Kuatkah
Fondasi Ekonomi Kita?
Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
Sumber : KOMPAS,
15 Juni 2012
Indonesia perlu mengantisipasi dampak krisis
Eropa dan Amerika Serikat yang diperkirakan akan terasa pada semester kedua
2012. Kendati angka-angka indikator makro ekonomi
Indonesia dalam kondisi ”aman”, masih ada pertanyaan apakah fundamental
ekonominya kuat untuk menghadapi ancaman krisis global jilid II?
BPS menyebutkan, pertumbuhan ekonomi naik ke
6,3 persen. Pertumbuhan tertinggi dihasilkan sektor pengangkutan-komunikasi
(10,3 persen), diikuti perdagangan-hotel-restoran (8,5 persen), konstruksi (7,3
persen), keuangan-real estat-jasa perusahaan (6,3 persen), listrik-gas-air
bersih (6,1 persen), industri pengolahan (5,7 persen), jasa (5,5 persen),
pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan (3,9 persen), pertambangan- penggalian
(2,9 persen).
Perkembangan ekonomi triwulan I dan II ini
masih sejalan dengan perkiraan pertumbuhan untuk keseluruhan 2012, yakni 6,3-6,7
persen. Jika proyeksi ini benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melebihi
rata-rata pertumbuhan negara berkembang yang diproyeksikan 6 persen 2013 dan
2014. Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan mendasar
dilihat dari dimensi sektoral, pengeluaran, dan spasial. Industri pengolahan
masih penggerak utama PDB. Tahun 1980-an hingga kini, industri manufaktur
adalah penggerak utama PDB dan ekspor nonmigas.
Pertumbuhan Indonesia juga masih didominasi consumption driven growth, yaitu konsumsi
masyarakat (55-57 persen), investasi (31-32 persen), pengeluaran pemerintah
(7-12 persen), dan ekspor bersih atau ekspor dikurangi impor (2 persen).
Perilaku konsumtif rakyat Indonesia terlihat
dari 10 Besar Perusahaan Terbaik di Indonesia yang masuk jajaran ”Top 200 Best Companies in Asia” menurut Asian Wall Street Journal dan ”2.000
Perusahaan Terbaik Dunia” versi majalah Forbes. Pascakrisis mereka tetap
membeli mobil/sepeda motor dari Toyota
Astra Group, dibiayai kredit konsumtif dari bank (BCA, Bank Mandiri, BRI),
gosok gigi dan keramas dengan produk Unilever, makan mi instan produk Indofood,
merokok produk HM Sampoerna, menggunakan semen dari Holcim, serta asyik chatting dan surfing dengan jasa dari Telkomsel dan Indosat.
Mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada
konsumsi masyarakat dan bukan pada investasi dan ekspor, uniknya, malah membuat
ekonomi Indonesia tetap tumbuh di tengah krisis global 2008.
Tantangan
Krisis global 2008 dan ancaman krisis jilid
II tahun 2012 membuat kita perlu menyimak kelemahan fondasi dasar ekonomi
Indonesia. Pertama, dari dimensi spasial, struktur ekonomi Indonesia pada
triwulan I-2012 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatera.
Jawa menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDB, 57,5 persen. Diikuti Sumatera
(23,6 persen), Kalimantan (9,8 persen), Sulawesi (4,5 persen), Bali dan Nusa
Tenggara (2,4 persen), serta kontribusi terkecil dari Maluku dan Papua (2,2
persen). Artinya, kawasan timur Indonesia hanya menyumbang ekonomi nasional 20
persen.
Kedua, berbagai studi dengan indikator indeks
Williamson dan koefisien variasi
menunjukkan ketimpangan antarprovinsi dan kabupaten/kota cenderung meningkat
selama 10 tahun terakhir.
Ketiga, meski pertumbuhan ekonomi meningkat
dan pendapatan per kapita 3.000 dollar AS per tahun, ada indikasi kuat terjadi trickle up effect atau efek muncrat ke
atas dalam proses pembangunan. Ketimpangan yang meningkat diukur dengan
ketimpangan distribusi pendapatan semakin lebar sebagaimana tecermin dari rasio
gini yang meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Ironisnya,
penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40 persen penduduk termiskin
justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati oleh 20 persen
kelompok terkaya dari 42,2 persen tahun 2002 menjadi 48,42 persen tahun 2011.
Keempat, lapangan kerja Indonesia masih
didominasi oleh sektor informal dan pertanian. Kendati selama 2010-2011
lapangan kerja formal bertambah 5,71 juta, 62-69 persen lapangan kerja di
dominasi oleh tenaga kerja infomal. Tenaga kerja di sektor pertanian tahun 2010
mencapai 38,3 persen dan terus menurun hingga 35,9 persen tahun 2011.
Kelima, pelaku utama sektor riil Indonesia
masih didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM), 99 persen. Tanpa
strategi pemberdayaan dan pembiayaan yang tepat, UKM tetap akan berada dalam
posisi marginal.
BRIC dan N-11
Kepala ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill,
menulis buku The Growth Map: Economic
Opportunity in the BRICs and Beyond tahun 2011. O’Neill menominasikan Next Eleven (N-11) yang akan menyusul Brasil,
Rusia, India, dan China (BRIC), yaitu kelompok ekonomi negara besar dan pesat
pertumbuhan pasarnya.
N-11 adalah 11 negara berkembang, yaitu
Indonesia, Banglades, Mesir, Iran, Korsel, Meksiko, Nigeria, Pakistan,
Filipina, Turki, dan Vietnam. BRIC dan N-11 menjadi bermanfaat untuk memahami
apa yang terjadi dalam ekonomi dunia dan pasar. O-Neill menyebutnya growth markets. Ia menyebut secara
khusus Indonesia, Korsel, Meksiko, dan Turki yang terbukti tangguh diterpa
krisis global karena faktor manajemen utang luar negeri dan defisit APBN,
memiliki jaringan perdagangan yang baik, serta dukungan begitu banyak sumber
daya manusia.
Tahun 2010 Indonesia masih berada pada
kelompok negara berpendapatan menengah papan bawah dengan pendapatan per kapita
3.000 dollar AS per tahun. Peringkat ini diperkirakan bertahan hingga 2020
sebelum Indonesia masuk kelompok berpendapatan tinggi pada 2025.
Maka, ini saatnya Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang sudah berumur setahun
dikaji ulang. Data resmi pemerintah menunjukkan, pada 2011 di enam koridor yang
sudah di-ground breaking ada 94 proyek dengan nilai investasi Rp 490.527
miliar. Namun, mayoritas berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawasi.
Akselerasi pembangunan dengan MP3EI menghadapi
beberapa kendala. Pertama, daerah masih mengandalkan pembiayaan pembangunan
dari dana perimbangan dari pusat. Sebagian besar dana APBN dan APBD telah
tersedot untuk belanja aparatur dan hanya sisa sedikit untuk belanja publik,
terutama infrastruktur dan sektor riil. Integrasi sumber pembiayaan dari pusat
dan daerah perlu diprioritaskan, termasuk memberi kelonggaran pemda menerbitkan
obligasi daerah.
Kedua, MP3EI justru terkesan mendiskriminasi
kabupaten dan kota yang ekonominya masih tertinggal. Misalnya, MP3EI di koridor
ekonomi Jawa justru fokus pada kawasan pantai utara daripada pantai selatan
yang tingkat kemiskinannya di atas angka nasional. Ketiga, kendala terbesar
MP3EI adalah lahan, kekurangan pasokan gas, penerbitan izin usaha pertambangan,
izin pinjam pakai kawasan hutan yang menghambat 10 proyek investasi senilai Rp
270,94 triliun, dan masalah terkait proyek kemitraan pemerintah-swasta
(PPP). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar