Merekonsiliasi
Kejahatan Masa Lalu
Teuku Kemal Pasya ; Antropolog, Serta Peneliti Tema Demokrasi, HAM,
Demiliterisasi, dan Syariat Islam
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 2 Juni 2012
Sebuah pertanyaan kritis dalam kajian konflik
dan rekonsiliasi perlu dimunculkan di sini, apakah semua kejahatan masa lalu
harus diselesaikan dengan cara rekonsiliasi? Ternyata sejarah dunia mencatat: tidak!
Rusia dan China contohnya. Saat Josef Stalin
selama 30 tahun memimpin Uni Soviet (1922-1953) dan Mao Zedong atau Mao Tse
Tung memimpin China dan partai komunis (1945-1976), keduanya menjadi aktor
utama penderitaan dan kematian massal di kedua negara itu akibat kebijakan
totalitarianisme.
Kebijakan tangan besi Stalin, baik sebelum
atau di masa Perang Dunia II, telah menyebabkan sedikitnya 25 juta penduduk
negara Beruang Merah itu tewas. Ini juga termasuk praktik ideologi komunisme
yang secara kasar bertumbal pada kemiskinan, perang saudara, dan pembunuhan
dengan dalih pro borjuisme.
Demikian pula strategi reorganisasi desa Mao
Zedong telah menyebabkan tak kurang 20 juta orang meninggal. Itu juga dihitung
pembunuhan atas kelompok kelas menengah karena dituduh sebagai antek kapitalis
dan kontra revolusioner.
Dua negara itu tak pernah membuat “pertobatan
terbuka” dan menjalankan proyek rekonsiliasi pascadua diktator itu meninggal,
meskipun mereka menjadi negara terbuka pasca-Perang Dingin (Uni Soviet di era
Mikail Gorbachev dan China di era Deng Xiaoping). Banyak analisis yang
menjelaskan alasan kedua negara itu tidak melaksanakan proyek rekonsiliasi,
baik analisis nasionalisme, ideologi negara, geopolitik, dan juga geoekonomi.
Namun sebagian besar sejarah dunia modern
mengambil jalan rekonsiliasi. Yang paling mengemuka adalah Afrika Selatan dan
Rwanda. Negara-negara lain juga mengambil jalan rekonsiliasi, termasuk Vietnam,
Kamboja, Sierra Leone, dan Australia (yang minta maaf resmi-terbuka atas
kejahatan yang mereka lakukan terhadap masyarakat Aborigin, dan itu dinyatakan
pada era PM Kevin Rudd, 31 Januari 2008). Pilihan itu ternyata membuat negara
itu semakin sehat dan demokratis.
Bagamana di Aceh?
Pertanyaannya, bagaimana dengan Aceh? Apakah
kejahatan masa lalu di tanahnya harus diselesaikan dengan cara rekonsiliasi
atau tidak?
Saya tidak berhak memberikan kesimpulan untuk
itu. Saya cuma melihat dari penanda-penanda linguistik yang dikemukakan korban
(survivor). Salah satunya dari seorang
korban penembakan simpang KKA, 3 Mei 1999. Kasus Simpang KKA adalah penembakan
sporadis oleh aparat keamanan terhadap masyarakat yang berdemonstrasi yang
dianggap akan mengganggu proyek vital di sekitar tempat demonstrasi. Penembakan
menyebabkan sedikitnya 21 orang meninggal, 156 orang terluka, dan 10 orang
hilang.
Saat testimoni dilaksanakan para aktivis HAM
tiga-empat tahun lalu, saya mendengar sebuah pengakuan penting. Sang korban
yang saat itu masih kanak-kanak mengatakan orang tuanya ditembak di depan
matanya. Ia mengatakan, jika korban lain mau memaafkan pelaku terserah, tapi ia
tak akan memaafkan hingga pelaku penembakan dihukum.
Dalam acara-acara yang melibatkan para korban
konflik saya juga sering mengajukan pertanyaan yang sama. Ternyata beragam
sikap yang muncul: antara memaafkan dan menghukum, namun tak ada yang sudi
melupakan.
Itulah sebenarnya esensi rekonsiliasi.
Rekonsiliasi menjadi mekanisme yang diperlukan untuk membahasakan kejahatan
masa lalu secara jernih, realistik, dan objektif, tanpa kehilangan semangat
keadilan di masa sekarang. Konsep rekonsiliasi menyandarkan pada pemahaman
bahwa tidak ada kejahatan yang kebal oleh faktor hukum (impunitas) meskipun tak
ada garansi mengembalikan situasi seperti sedia kala.
Konsep rekonsiliasi ini kaprah diberlakukan
untuk negara-bangsa yang sedang menyonsong era baru: demokratisasi.
Megakejahatan kemanusiaan, misalnya pembunuhan tanpa pengadilan (extra-judicial killing), perkosaan,
penyiksaan, perampasan harta benda, penghilangan paksa menyertai situasi
konflik, ditambah riasan propaganda, seruan kebencian, stigmatisasi, dan
“kejahatan-kejahatan lembut” lainnya. Situasi itu tak akan duduk sebagai
perkara yang benar dan adil jika tidak dikronologikan dengan semangat
kemanusiaan dan keadilan.
Kompensasi
Untuk Aceh, aneka kekerasan dan kedegilan
peradaban membuat kita tak berhenti bersin di masa sekarang akibat ada aroma
busuk masa lalu yang belum dibersihkan. Masalah ini bukan faktor yudisial-legal
semata, seperti belum ada payung hukum setelah MK membatalkan UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan DPR belum menyusun UU rekonsiliasi baru
bersemangatkan HAM dan demokrasi ueber alles, tapi juga menyangkut masalah
sosiokultural dan ekonomis yang harus ditanggung negara, terutama demi para tertanggung
derita seperti korban konflik.
Konsep rekonsiliasi mendudukkan dengan tepat
dan beradab, siapa yang menjadi korban (the
victims) dan siapa pelaku (the
perpetrators). Atau karena situasi, siapa pula yang telah bercampur, dari
korban kemudian menjadi pelaku kejahatan, atau sebaliknya.
Hal lain yang juga penting dalam konteks
rekonsiliasi—dan harus dibedakan dengan konsep islah atau berdamai dengan
semangat melupakan (to forget)—adalah
bagaimana menempatkan konsep menghukum (to
punish) atau memaafkan (to forgive)
dengan kredibilitas tinggi dan bukan permainan kata-kata atau politik semata.
Saya mengambil konsep ini dari Jankélévitch
yang dikutip Hannah Arendt dalam The
Human Condition. Arendt adalah filsuf Jerman perempuan, seangkatan dengan
Martin Heidegger, yang juga menjadi korban politik anti-Yahudi Hitler.
Ia terpaksa mengungsi dari Jerman ke Amerika
Serikat demi menyelamatkan nyawanya akibat politik pembantaian tentara Nazi.
Buku itu bicara tentang konsep maaf dan hukum terkait sejarah kelam holocaust
itu.
Hak Memaafkan
“Seseorang tidak berhak untuk memaafkan
apa-apa yang tak dapat ia hukum, dan ia juga tak memiliki hak untuk menghukum
apa-apa yang nyata-nyata tak termaafkan (that
people would be incapable of forgiving what they cannot punish, and that they
would be incapable of punishing what reveals itself as unforgivable).”
Pernyataan di atas menjadi dalih bahwa
memaafkan dalam konteks rekonsiliasi tidak berarti membenarkan situasi
ketakberdayaan korban. Korban tidak berhak menyatakan maaf jika ia sesunguhnya
tidak memiliki pilihan untuk menyatakan sebaliknya. Korban berhak memaafkan
seleluasa ia minta pelaku dihukum. Dalam konteks rekonsiliasi, korban harus
dimenangkan dari segala hal yang bisa menyebabkan ia kembali kalah untuk kedua
kali.
Demikian pula sebaliknya, konsep menghukum
dalam konteks rekonsiliasi adalah berbagi keadilan (shared justice) dalam perspektif hukum positif. Hukuman bagi pelaku
kejahatan di dunia tidak secara otomatis memaafkan atau melupakan sejarah
konflik yang pernah mengharu-biru itu.
Apakah hukum di dunia bisa memaafkan
kejahatan yang tak terperikan, seperti yang dilakukan Hitler, Stalin, Mao
Zedong, Charles Taylor, George W Bush, dan Omar Al-Bashir? Apakah dengan
menampilkan fakta kejahatan masa lalu seperti penyiksaan dan perkosaan di Rumoh
Geudong, pembantaian Bantaqiyah, simpang KKA, Jembatan Arakundo, Geuredong
Pasee, Bireun, Montasik, serta-merta boleh menghapus hukuman atas pelakunya?
Jawaban etis tentu saja tidak. Ini karena
kejahatan itu belum benar-benar berlalu, masih tersangkut di benang-benang
ingatan korban dan keluarganya.
Salah satu tugas berat bagi pemimpin Aceh
terpilih adalah menjalankan rekonsiliasi dengan segala macam risiko dan
rintangannya. Hal itu demi perbaikan demokrasi dan sejarah Aceh ke depan.
Jangan pernah melupakan kejahatan masa lalu, seperti angin menerbangkan debu,
dan berpikir tidak pernah terjadi apa-apa di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar