir ia terangkat sebagai maecenas dan patron sekaligus. Itu
sebabnya, saya memposisikan OHD sebagai "Kolektor Paling Berpengaruh"
kurun 1957-2007, di samping Sukarno, Adam Malik, Jusuf Wanandi, Ciputra, Budi
Setiadharma (Visual Arts nomor 22, 2007). Koleksinya yang berjumlah
2.000-an umumnya berkualitas baik, bahkan sebagian istimewa.
Namun tsunami tiba-tiba menerjang. Sejumlah
pengamat seni yang ahli (sampai yang sekadar tahu) menengarai ada belasan
lukisan palsu di situ. Terutama pada jajaran karya Soedibio, Hendra Gunawan,
dan S. Sudjojono (Koran Tempo, 28 Mei, 2012). Sederet lukisan tersebut,
apabila asli, bisa bernilai total ratusan miliar rupiah. OHD, yang sudah
membukukan semua lukisan itu, tentu saja berang dan menuntut pembuktian
akademis. Maka, diadakanlah forum diskusi di Galeri Nasional Indonesia,
Jakarta. Tapi upaya pemecahan persoalan ini justru mengaburkan masalah, dengan
dampak memecah-belah komunitas seniman yang tadinya selalu bergandeng tangan.
Yang mengagetkan, di tengah keriuhan itu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dirumorkan akan berkunjung ke Museum OHD
dengan tuntunan sahabat OHD, pemodal koran Partai Demokrat. Pikiran pun sah
menduga, jangan-jangan legitimasi keaslian karya akan ditempuh dengan cara
politik. Untuk menghindari politisasi ini, koran Jakarta Post dan
kolektor/politikus Jusuf Wanandi menyatakan mundur dari forum diskusi di Galeri
Nasional Indonesia itu (Jakarta Post, 24 Mei 2012).
Kasus Museum OHD adalah perkara serius dalam
kesenian Indonesia. Karena itu, peranan negara kembali sangat diperlukan. Di
antaranya yang terpokok: mendirikan lembaga sertifikasi yang tugasnya
melegitimasi otentisitas karya seni rupa. Lembaga ini harus melibatkan para
ekspertis, yang menggabungkan para pemeriksa mumpuni-berpengalaman dan para
akademisi netral, jujur dan berintegritas tinggi. Ya, atas perkara pemalsuan
seni, Negara memang tidak boleh melakukan pembiaran. Bila pemalsuan uang selalu
keras ditindak, kenapa pemalsuan seni rupa tidak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar