Pancasila
dalam Kontestasi Ideologi
Munawir Aziz ; Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
SUMBER : KORAN
TEMPO, 1 Juni 2012
Refleksi ideologi kebangsaan saat ini
berlangsung saat Indonesia sedang berkabung. Kemerdekaan negeri yang berumur 66
tahun hanya dipenuhi dengan janji-janji palsu, penyelewengan kekuasaan, hingga
perebutan proyek yang berujung korupsi. Langit Indonesia tak lagi lantang
mengabarkan pidato Sukarno, renungan Hatta, perdebatan Syahrir, hingga fatwa
Hasyim Asy’ari maupun bimbingan Ahmad Dahlan.
Langit Indonesia justru semakin sering
mengabarkan ihwal kemurungan: kekerasan atas nama agama, sengketa etnis,
korupsi elite pejabat, hingga musibah yang tiada akhir. Nama Indonesia menjadi
penuh dengan keringat dan air mata. Keringat rakyat kecil yang bekerja penuh
waktu, diselingi tawa canda penguasa yang sibuk membagi harta. Air mata
anak-anak yang diterjang bencana, tak jelas sekolah dan masa depannya,
berbenturan dengan birokrat yang doyan bersafari dan menghabiskan uang negara.
Semua ini sangat kontras dengan semangat
kemerdekaan, reformasi, serta latar belakang ideologi Pancasila. Pada 1908,
Boedi Oetomo didirikan untuk menjadi cambuk perjuangan pemuda guna mengusung
cita-cita keindonesiaan. Sumpah Pemuda 1928 merupakan titik selanjutnya untuk
menyebut traktat kebangkitan pemuda Indonesia. Peran organisasi kemasyarakatan,
semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, juga tidak bisa dipandang sebelah mata,
yang juga mendukung kebangkitan nasional dari sisi keagamaan. Selanjutnya, 17
Agustus 1945 merupakan tahapan selanjutnya untuk mencipta sejarah bangsa: ikrar
kemerdekaan Indonesia.
Namun deretan momentum bersejarah dalam kamus
revolusi Indonesia hari ini menjadi catatan historis yang berjarak. Dalam
artian, pemuda dan masyarakat Indonesia sudah mulai melupakan
peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah keindonesiaan kita. Hal ini
disebabkan oleh menumpuknya keluhan, mandeknya harapan, dan menipisnya optimisme
untuk melihat Indonesia masa depan.
Keindonesiaan kita
Indonesia sekarang merupakan Indonesia dengan
segudang masalah dan lambatnya pemerintah. Indonesia seakan hanya dikangkangi
oleh pejabat bermental preman dan konglomerat yang lupa akan nasib rakyat.
Padahal, pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato lantang menggagas konsep dasar
negara bahwa Indonesia didirikan tak hanya untuk satu golongan, namun Indonesia
buat Indonesia, untuk semua!
Sukarno berujar lantang: "Kita
mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan
Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia
buat Indonesia semua buat semua!"
Pada sidang BPUPK, 29 Mei-1 Juni 1945,
diputuskan konsep dasar falsafah negara, yang selama ini kita kenal sebagai
Pancasila. Pada hari bersejarah itulah, diputuskan sebuah konsep dan landasan
falsafi bernegara dan berbangsa. Pancasila lahir dari perumusan dan perdebatan
panjang, yang disarikan dari sejarah panjang keindonesiaan, jauh menelusup pada
akar kebudayaan Nusantara, dengan merangkum keyakinan agama, pandangan sosial,
etika politik, dan mimpi masa depan untuk merdeka.
Sukarno mengajukan lima prinsip yang menjadi
titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa. Pertama,
kebangkitan Indonesia. Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga,
mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, ketuhanan yang
berkebudayaan. Kelima, prinsip inilah yang disebut Bung Karno sebagai
"Pancasila". Yakni, "Sila artinya asas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi."
"Jikalau saya peras yang lima menjadi
tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia
yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong," ucap Sukarno.
Indonesia Bangkit
Momentum reformasi pada 1998, sebagai titik
balik peradaban politik dan kebudayaan Indonesia, yang membuka ruang lengsernya
Soeharto dari tampuk kuasa, juga membawa implikasi terbukanya keran informasi,
kebebasan berpendapat, dan tumbuh kelompok dengan ragam ideologi dan
kepentingan yang berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia.
Pada ranah agama, menguatnya fundamentalisme
di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, juga menjadi tantangan bagi konsep
keagamaan moderat yang berpihak pada tradisi Nusantara. Ranah politik dan
ekonomi Indonesia juga mengalami guncangan, hukum tertikam dan rakyat menjerit
menjadi korban. Pada titik inilah nilai-nilai keindonesiaan mendapat tantangan
dan kritik. Tragedi September 1965 merupakan cobaan dahsyat bagi masyarakat
Indonesia dan nilai Pancasila yang baru satu dekade dirumuskan. Namun perdebatan
mendasar pada awal perumusan Pancasila merupakan tantangan dan tonggak penting
tentang impian masa depan Indonesia.
Merefleksikan substansi Pancasila di tengah
negeri yang dikepung egoisme, korupsi, dan kekerasan di berbagai ranah perlu
agar kita bisa kembali pada nilai-nilai dasar keindonesiaan. Menyegarkan
kembali tafsir kita atas ideologi negara dengan merujuk nilai-nilai
keindonesiaan merupakan peristiwa penting. Refleksi moral dan mental atas
tujuan kemerdekaan Indonesia perlu ditampilkan untuk melawan penyelewengan
kekuasaan, kekerasan atas nama agama, kelompok maupun etnis. Indonesia perlu
segera diselamatkan agar tak larut dalam kebangkrutan. Indonesia butuh tenaga
dan pikiran dari generasi terbaiknya untuk tetap menyalakan api semangat dan membuka
pintu masa depan negara-bangsa. Anda
semua, dan termasuk saya, yang wajib menjawabnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar