Praktek
Efisiensi Pemakaian BBM
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Undip
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 12 Juni 2012
"Pemerintah
perlu membuat peraturan dengan sanksi tegas untuk menunjang gerakan penghematan
BBM"
PENGGUNAAN minyak sebagaimana komoditas
ekonomi, terlebih berkriteria tidak dapat diperbarui (non-renewable resources) harus mendasarkan pada prinsip efisien dan
efektif. Dogma ini berlaku global, untuk negara mana pun. Secara global
konsumsi minyak dunia per hari melebihi 85 juta barel atau setahun kurang
lebih 31,6 miliar barel. Cadangan minyak dunia kurang dari 1,3 triliun barel
sehingga dengan tingkat konsumsi seperti itu dalam 41 tahun dunia kehabisan
minyak.
Negara pengonsumsi besar minyak dunia adalah
Amerika Serikat, yaitu 35,3 persen (19,5 juta barel), disusul Rusia 37% (2,9
juta barel), China 19% (7,8 juta barel), dan India 23,7% (2,9 juta barel). Moda
transportasi kurang lebih 66% mengonsumsi minyak dunia. Khusus di Amerika
Serikat, 8,8 dari 10 orang memakai mobil guna mendukung kerjanya (Tempo,
2-8/04/12).
Cadangan minyak Indonesia diperkirakan 4
miliar barel, dengan produksi minyak setahun kurang dari 1 juta barel, sehingga
cadangan minyak kita hanya bisa bertahan kurang dari 15 tahun. Padahal tingkat
konsumsi minyak di Indonesia sangat tinggi, pengurasan cadangan minyak kita
delapan kali lipat lebih cepat ketimbang negara-negara penghasil besar minyak
dunia.
Rasio produksi minyak (reserve to production) di Indonesia masih pada kisaran angka 4,
jauh di bawah Arab Saudi yang rasio produksinya sudah 35. Padahal cadangan
minyak mereka masih 265 miliar barel. Pembanding lain adalah Libia yang rasio
produksinya sekitar 30.
Efektivitas
Imbauan
Pemborosan konsumsi tak dapat dibiarkan
karena mempercepat masa habisnya cadangan minyak. Belum lagi, bila pernyataan
Menteri ESDM Jero Wacik benar (Kompas, 19/04/12), bahwa 77% BBM bersubsidi
dinikmati kelompok kaya, yang punya mobil. Masyarakat kelas bawah hanya
menikmati 15% BBM bersubsidi, dan mereka yang naik angkot malah sama sekali
tidak menikmati subsidi yang besarnya Rp 137 triliun. Artinya yang
memboroskan BBM adalah kalangan atas bukan rakyat kebanyakan.
Mengingat ’’sulitnya’’ menaikkan harga BBM,
pada 29 Mei 2012 SBY mencanangkan gerakan penghematan BBM (juga air dan
listrik) melalui lima langkah. Kita harus mendukung gerakan penghematan itu
mengingat penggunaan energi pada masa mendatang bila tanpa perencanaan matang
dan implementasi tepat akan menuai masalah besar. Sayang, gerakan itu lebih
bersifat mengimbau, yang berdasarkan pengalaman, hasilnya tidak akan efektif.
Hal ini berbeda dari negara maju, sebagaimana
dikatakan oleh North, yang kesadarannya kepada institusi, baik dalam bentuk
kebiasaan tidak tertulis (norma, adat istiadat, termasuk imbauan) maupun
peraturan formal sudah berjalan baik. Kita bisa berkaca ketika SBY menghimbau
rakyat tidak melakukan KKN, bahkan ia akan memimpin pemberantasan praktik itu,
tapi faktanya hingga kini belum ada hasilnya.
Pemerintah perlu membuat peraturan formal dengan
sanksi tegas untuk menunjang gerakan penghematan BBM. Bisa saja dalam format
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) di tingkat pusat dan
pergub di level daerah, bukan hanya surat edaran, seperti pernah dinyatakan
oleh Prof FX Sugiyanto, misalnya terkait penggunaan mobil dinas.
Memang penggunaan mobil dinas dengan BBM-nya,
seolah-olah seperti uang dari saku kiri ke saku kanan, tetapi pejabat dengan
mobil dinasnya seharusnya memberi contoh yang baik. Praktiknya, pejabat yang
menggunakan mobil dinas hanya untuk kedinasan malah ’’diejek’’, tidak bisa
memanfaatkan kesempatan yang datangnya hanya sekali.
Kita hanya bisa menunggu hasil dari gerakan
penghematan itu. Sebenarnya, bila ada keselarasan antara ketegasan peraturan
dan teladan dari pimpinan pada semua lini, gerakan itu akan menuai hasil.
Secara otomatis tumbuh kepercayaan dari masyarakat bila antara perkataan dan
perbuatan para pemimpin sudah seiring sejalan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar