Mesir
Menjelang Pilpres Kedua
Muhammad Nadjib ; Anggota Komisi I DPR
SUMBER : REPUBLIKA,
12 Juni 2012
Pada
hari Rabu-Kamis (23 24/5), rakyat Mesir memilih pemimpinnya dalam pilpres
demokratis perta ma pascatumbangnya Husni Mubarak. Hasilnya, capres dari Freedom and Justice Party (FJP) yang
dilahirkan Ikhwanul Muslimin(IM),
Mohammad Mursi, dengan 24 persen dan capres Mohammad Shafiq, mantan PM terakhir
pada era Mubarak yang meraih 23 persen suara sah, berada di urutan teratas.
Hasil
ini tak pelak mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam
polling terakhir memprediksi Amr Moussa, mantan sekjen Liga Arab, dan Aboul
Futuh, jalur independen, yang melaju ke putaran kedua.
Dari
realitas hasil pilpres putaran pertama, kontestasi di antara para kandidat
capres Mesir yang berasal dari aliran politik yang beragam pun akhirnya
mengerucut kepada dua arus besar, yaitu proreformasi yang diwakili capres Mursi
berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis mantan presiden Mubarak yang disimbolkan
oleh capres Shafiq.
Dalam
pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi demokrasi, calon dari kubu
rezim lama sering jadi kuda hitam, tak diunggulkan, tapi meraup banyak suara.
Unggulnya calon dari kubu status quo
bisa jadi disebabkan terpecahnya kubu reformis, kuatnya jaringan birokrasi
militer, keunggulan pengalaman, serta besarnya pendanaan.
Pemulihan
Ekonomi dan Keamanan
Mesir
pascarevolusi menghadapi masalah yang cukup serius, terlepas dari suksesnya
pemilu legislatif pada Desember tahun silam. Masalah terbesar adalah pemulihan
ekonomi dan keamanan serta mendapatkan kembali dukungan internasional. Partai
politik dan presiden yang akan memimpin Mesir harus sanggup menyelesaikan
masalah utama ini.
Di
bidang ekonomi, angka pengangguran mencapai 9,7 persen dan 40 persen rakyat
hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan. Selain itu, tingkat buta huruf juga
sangat tinggi (71 persen dari penduduk), ditambah menyusutnya cadangan devisa
Mesir dari 36 miliar dolar AS sebelum Mubarak lengser menjadi tersisa 15 miliar
dolar AS.
Belum
lagi, defisit anggaran yang sangat besar karena 55 persen dari APBN-nya
tersedot untuk menanggung beban subsidi kebutuhan dasar rakyat dan membayar
bunga utang luar negeri.
Sementara
itu, persoalan keamanan terkait dengan kerusuhan sosial disebabkan oleh
memburuknya sentimen terhadap minoritas Koptik dan kekhawatiran kelompok
liberal terhadap kemenangan partai-partai berhaluan Islamis yang
mengkhawatirkan Mesir terjerembap pada munculnya rezim teokratis.
Sementara
itu, dukungan interna sional, khususnya negara-negara Barat, akan sangat
ditentukan oleh bagaimana pemerintahan baru nanti menyikapi Perjanjian Damai
Mesir-Israel yang diteken Anwar Saddat pada 1979, di samping dukungan
negara-negara Arab kaya di kawasan Teluk yang tidak ingin terimbas semangat
reformasi yang akan mempertanyakan sistem kerajaan atau keemiran yang mereka
terapkan sampai kini.
Di
sinilah ujian terberat capres Muhammad Mursi. Bila ia gagal meyakinkan publik,
baik di dalam maupun di luar negri, maka kekhawatiran publik akan menjadi truf
yang akan `dimainkan' kubu capres Shafiq untuk meraih dukungan.
Sebagai
kandidat dari kelompok Islamis, Mursi harus menyadari bahwa dominasi kelompok
Islamis di pentas politik Mesir mutakhir telah menjadi sorotan untuk
menghindari penyebutan `kekhawatiran'. Parlemen Mesir saat ini hampir 75 persen
dikuasai oleh gabungan dari FJP , sayap politik IM dan Annour Party, sayap
politik Salafi.
Posisi Indonesia
Sebagai
negara sahabat, Indonesia dapat mengambil peran dan memberikan kontribusi
dengan cara berbagi pengalaman bagaimana kita menghadapi transisi politik
pasca-Reformasi 1998. Pemilu yang damai dan kemampuan melahirkan berbagai
undang-undang baru yang diterima oleh berbagai pihak telah memberikan
kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.
Lebih
dari itu, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia
mampu membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi dapat berjalan seiring dengan
nilai-nilai Islam. Jika saat awal reformasi pendapatan per kapita Indonesia
hanya 500 dolar AS maka hanya dalam rentang 12 tahun, pendapatan per kapita
kita naik menjadi 3.500 dolar AS. Indonesia juga berkepentingan melihat Mesir,
mengingat hubungan ekonomi kedua negara sangat erat.
Pada
2011, meski terjadi revolusi, volume dagang kedua negara meningkat 66,8 persen
dari 2010 yang mencapai 725,6 juta dolar AS dengan surplus bagi Indonesia.
Juga, pada tahun yang sama, realisasi investasi Indonesia di Mesir mencapai 250
juta dolar AS. Secara politik, Indonesia juga berkepentingan mengingat peran
regionalnya pada negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Secara
khusus, Indonesia berkepentingan menjaga sekitar 5.000 mahasiswa yang sedang
belajar di Mesir. Perubahan konstelasi politik dengan munculnya gerakan fundamentalisme
akan mengganggu ketenteraman dan suasana harmonis di dalam negeri.
Cepat
atau lambat mereka akan pulang, jangan sampai euforia yang dilihat di
negara-negara tersebut akan dibawa sebagai oleh-oleh untuk diterapkan di Tanah
Air. Anak-anak kita harus diyakinkan bahwa apa yang terjadi di sana saat ini
sejatinya terinspirasi oleh apa yang kita alami 14 tahun lalu.
Tidak berlebihan bila kita menyatakan perlu
berbagi pengalaman untuk menghindari mengajari mereka bagaimana seharusnya
menghadapi masa transisi, dan bukan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar