Mursi:
Mendayung di Antara Tiga Karang
KORAN TEMPO, 28 Juni 2012
Akhirnya, rakyat Mesir memetik buah revolusi
yang mereka tanam: memiliki presiden yang dipilih secara demokratis. Muhammad
Mursi, yang diusung Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Al-Ikhwanul
al-Muslimun, terpilih sebagai Presiden Mesir pengganti Husni Mubarak. Tapi ini
justru awal perjuangan yang sebenarnya dari revolusi. Mempertahankan bara
revolusi jauh lebih berat ketimbang menyulutnya. Apalagi, “pohon” revolusi
sedang terancam tumbang, akibat strategi politik inkonstitusional yang
dilakukan oleh kelompok militer di bawah Dewan Militer (SCAF).
Tugas paling fundamental dari Mursi adalah
menginternalisasi spirit revolusi dalam semua lini perpolitikan Mesir.
Menumbuhkan kepercayaan semua elemen politik dan sosial Mesir bahwa dirinya
berkomitmen melaksanakan amanat revolusi. Ini tidak mudah mengingat, dalam
mozaik perpolitikan Mesir pascarevolusi, Mursi sudah dimasukkan dalam
faksionalisme politik tertentu: kelompok Islam.
Tapi memenangi pemilihan presiden secara
demokratis sudah separuh dari kepercayaan politik. Setengahnya lagi harus
dibangun Mursi melalui konsolidasi dan komunikasi politik lintas sektoral:
Islamis, nasionalis, dan militer. Secara konseptual, tantangan utama Mursi
adalah bagaimana memposisikan dirinya, selaku pemegang otoritas kenegaraan, di
tengah dua titik ekstrem: Islamisme dan kebangsaan. Yang pertama
direpresentasikan oleh kelompok Salafi dan Al-Ikhwanul al-Muslimun sendiri.
Sedangkan yang kedua kalangan nasionalis-liberal dan militer. Seperti apa peta
dan jalan politik yang akan dirintis oleh Mursi untuk mengakomodasi dua varian
politik itu? Atau, harus ada salah satu yang ditinggalkan?
Ini sangat sulit. Kita bisa kembali pada
diskursus abadi Mesir tentang Islamisme dan nasionalisme di kancah politik dan
wacana keilmuan negeri itu. Sejarahnya panjang dan memakan energi besar.
Al-Ikhwanul al-Muslimun sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari diskursus
tersebut. Di sisi lain, kelompok militer memainkan peran penting. Sejarah
politik Mesir selalu menempatkan militer sebagai anak emas kekuasaan.
Militer telah menanamkan memori kuat dalam
kognisi politik rakyat Mesir. Pola kekuasaan sentralistik mungkin dibenci,
namun dalam batas tertentu rakyat Mesir seperti “mencandunya”. Silih berganti
Presiden Mesir berlatar belakang militer. Menumbuhkan mental masyarakat sipil
untuk berani berada di depan kekuasaan, “membelakangi” militer, melalui
representasi Mursi, butuh proses. Akan dihinggapi gagap kekuasaan dan grogi
politik.
Belum lagi kelompok militer (dan kekuatan
politik lama) yang tentunya akan resistan terhadap kepemimpinan sipil.
Pembubaran parlemen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Mesir dan berbagai langkah
SCAF yang mengubah konstitusi merupakan bagian dari kerja politik kelompok ini.
Bentuk resistansi militer terhadap kepemimpinan sipil dan angin perubahan.
Pengaruhnya masih kuat di banyak lini.
Tanpa parlemen dan kesimpangsiuran
status konstitusi Mesir, Mursi akan seperti panglima minus prajurit dan benteng
pertahanan. Sendirian di medan laga politik. Stabilitas kekuasaannya sangat labil.
Kapan saja bisa digoyang. Apalagi, secara de facto, otoritas politik
dikembalikan ke bawah otoritas SCAF.
Di sini Mursi dituntut untuk bisa membangun
komunikasi dengan kelompok militer. Sesuatu yang akan menguak bawah sadar
politik masa lalu Mesir, yang menempatkan keduanya sebagai rival.
Paradigma Politik IM
Al-Ikhwanul al-Muslimun berkali-kali
menegaskan moderasi paradigma Islam politiknya. Sebuah sinyal yang dimunculkan
untuk menetralkan fobia terhadap Islamisme Al-Ikhwanul al-Muslimun. Juga untuk mengurangi
tekanan politik terhadapnya. Tapi, seperti apa politik jalan tengah yang akan
dibangun Mursi, belum kelihatan. Kelompok nasionalis-liberal dan militer
menunggu hal ini. Pada saat yang sama, kalangan Salafi, yang perolehan suaranya
cukup signifikan, juga memiliki batas yang tidak boleh dilampaui tentang arti
moderatisme itu sendiri. Jika tidak, kelompok ini akan menekan Mursi. Mursi
mendayung di antara tiga karang: militer, Salafi, dan nasionalis-liberal.
Setelah sekian lama menjelma menjadi gerakan
politik bawah tanah, kini Al-Ikhwanul al-Muslimun menjadi bintang utama di
panggung politik Mesir. Tentu akan merasakan demam panggung. Ini terlihat
ketika sebelum pemilu sempat terjadi gejolak di internal organisasi itu. Di
masa mendatang, iklim panas seperti itu akan menjadi tantangan keseharian.
Kematangan politik kader-kader Al-Ikhwanul
al-Muslimun diuji. Apakah mereka silau oleh gemerlap panggung politik dan
terjerembap pada pragmatisme politik jangka pendek? Atau justru gagap untuk
menjalankan kendaraan politik secara fleksibel, karena terlalu rigid memegang
kendali idealisme Islam politiknya?
Mau tidak mau, dengan kondisi Mesir masih shocked
oleh ketiba-tibaan revolusi, Mursi harus pandai-pandai membangun keseimbangan
politik. Menghindari sudut ekstrem pada hampir seluruh dimensi politik, nyaris
mustahil buat Mursi. Akan ada titik-titik tertentu, di mana Mursi harus
mengambil sikap tegas. Dan kemungkinannya, hal itu akan dibayar dengan
kekecewaan salah satu kelompok. Tapi bukan berarti neraca keseimbangan politik
tidak bisa dikembalikan lagi. Di sinilah kesiapan Al-Ikhwanul al-Muslimun untuk
menjadi manajer politik diuji. Jika IM dapat merumuskan jalan politik moderat
yang brilian, ia dapat menjadi sebuah prototipe gerakan Islam politik baru di kawasan
Timur Tengah.
Dalam konteks regional Timur Tengah, naiknya
IM ke kekuasaan potensial menciptakan aliansi politik baru di wilayah tersebut.
Secara organisatoris, organisasi ini memiliki tali spirit dan emosional dengan
Hamas, pemegang kekuasaan di Palestina. Naiknya IM ke puncak kekuasaan dapat
mengubah arah aliansi politik Mesir, yaitu menjadi cenderung mengarah pada
kelompok aliansi: Palestina, Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah. Sebelumnya, Mesir
setia berada di blok aliansi: Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain.
Jika ini terjadi, perubahan di wilayah Timur Tengah akan sangat terasa. Tapi,
sekali lagi, ini akan mengancam stabilitas kekuasaan Mursi. Tampaknya Mursi
akan lebih soft dalam menjalankan idealisme politiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar