Problem
DPT Pilkada Jakarta
Launa ; Dosen FISIP Universitas Satya Negara
Indonesia;
Peneliti Komunitas
Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (KPMJ)
Sumber : SINAR
HARAPAN, 15 Juni 2012
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi
DKI Jakarta telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Sabtu (2/6) lalu.
Sebanyak 6.982.179 penduduk di DKI Jakarta
dinyatakan dapat memilih pemimpin mereka untuk lima tahun mendatang.
Rinciannya, 3.553.672 orang pemilih laki-laki dan 3.428.507 orang pemilih
perempuan, yang tersebar di 15.060 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun, jumlah pemilih yang ada dalam DPT
mendapat gugatan. Lima pasang calon gubernur (cagub) DKI Jakarta memprotes
jumlah pemilih itu.
Bahkan “koalisi gubernur” (di luar pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
(Foke-Nara) itu mengancam akan memidanakan KPUD dan Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta atas indikasi penggandaan dan dugaan
pemalsuan dokumen pemilih.
KPUD Jakarta beralasan jumlah pemilih dalam
daftar pemilih sementara (DPS) sesuai dengan jumlah daftar pemilih potensial
yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri, sementara Dinas Kependudukan
Provinsi DKI Jakarta juga beralasan belum semua warga DKI memiliki KTP. Warga
Tanah Merah, Jakarta Utara, sampai sekarang tidak diberi KTP karena mereka
menempati permukiman yang menjadi milik Pertamina.
KPUD Jakarta seperti tak pernah belajar bahwa
DPT yang kacau adalah pintu masuk bagi delegitimasi pilkada dan seluruh produk
yang dihasilkannya.
Problem DPT pilkada Jakarta 2012 sepertinya
ingin merepetisi kekacauan DPT yang terjadi pada pemilu legislatif 2009 dan
pilpres 2009 lalu, di mana pendataan dan penetapan pemilih yang serampangan
telah membawa problem berkepanjangan. DPR bahkan sampai membentuk Panitia
Angket untuk menyelidiki kasus ini.
Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) menguak fakta, jutaan suara pemilih (antara 25-40 persen)
telah dirampas dalam pemilu 9 April 2009. Begitupun dalam pelaksanaan pilkada
yang banyak berlangsung di tahun 2011, tak sedikit yang berujung konflik dan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri,
dari 87 pilkada, 78 di antaranya digugat ke MK dengan 132 perkara yang
teregistrasi. Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas pelaksanaan pilkada
2011 juga menunjukkan, masih terjadi berbagai bentuk pelanggaran “klasik” dalam
proses pemutakhiran data pemilih.
Pelanggaran itu misalnya daftar pemilih
sementara tidak diumumkan, pemilih yang tidak memenuhi syarat tetapi masuk
dalam DPT, pemilih yang memenuhi syarat tetapi tak masuk dalam DPT, kasus
penggelembungan DPT, dan seterusnya.
Kejahatan Pemilu
James Burk (2006) adalah ilmuwan politik yang
telah memperkenalkan istilah electoral
crime atau electoral fraud untuk
menjelaskan segala bentuk kejahatan dan penipuan yang terjadi dengan sengaja
dalam keseluruhan mata rantai proses pelaksanaan pemilu.
Menggunakan laporan Hursti, Burk menunjukkan
bahwa di antara berbagai sebab mengapa kejahatan elektoral sulit terungkap
adalah kurangnya bukti dan saksi untuk menguak kasus kejahatan pemilu.
Di Amerika Serikat, berdasarkan laporan
pemantau independen pemilu 2004, terjadi praktek pidana dengan modus
menghilangkan registrasi pemilih, menyesatkan informasi letak TPS di
daerah-daerah pemukiman kulit hitam, menghilangkan kartu pemilih, dan
membagi-bagi uang pada pemilih (money
politics).
Dalam pemilu anggota the House of Councillors di Jepang pada Juli 2000, juga terjadi 552
kasus kejahatan pemilu. Kasus terbesar adalah kategori penyogokan (390 kasus)
dan kasus penyimpangan administrasi pemilu (36 kasus). Tak kurang dari 1.375
orang terlibat dalam pelanggaran pemilu Jepang itu.
Mengacu pada kejahatan pemilu, manipulasi DPT
ini ditempuh melalui dua cara. Pertama, menghilangkan hak pilih warga negara di
daerah-daerah tertentu. Kedua, menggandakan hak pilih warga tertentu.
Baik dengan menggandakan pemilik nama yang
sama dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda, atau sebaliknya,
menggandakan NIK yang sama bagi pemilik nama (fiktif) yang berlainan. Padahal,
secara nasional, NIK mestinya bersifat khas dan berlaku hanya satu nomor bagi
satu orang penduduk.
Manipulasi DPT melalui jalan di atas didukung
serangkaian tindakan sistematis, antara lain pemutakhiran data pemilih yang
diulur-ulur. Ini berakibat KPU/KPUD gagal memutakhirkan data pemilih secara
cermat, bertanggung jawab, dan tepat waktu.
Dampaknya, pengumuman DPT pun dilakukan dalam
waktu mepet, berdasar data pemilih sementara (DP4) yang tidak akurat. Sementara
masyarakat, partai politik, dan pemantau pemilu independen tak memiliki waktu
yang cukup untuk mengecek akurasi DPT.
UUD 1945 pasal 22 E telah mengamanatkan,
pemilu (termasuk pilkada) dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Penghilangan hak pilih sebagian rakyat jelas merupakan
pelanggaran atas asas pemilu/pemilukada yang jujur dan adil.
Pemilih (voter)
adalah setiap warga negara yang terdaftar dan dapat menggunakan hak pilihnya.
Artinya, pemberian suara adalah kunci penting dalam demokrasi (Sasha Abramsky,
2006). Dalam adab demokrasi, setiap warga negara dewasa memiliki hak untuk
memilih pemimpin eksekutif dan legislatif melalui pemilu yang kompetitif.
Hak sipil dan politik warga dalam pemilu
adalah salah satu pilar utama negara demokratis berbasis hak asasi manusia (human-rights based democracy). Dengan
demikian, kekacuan DPT adalah bentuk kejahatan politik serius, yang
memanipulasi dan menghilangkan suara warga Jakarta. Ini akan berdampak pada
legitimasi politik Gubernur Jakarta ke depan.
Di sisi lain, persepsi publik Jakarta seperti
tergambar dari hasil survei Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia
menunjukkan, pilkada Jakarta 11 Juli mendatang masih dianggap sekadar “ritual” lima tahunan. 44,3 persen dari
594 responden menyatakan tidak yakin pelaksanaan pilkada Jakarta akan
memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat.
Gejala penurunan elektabilitas seperti
dirilis hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang memprediksi Foke-Nara
hanya akan meraih suara sekitar 43,3 persen (dari survei sebelumnya, 49,1
persen) juga menunjukkan, persepsi publik Jakarta terhadap calon incumbent (Foke-Nara) kian berada pada
posisi ‘sentimen negatif’, yang potensial membesar mendekati hari “H”
pencoblosan.
Lantas apa artinya jika kontestasi pilkada
Jakarta kembali menyisakan masalah berupa warga Jakarta yang berhak tetapi
tidak bisa menggunakan hak pilihnya? Dan sebaliknya, warga Jakarta yang tidak
berhak malah tercantum (ganda) dalam DPT?
Yang pasti, KPUD Jakarta masih punya sisa
waktu menuju 11 Juli mendatang. Sebagai warga Jakarta, kita tentu berharap
waktu yang tersisa itu bisa dimanfaatkan KPU secara prudent dan profesional agar pesta demokrasi Jakarta yang jujur,
adil, transparan, dan tak memihak, layak menjadi contoh bagi penyelenggaraan
pilkada daerah lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar